Wacana
tentang penutupan lokalisasi di provinsi jawa timur kembali berhembus
di akhir tahun 2011. Wacana itu agaknya akan segera menjadi kenyataan
setelah di keluarkannya instruksi gubernur jawa timur nomer
460/15612/031/2011 tertanggal 20 oktober 2011 tentang permohonan
dukungan kepada pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait untuk
mendukung program pemerintah tentang penutupan lokalisasi di seluruh
wilayah provinsi jawa timur. Terlepas itu ada unsur kepentingan
pendongkrak reputasi ataupun dalam rangka kepentingan lainnya.
Masyarakat berharap itu bukan hanya sekedar omong kosong belaka.
Mahasiswa sebagai agent of change sudah seharusnya tidak menutup mata
dan mau melibatkan diri menawarkan solusi dalam problem sosial yang
berserakan di sekitar kita.
Sabtu Siang di Lokalisasi Kedung Banteng
Siang
itu cuaca kota ponorogo cukup bersahabat dengan crew liputan al-Millah.
Obyek liputan di pinggiran desa kedung banteng memang tidak begitu jauh
dari kampus STAIN Ponorogo, jika ditempuh dengan sepeda motor, pembaca
akan menikmati perjalanan sekitar 50 menit. Dari arah pasar legi ke
utara, silahkan ambil jalur ke arah kabupaten Magetan. Jalan terus,
sampai kalian akan menemukan kantor desa kedung banteng, belok kiri.
Lokalisasi sudah dekat dengan keberadaan pembaca.
Penduduk
sekitar lebih sering menyebut lokalisasi kedung banteng dengan istilah
“kompleks”. Mungkin karena lokalisasi berada dalam satu lokasi sehingga
mirip dengan kompleks perumahan.
Penghuni
lokalisasi kedung banteng terlihat berlalu lalang melintas di sekitar
lokalisasi. Kedatangan kami sempat memicu perhatian mereka, mungkin
mereka merasa aneh dengan jilbab kami. Namun hal itu tidak mengurangi
keramahan khas mereka. Bahkan kami sempat ditawari untuk sekedar mampir
di beberapa warung mereka.
Untuk sajian selengkapnya silahkan baca liputan di bawah ini sampai tuntas. Selamat membaca.
Dari Ronowijayan Menuju Kedung Banteng
Sejarah
awal adanya bisnis prostitusi di ponorogo sudah ada sejak zaman nenek
moyang. Hanya saja bisnis “hitam” itu mulai dilembagakan dalam satu
wilayah lokalisasi mulai tahun 1974 M. Lokalisasi ini pertama kali
didirikan di daerah Ronowijayan, tepatnya timur Universitas Muhamadiyah
Ponorogo. Lokalisasi ini pada akhirnya dipindahkan di daerah Kedung Banteng hingga saat ini.
Pendirian
lokalisasi saat itu merupakan solusi kekhawatiran pemerintah dan
masyarakat tentang merebaknya “warung jajanan” di jalanan-jalanan kota
ponorogo. Pembaca mungkin heran dengan istilah “ warung jajanan”, memang
istilah “Marung” merupakan kiasan yang sering mereka gunakan untuk
menyebut bisnis mereka. Dimana seorang mucikari merupakan pedagang yang
biasa menjajakan para wanita sebagai barang dagangannya. Para wanita
yang biasa di sebut pekerja seks komersial itu bukan lagi menjadi sosok
manusia merdeka seperti kodratnya. Ia beralih menjadi benda yang harus
siap diperdagangkan dalam jangka temporal kepada para lelaki hidung
belang.
Lokalisasi
dipindah ke desa kedung banteng sejak tahun 1981 M. Hal ini sesuai
dengan penuturan Verry, pegawai dinas sosial yang fokus memberikan
pendampingan kepada warga dilokalisasi Kedung Banteng.” Lokalisasi
pindah di kedung banteng itu tahun 1981 mbak, sebelumnya berada di
sekitaran UNMUH”, cerita beliau kepada al-Millah(15/02/12).
Tahun
pemindahan itu juga ada yang mengatakan bukan tahun 1981, akan tetapi
tahun 1982. Penggusuran itu terjadi karena faktor pembangunan beberapa
lembaga pendidikan di sekitar lokalisasi WD( watoe dakon). Lokalisasi di
Ronowijayan dulu memang lebih sering di sebut WD sebagai singkatan dari
Watoe Dakon. Sebutan ini dikarenakan lokalisasi yang berdekatan dengan
area wingit, tempat watu dakon berada, konon tempat wingit itulah yang sekarang menjadi kampus kita, kampus STAIN Ponorogo.
Genjarnya
pembangunan lembaga pendidikan yang dilakukan pemerintah memang
akhirnya menggusur keberadaan bisnis prostitusi di daerah tersebut, dua
dunia yang tak sama, yang memang tak pantas untuk disandingkan. Mereka
para penghuni lokalisasi akhirnya di pindah di desa pelosok, ujung barat
laut kabupaten ponorogo, desa kedung banteng.
Pemindahan
lokalisasi ke kedung banteng memang menjadi keputusan bersama antara
pemerintah dan pihak pengelola lokalisasi saat itu. Dari pihak
pemerintah menyediakan lahan di pinggiran desa kedung banteng dan
beberapa fasilitas untuk membangun kembali rumah mereka yang tergusur. Walau
pada kenyataannya, pihak penghuni lokalisasi merasa kurang adil kala
itu, karena truk atau kendaraan yang diberikan pemerintah untuk membawa
barang-barang termasuk material hanya disediakan tiga truk. “ nggeh
riyen niku namung tigang rit kendaraan mawon mbak saking pemerintah,
padahal engkang badhe dipindahaken sekitar setunggalatusan kepala
keluarga”, kata Paino( nama samaran) mengungkapkan kisahnya.
Kesepakatan itupun akhirnya di jalankan. Membawa Paino dan dan
kawan-kawan seangkatannya menempati lokalisasi baru di Kedung Banteng.
Rotasi Penghuni Lokalisasi Kedung Banteng
Ketika lokalisasi masih bertempat di Ronowijayan, para pekerja seks komersial di lokalisasi
ada sekitar 400 orang dengan mucikari sekitar 100 orang. Setelah pindah
di Kedung Banteng jumlah PSK menurun dratis, hingga kini tinggal
tersisa kurang lebih 167 orang. Tempat yang tidak strategis agaknya
memicu berkurangnya para PSK yang tentu saja sangat mempengaruhi tingkat
kedatangan para pelanggan meraka.
Lokalisasi
Kedung Banteng memang terpencil, berdekatan dengan Alas Oro-Oro. Jalan
untuk menuju ke lokalisasipun sulit. Jalan itu masih berupa makadam (batu-batu kecil yang tertata sebelum diaspal).
Dari
data yang dihimpun oleh Dinas Sosial dalam laporan terakhir tahun 2011,
PSK di Kedung Banteng berjumlah 167 orang. Para PSK itu terbanyak
berasal dari kabupaten Tulungagung, Wonogiri, dan Ponorogo. Dari
Tulungagung berjumlah 32 orang, dari wonogiri berjumlah 28 orang, dan
dari ponorogo berjumlah 19 orang. Para PSK itu memang tidak hanya
berasal dari Jawa Timur. Ada juga yang dari Jawa Tengah, Jakarta, Jawa
barat dan Madura. “Data tersebut bisa berubah-ubah sewaktu-waktu mbak, karena PSK itu bisa datang dan pergi tanpa memberikan laporan kepada kami”, terang Verry dalam wawancara al-Millah(15/02/2012).
DATA PSK LOKALISASI KEDUNG BANTENG KABUPATEN PONOROGO TAHUN 2011 BERDASARKAN KOTA ASAL
NO
|
KOTA ASAL
|
JUMLAH
|
1
|
BOYOLALI
|
3
|
2
|
MADIUN
|
8
|
3
|
TULUNG AGUNG
|
32
|
4
|
WONOGIRI
|
28
|
5
|
MALANG
|
4
|
6
|
BLITAR
|
11
|
7
|
PROBOLINGGO
|
2
|
8
|
PATI
|
3
|
9
|
BOJONEGORO
|
1
|
10
|
SEMARANG
|
5
|
11
|
SURAKARTA
|
3
|
12
|
NGAJUK
|
5
|
13
|
BLORA
|
1
|
14
|
PONOROGO
|
19
|
15
|
KENDAL
|
2
|
16
|
LUMAJANG
|
1
|
17
|
PACITAN
|
5
|
18
|
MOJOKERTO
|
3
|
19
|
MAGETAN
|
8
|
20
|
SALATIGA
|
1
|
21
|
KEDIRI
|
2
|
22
|
DEMAK
|
1
|
23
|
PURWAKARTA
|
1
|
24
|
BANYUWANGI
|
2
|
25
|
JAKARTA
|
2
|
26
|
PURWODADI
|
1
|
27
|
SURABAYA
|
2
|
28
|
BANDAR LAMPUNG
|
1
|
29
|
JOMBANG
|
1
|
30
|
JEMBER
|
2
|
31
|
BANYUMAS
|
1
|
32
|
AMBON
|
1
|
33
|
NGAWI
|
1
|
34
|
PEKAN BARU
|
1
|
35
|
BANTUL
|
1
|
36
|
BANGKALAN
|
1
|
37
|
JEPARA
|
1
|
KET: - data tersebut diatas sewaktu waktu biasa berubah karena mobilitas yang sangat tinggi
- Data dari Dinas Sosial
Mereka Berbicara Tentang Wacana Penutupan Lokalisasi
Rencana
pemerintah provinsi tentang penutupan lokalisasi itu memang sudah
memasuki proses sosialisasi di berbagai daerah. Di ponorogo sendiri,
pihak Dinas sosial yang fokus mengadakan pendampingan kepada warga di
lokalisasi mengatakan bahwa pihaknya telah menjalankan intruksi dari
pemprov dengan mengadakan beragam program rehabilitasi untuk PSK dari
Ponorogo. Program pelatihan memasak, menjahit, dan ketrampilan telah
diadakan. “ Kemarin ada 6 orang PSK yang di kirim dalam pelatihan di
Jenangan, dengan harapan mereka bisa sadar dan segera keluar dari
pekerjaan sekarang” tegas Verry kembali. Namun, hal itu agaknya
kurang mempan untuk membuat mereka jera dari pekerjaan tersebut. mereka
tetap saja kembali menjalani rutinitas mereka bekerja di lokalisasi.
Ketika
kami menyambangi kompleks lokalisasi(03/03/12), suasananya masih adem,
ayem, tentrem saja. Bahkan, ketika kami konfirmasi tentang issu
penutupan lokasasi tersebut mereka mengaku belum mendapatkan informasi
secara khusus dari pemerintah. Berita itu justru datang dari media
elektronik( radio) yang masih sempat mereka dengarkan di
sela-sela kehidupan mereka di lokalisasi. Dan juga dari beberapa
wartawan media cetak yang mencari kebenaran berita tersebut pada mereka.
“ belum mbak, dereng wonten omongan sangking pemerintah, nek ajeng
dipindah kulo nggeh manut mawon, lha pripun maleh, seng penting wonten
ganti rugine, nek menurut perjanjian kolo niko nggeh mboten ajeng
dipindah maleh, tapi pejabat sakniki kan pun gantos bolak-balik”, tutur tetua lokalisasi membeberkan apa yang dia rasakan.
Menurut
pengakuannya memang perjanjian dahulu ketika pindah dari lokalisasi
Ronowijayan, mereka tidak akan dipindahkan lagi. Namun, peraturan itupun
tak pernah dilegalkan, kapanpun pihak pembuat kebijakan melancarkan
wewenangnya, maka tak dapat diayal lagi, mereka tetap akan tergusur.
Dua
orang PSK yang berhasil al-Millah wawancaraipun mengatakan hal yang
sama. Mereka siap jika sewaktu-waktu lokalisasi itupun ditutup, dengan
beberapa catatan penting bahwa mereka akan diberikan pekerjaan yang
mumpuni untuk kehidupan mereka dan keluarganya. “ kami di sini
bekerja untuk menghidupi anak mbak, anak saya tiga, suami saya
selingkuh, kami bercerai, nyari kerja juga susah, ya kami akhirnya kami
kerja seperti ini”, kisah noni (nama samaran) pada awal maret lalu.
Para
PSK juga tidak ingin selama bekerja sebagai orang yang dilabeli
masyarakat sebagai penyakit masyarakat, ada saatnya mereka ingin kembali
hidup normal, dengan pekerjaan yang lebih mulia.
Upaya Bersama Menutup Lokalisasi
Upaya
yang tepat untuk menutup lokalisasi di ponorogo memang masih mengalami
jalan buntu, namun bukan hal mustahil jika penutupan itu akan
terealisasi. Pemerintah dengan segala kekuasaannya bisa memutuskan
kebijakan bisa mengatur kembali regulasi ( peraturan) tentang pendirian
lokalisasi ini dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana.
Lembaga-lembaga
yang terkait dalam pendampinganpun harus rela memprogram rencana tindak
lanjut dengan lebih efektif, agar para PSK ataupun mucikari yang mereka
berikan pelatihan bisa kembali ke jalan kehidupan normal. Mereka
dibimbing untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan mendampingi
mereka hingga benar-benar terlepas dari jeratan bisnis prostitusi.
Dari
mahasiswa dan kawula masyarakat ponorogo agaknya harus mau melibatkan
diri mengadakan kegiatan kemasyarakatan di lokalisasi tersebut.
Contohnya saja, mengadakan pengajian atau program-program religi
lainnya. Karena dari pengakuan tetua lokalisasi tersebut, para pengurus
sudah memberikan izin jika di lokalisasi tersebut dibangun mushola
sebagai tempat ibadah mereka. “ riyen ajeng dibangun mushola kalian
salah satu pengasuh pondok modern ponorogo, namung rencang-rencang
mboten setuju, nek sakniki pun angsal, tapi dereng wonten dana”, tutur Paino ( tetua lokalisasi KB) mengakhiri wawancaranya dengan crew al-Millah. (http://regional.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar