Kelewat banyak yang hendak kutuliskan tentang Tanah Bumbu, sebuah kabupaten beribukotakan Batu Licin
di Propinsi Kalimantan Selatan. Kali ini kembali penulis
memprioritaskan reportase perilaku seks yang kian menggeliat di Tanah
Bumbu dan penulis sebutkan Bumbu Sex di salah satu kabupaten kaya raya
ini. Saat penulis mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin,
cermin kayanya Propinsi Kalimantan Selatan ini telah terasa. Dibalik
hingar bingarnya eksplorasi tambang batu bara di propinsi tertua di
Borneo ini justru saya meresahkan tiga hal subtansi: endemis malaria, miskinnya warga di balik kekayaan alam dan “bumbu sex” di Tanah Bumbu. Malahpun
penulis jadi “terheran-heran” dengan panjangnya antrian di SPBU
-terutama solar- padahal sumber minyak mentah justru dari pulau ini.
Siapa
yang tak kenal dengan Martapura, gudangnya perhiasan permata. Idolanya
para ibu berwisata perhiasaan dengan harga mulai lima ribu rupiah sampai
jutaan rupiah. Jika anda seorang suami, bermesraanlah! Genggamlah
erat-erat tangan sang istri, tunjukkan kemesraan itu kepada publik dan
pengunjung, jangan lepas. Sebab jika terlepas maka kemesraan itu berubah
menjadi sebuah penantian yang lama. Ia akan melepaskan diri, nanar mata
memandangnya. Mereka menyusuri toko-toko permata yang berkelas dunia.
Permata yang menjadi idaman para wanita kita. Itu sudah manusiawi,
bawaan bahwa perempaun kita sepaket dengan permata. Wanita itu sendiri
adalah permata kehidupan kita.
Pemerasan Alam
Berkaca-kaca
mata penulis menyaksikan “pemerasan alam” yang dilakukan oleh para
kontraktor, pengusaha besar tambang batubara yang telah dengan tega
menggunduli pegunungan. Penipisan ozon diakibatkan kian berkurangnya
hutan lebat di sini. Penulis belum menemukan peremajaan hutan kembali di
bumi yang mayotitas beretnik Banjar ini dengan lagu legendarisnya KOTA
BARU gunungnya bamega.
Bumbu Seks dan Narkoba di Tanah Bumbu
Usai mengunjungi kota permata, penulis
diharuskan menempuh perjalanan darat 6 jam menuju Kabupaten Tana Bumbu.
Kabupaten yang merupakan tujuan utama Kompasianer Makassar ini. Sebuah
perjalanan yang sungguh memberatkan dan melelahkan. Jika kita tak cukup
kuat maka kita berpotensi “mabuk perjalananan” ataupun mengurungkan niat
untuk melanjutkan perjalanan seperti yang terjadi pada kedua teman
saya. Mereka menyerah di tengah perjalanan dan memilih balik ke
Banjarmasin.
***
Telah menjadi kultur -rahasia umum-
bahwa disetiap industri pertambangan, selalu diikuti dengan riak
prostitusi entah itu terang-terangan maupun terselubung. Efek dari
berputarnya uang miliaran rupiah berkonsekwensi kepada munculnya
lokalisasi-lokalisasi. Setidaknya di Tanah Bumbu sendiri memiliki
sembilan titik lokalisasi prostitusi di mana pelanggannya bervariasi
antara lain pekerja tambang itu sendiri, pelajar, masyarakat lokal.
Namun, penulis tidak menemukan pelaku prostitusinya berasal dari
masyarakat asli melainkan diimpor dari luar seperti dari Jawa bahkan
saya sempat bertemu seorang PSK dari Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan.
Just imagine…!. Penulis tak pernah
menyangka kalau Tanah Bumbu memiliki angka tertinggi di antara kabupaten
lain yang ada di Kalimantan Selatan dengan 200 kasus HIV/AIDS.
Peneliti benar-benar tak menduga, daerah yang cukup terisolir dan
pedalaman ini memiliki penderita HIV/AIDS sebanyak itu. Maka sangat
pantaslah jika slogan peringatan hari AIDS di Indonesia: “Lindungi
Pekerja dari HIV/AIDS”. Peneliti jadi teringat dengan kasus menghebohkan
video mesum pelajar cantik dan seorang anak muda kaya raya di Batulicin,
Tanah Bumbu, 2007 silam. Ini perlambang bahwa potensi-potensi
terinfeksinya Human Infected Viruses masyarakat Tanah Bumbu sangat
terbuka dan itulah yang menjadi kecemasan penulis akan meledaknya kasus
HIV/AIDS di kabupaten berjuluk Tanah Bumbu Bersujud ini.
Kebijakan Unik
Penelusuran peneliti di malam hari, di
Batu Licin (Ibu Kota Kabupaten Tanah Bumbu) telah berdiri beberapa hotel
yang selama ini menjadi fasilitas umum dan turut membantu bagi
pendatang untuk menawarkan penginapan dalam sebuah kegiatan di lokasi
ini. Namun sangat disayangkan sebab hotel-hotel ini pulalah menjadi
arena prostitusi terselubung sehingga turut “mendukung” penularan
HIV/AIDS di kota ini.
Maka wajarlah jika pemkab setempat
dengan rada-rada marah, kesal, kecewa, prihatin. Pemkab menetapkan
sebuah kebijakan bahwa jika ditemukan pelacuran terselubung saat
penggerebekan di hotel ataupun rumah prostitusi yang menyelenggarakan
bisnis mesum, maka pihak hotel yang akan menanggung seluruh biaya pengobatan penderita HIV/AIDS yang terbukti pernah melakukan tran-seksual di hotel mereka. Sebuah kebijakan yang menurut penulis realistis. (Muhammad Armand, http://regional.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar