Senin, 16 Juni 2014

MENGINTIP BILIK-BILIK PROSTITUSI KEDUNG BANTENG

Wacana tentang penutupan lokalisasi di provinsi jawa timur kembali berhembus di akhir tahun 2011. Wacana itu agaknya akan segera menjadi kenyataan setelah di keluarkannya instruksi gubernur jawa timur nomer 460/15612/031/2011 tertanggal 20 oktober 2011 tentang permohonan dukungan kepada pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait untuk mendukung program pemerintah tentang penutupan lokalisasi di seluruh wilayah provinsi jawa timur. Terlepas itu ada unsur kepentingan pendongkrak reputasi ataupun dalam rangka kepentingan lainnya. Masyarakat berharap itu bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Mahasiswa sebagai agent of change sudah seharusnya tidak menutup mata dan mau melibatkan diri menawarkan solusi dalam problem sosial yang berserakan di sekitar kita.
Sabtu Siang di Lokalisasi Kedung Banteng
Siang itu cuaca kota ponorogo cukup bersahabat dengan crew liputan al-Millah. Obyek liputan di pinggiran desa kedung banteng memang tidak begitu jauh dari kampus STAIN Ponorogo, jika ditempuh dengan sepeda motor, pembaca akan menikmati perjalanan sekitar 50 menit. Dari arah pasar legi ke utara, silahkan ambil jalur ke arah kabupaten Magetan. Jalan terus, sampai kalian akan menemukan kantor desa kedung banteng, belok kiri. Lokalisasi sudah dekat dengan keberadaan pembaca.
Penduduk sekitar lebih sering menyebut lokalisasi kedung banteng dengan istilah “kompleks”. Mungkin karena lokalisasi berada dalam satu lokasi sehingga mirip dengan kompleks perumahan.
Penghuni lokalisasi kedung banteng terlihat berlalu lalang melintas di sekitar lokalisasi. Kedatangan kami sempat memicu perhatian mereka, mungkin mereka merasa aneh dengan jilbab kami. Namun hal itu tidak mengurangi keramahan khas mereka. Bahkan kami sempat ditawari untuk sekedar mampir di beberapa warung mereka.
Untuk sajian selengkapnya silahkan baca liputan di bawah ini sampai tuntas. Selamat membaca.
Dari Ronowijayan Menuju Kedung Banteng
Sejarah awal adanya bisnis prostitusi di ponorogo sudah ada sejak zaman nenek moyang. Hanya saja bisnis “hitam” itu mulai dilembagakan dalam satu wilayah lokalisasi mulai tahun 1974 M. Lokalisasi ini pertama kali didirikan di daerah Ronowijayan, tepatnya timur Universitas Muhamadiyah Ponorogo. Lokalisasi ini pada akhirnya dipindahkan di daerah Kedung Banteng hingga saat ini.
Pendirian lokalisasi saat itu merupakan solusi kekhawatiran pemerintah dan masyarakat tentang merebaknya “warung jajanan” di jalanan-jalanan kota ponorogo. Pembaca mungkin heran dengan istilah “ warung jajanan”, memang istilah “Marung” merupakan kiasan yang sering mereka gunakan untuk menyebut bisnis mereka. Dimana seorang mucikari merupakan pedagang yang biasa menjajakan para wanita sebagai barang dagangannya. Para wanita yang biasa di sebut pekerja seks komersial itu bukan lagi menjadi sosok manusia merdeka seperti kodratnya. Ia beralih menjadi benda yang harus siap diperdagangkan dalam jangka temporal kepada para lelaki hidung belang.
Lokalisasi dipindah ke desa kedung banteng sejak tahun 1981 M. Hal ini sesuai dengan penuturan Verry, pegawai dinas sosial yang fokus memberikan pendampingan kepada warga dilokalisasi Kedung Banteng.” Lokalisasi pindah di kedung banteng itu tahun 1981 mbak, sebelumnya berada di sekitaran UNMUH”, cerita beliau kepada al-Millah(15/02/12).
Tahun pemindahan itu juga ada yang mengatakan bukan tahun 1981, akan tetapi tahun 1982. Penggusuran itu terjadi karena faktor pembangunan beberapa lembaga pendidikan di sekitar lokalisasi WD( watoe dakon). Lokalisasi di Ronowijayan dulu memang lebih sering di sebut WD sebagai singkatan dari Watoe Dakon. Sebutan ini dikarenakan lokalisasi yang berdekatan dengan area wingit, tempat watu dakon berada, konon tempat wingit itulah yang sekarang menjadi kampus kita, kampus STAIN Ponorogo.
Genjarnya pembangunan lembaga pendidikan yang dilakukan pemerintah memang akhirnya menggusur keberadaan bisnis prostitusi di daerah tersebut, dua dunia yang tak sama, yang memang tak pantas untuk disandingkan. Mereka para penghuni lokalisasi akhirnya di pindah di desa pelosok, ujung barat laut kabupaten ponorogo, desa kedung banteng.
Pemindahan lokalisasi ke kedung banteng memang menjadi keputusan bersama antara pemerintah dan pihak pengelola lokalisasi saat itu. Dari pihak pemerintah menyediakan lahan di pinggiran desa kedung banteng dan beberapa fasilitas untuk membangun kembali rumah mereka yang tergusur. Walau pada kenyataannya, pihak penghuni lokalisasi merasa kurang adil kala itu, karena truk atau kendaraan yang diberikan pemerintah untuk membawa barang-barang termasuk material hanya disediakan tiga truk. “ nggeh riyen niku namung tigang rit kendaraan mawon mbak saking pemerintah, padahal engkang badhe dipindahaken sekitar setunggalatusan kepala keluarga”, kata Paino( nama samaran) mengungkapkan kisahnya. Kesepakatan itupun akhirnya di jalankan. Membawa Paino dan dan kawan-kawan seangkatannya menempati lokalisasi baru di Kedung Banteng.
Rotasi Penghuni Lokalisasi Kedung Banteng
Ketika lokalisasi masih bertempat di Ronowijayan, para pekerja seks komersial di lokalisasi ada sekitar 400 orang dengan mucikari sekitar 100 orang. Setelah pindah di Kedung Banteng jumlah PSK menurun dratis, hingga kini tinggal tersisa kurang lebih 167 orang. Tempat yang tidak strategis agaknya memicu berkurangnya para PSK yang tentu saja sangat mempengaruhi tingkat kedatangan para pelanggan meraka.
Lokalisasi Kedung Banteng memang terpencil, berdekatan dengan Alas Oro-Oro. Jalan untuk menuju ke lokalisasipun sulit. Jalan itu masih berupa makadam (batu-batu kecil yang tertata sebelum diaspal).
Dari data yang dihimpun oleh Dinas Sosial dalam laporan terakhir tahun 2011, PSK di Kedung Banteng berjumlah 167 orang. Para PSK itu terbanyak berasal dari kabupaten Tulungagung, Wonogiri, dan Ponorogo. Dari Tulungagung berjumlah 32 orang, dari wonogiri berjumlah 28 orang, dan dari ponorogo berjumlah 19 orang. Para PSK itu memang tidak hanya berasal dari Jawa Timur. Ada juga yang dari Jawa Tengah, Jakarta, Jawa barat dan Madura. “Data tersebut bisa berubah-ubah sewaktu-waktu mbak, karena PSK itu bisa datang dan pergi tanpa memberikan laporan kepada kami”, terang Verry dalam wawancara al-Millah(15/02/2012).
DATA PSK LOKALISASI KEDUNG BANTENG KABUPATEN PONOROGO TAHUN 2011 BERDASARKAN KOTA ASAL
NO
KOTA ASAL
JUMLAH
1
BOYOLALI
3
2
MADIUN
8
3
TULUNG AGUNG
32
4
WONOGIRI
28
5
MALANG
4
6
BLITAR
11
7
PROBOLINGGO
2
8
PATI
3
9
BOJONEGORO
1
10
SEMARANG
5
11
SURAKARTA
3
12
NGAJUK
5
13
BLORA
1
14
PONOROGO
19
15
KENDAL
2
16
LUMAJANG
1
17
PACITAN
5
18
MOJOKERTO
3
19
MAGETAN
8
20
SALATIGA
1
21
KEDIRI
2
22
DEMAK
1
23
PURWAKARTA
1
24
BANYUWANGI
2
25
JAKARTA
2
26
PURWODADI
1
27
SURABAYA
2
28
BANDAR LAMPUNG
1
29
JOMBANG
1
30
JEMBER
2
31
BANYUMAS
1
32
AMBON
1
33
NGAWI
1
34
PEKAN BARU
1
35
BANTUL
1
36
BANGKALAN
1
37
JEPARA
1
KET: - data tersebut diatas sewaktu waktu biasa berubah karena mobilitas yang sangat tinggi
- Data dari Dinas Sosial
Mereka Berbicara Tentang Wacana Penutupan Lokalisasi
Rencana pemerintah provinsi tentang penutupan lokalisasi itu memang sudah memasuki proses sosialisasi di berbagai daerah. Di ponorogo sendiri, pihak Dinas sosial yang fokus mengadakan pendampingan kepada warga di lokalisasi mengatakan bahwa pihaknya telah menjalankan intruksi dari pemprov dengan mengadakan beragam program rehabilitasi untuk PSK dari Ponorogo. Program pelatihan memasak, menjahit, dan ketrampilan telah diadakan. “ Kemarin ada 6 orang PSK yang di kirim dalam pelatihan di Jenangan, dengan harapan mereka bisa sadar dan segera keluar dari pekerjaan sekarang” tegas Verry kembali. Namun, hal itu agaknya kurang mempan untuk membuat mereka jera dari pekerjaan tersebut. mereka tetap saja kembali menjalani rutinitas mereka bekerja di lokalisasi.
Ketika kami menyambangi kompleks lokalisasi(03/03/12), suasananya masih adem, ayem, tentrem saja. Bahkan, ketika kami konfirmasi tentang issu penutupan lokasasi tersebut mereka mengaku belum mendapatkan informasi secara khusus dari pemerintah. Berita itu justru datang dari media elektronik( radio) yang masih sempat mereka dengarkan di sela-sela kehidupan mereka di lokalisasi. Dan juga dari beberapa wartawan media cetak yang mencari kebenaran berita tersebut pada mereka. “ belum mbak, dereng wonten omongan sangking pemerintah, nek ajeng dipindah kulo nggeh manut mawon, lha pripun maleh, seng penting wonten ganti rugine, nek menurut perjanjian kolo niko nggeh mboten ajeng dipindah maleh, tapi pejabat sakniki kan pun gantos bolak-balik”, tutur tetua lokalisasi membeberkan apa yang dia rasakan.
Menurut pengakuannya memang perjanjian dahulu ketika pindah dari lokalisasi Ronowijayan, mereka tidak akan dipindahkan lagi. Namun, peraturan itupun tak pernah dilegalkan, kapanpun pihak pembuat kebijakan melancarkan wewenangnya, maka tak dapat diayal lagi, mereka tetap akan tergusur.
Dua orang PSK yang berhasil al-Millah wawancaraipun mengatakan hal yang sama. Mereka siap jika sewaktu-waktu lokalisasi itupun ditutup, dengan beberapa catatan penting bahwa mereka akan diberikan pekerjaan yang mumpuni untuk kehidupan mereka dan keluarganya. “ kami di sini bekerja untuk menghidupi anak mbak, anak saya tiga, suami saya selingkuh, kami bercerai, nyari kerja juga susah, ya kami akhirnya kami kerja seperti ini”, kisah noni (nama samaran) pada awal maret lalu.
Para PSK juga tidak ingin selama bekerja sebagai orang yang dilabeli masyarakat sebagai penyakit masyarakat, ada saatnya mereka ingin kembali hidup normal, dengan pekerjaan yang lebih mulia.
Upaya Bersama Menutup Lokalisasi
Upaya yang tepat untuk menutup lokalisasi di ponorogo memang masih mengalami jalan buntu, namun bukan hal mustahil jika penutupan itu akan terealisasi. Pemerintah dengan segala kekuasaannya bisa memutuskan kebijakan bisa mengatur kembali regulasi ( peraturan) tentang pendirian lokalisasi ini dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana.
Lembaga-lembaga yang terkait dalam pendampinganpun harus rela memprogram rencana tindak lanjut dengan lebih efektif, agar para PSK ataupun mucikari yang mereka berikan pelatihan bisa kembali ke jalan kehidupan normal. Mereka dibimbing untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan mendampingi mereka hingga benar-benar terlepas dari jeratan bisnis prostitusi.
Dari mahasiswa dan kawula masyarakat ponorogo agaknya harus mau melibatkan diri mengadakan kegiatan kemasyarakatan di lokalisasi tersebut. Contohnya saja, mengadakan pengajian atau program-program religi lainnya. Karena dari pengakuan tetua lokalisasi tersebut, para pengurus sudah memberikan izin jika di lokalisasi tersebut dibangun mushola sebagai tempat ibadah mereka. “ riyen ajeng dibangun mushola kalian salah satu pengasuh pondok modern ponorogo, namung rencang-rencang mboten setuju, nek sakniki pun angsal, tapi dereng wonten dana”, tutur Paino ( tetua lokalisasi KB) mengakhiri wawancaranya dengan crew al-Millah. (http://regional.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar