Kamis, 12 Januari 2017

SEJARAH BISNIS PROSTITUSI DI JAKARTA

Kali jodo

Pemprov DKI Jakarta terus berupaya melakukan penggusuran lokalisasi pelacuran di Ibu Kota. Setelah Kramat Tunggak yang sukses diubah menjadi Islamic center, kini penggusuran lokasi pemuas syahwat tersebut menyasar kawasan Kalijodo.

Sebelum isu penggusuran Kalijodo bergaung, lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) di Boker, Cijantung, Jakarta Timur, juga akan mengalami nasib serupa. Rencana itu menjadi cerminan Pemprov DKI pimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama terus berupaya mengubah "daerah hitam" menjadi "daerah putih" seperti yang dilakukan di Kramat Tunggak dengan Islamic centre-nya.

Istilah pelacur kini sudah dilunakkan sebutannya menjadi wanita tuna susila (WTS) atau PSK. Padahal, dalam bahasa Betawi lama sendiri tidak dikenal istilah pelacur, apalagi WTS dan PSK.


Perkataan yang maksudnya serupa seperti cabo untuk wanita semacam ini berasal dari bahasa Cina, dan moler berasal dari Portugis. Dengan kata lain, kata budayawan Betawi Ridwan Saidi, dalam sejarah Betawi--pada mulanya tidak dikenal pekerjaan serupa--baik masa pra-Islam maupun di masa Islam.

VOC tak Mampu Bendung Bisnis Prostitusi
Berdasarkan pendapat di atas, pada masa VOC-lah dikenal pelacuran. Penyebabnya banyaknya para pendatang dari Eropa ataupun Cina tanpa istri.

Padahal, seperti dikemukakan Leonard Brusse dalam buku Persekutuan Aneh, sejak awal berdirinya Batavia, Gubernur Jenderal JP Coen melontarkan ketidaksenangannya terhadap maksiat, seperti pergundikan, perzinaan, dan pelacuran.

Kenyataannya, pelacuran merupakan masalah yang dihadapi kota ini. Bahkan, orang nomor satu di Batavia itu pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang kedapatan "bermesraan" dengan perwira muda VOC di kediamannya.

Si perwira ini dihukum pancung, sementara si gadis didera dengan badan setengah telanjang. Eksekusi dilakukan di balai kota (kini Museum Sejarah Jakarta, Jalan Falatehan, Jakarta Barat).

Namun, Coen dan kemudian para penggantinya tidak dapat membendung pelacuran. Apalagi, Batavia banyak didatangi para pelaut mancanegara, setelah mendarat mencari tempat-tempat pelesiran.

Macao Po, Rumah Bordil Pertama di Batavia
Menurut Ridwan Saidi, tempat konsentrasi PSK pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, yakni rumah-rumah tingkat di depan Stasiun Beos (Jakarta Kota).

Disebut demikian, karena para PSK-nya didatangkan dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan Cina untuk menghibur warga Belanda di Binnestadt (sekitar Kota Inten di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang). Pada abad ke-17 itu, para taipan atau orang berduit keturunan Cina juga mencari hiburan di Macao Po.

Di sebelah timur Macao Po, mungkin di sekitar Jalan Jayakarta sekarang, terdapat tempat pelacuran kelas rendah, yang masa itu bernama Gang Mangga. Tidak heran kalau sakit sipilis kala itu disebut sakit mangga.

Sampai 1960-an orang Jakarta menyebut sipilis sebagai sakit raja singa. Sudah pasti kala itu belum dikenal istilah HIV/AIDS. Kompleks pelacuran Gangg Mangga ini kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan orang Cina yang disebut soehian.

PSK Diimpor dari Macao Cina
Kompleks pelacuran macam ini kemudian menyebar ke seluruh Betawi. Karena sering terjadi keributan, pada awal abad ke-20 soehian ditutup.

Menurut Ridwan, pemicunya adalah peristiwa terbunuhnya PSK Indo yang tinggal di Kwitang, bernama Fientje de Ferick pada 1919 di soehian Petamburan. Kemudian, dua kompleks pelacuran menggantikan soehian masing-masing di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar).

Sampai awal 1970-an Gang Hauber masih dihuni para pelacur. Sedangkan Kaligot tutup akhir 1950-an.

Pada masa Wali Kota Soediro, dengan maksud agar para hidung belang menjauhi tempat tersebut, ia mengganti nama lokalisasi itu menjadi Gang Sadar. Gang Sadar I sampai III.

Sedangkan, nama Kaligot tetap dipertahankan. Karena pada 1930-an pernah menjadi lokasi manggung sandiwara Prancis bernama Caligot selama berbulan-bulan di Batavia.

Kapten Syafi'i, Penjaga Tempat Pelacuran di Jakarta
Pertengahan 1950-an, pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar Stasiun Senen, Jakarta Pusat. Pada 1960-an, ketika terjadi persaingan antara Uni Soviet
dan Amerika Serikat untuk meluncurkan sputnik di ruang angkasa, entah siapa yang menamakannya, lokasi ini bernama Planet Senen. Yang kemudian dibangun kantor Kecamatan Senen, dan gelanggang olahraga oleh Gubernur
Ali Sadikin.

Sementara, para PSK-nya menjadi penghuni lokalisasi Kramat Tunggak. Pada 1950-an sampai 1960-an masih seabrek tempat mendekamnya para PSK di Jakarta. Yang terkenal di antaranya, di Jalan Halimun, antara Kalimalang
(dekat markas CPM Guntur), hingga Bendungan Banjir Kanal.

Tempat lainnya terserak di Kebon Sereh, belakang stasiun KA Jatinegara, Bongkaran, Tanah Abang, dan masih banyak lagi. Seperti juga sekarang, yang sering terjadi di lokasi-lokasi PSK adalah pertentangan antargeng
memperebutkan lahan 'basah'.

Tapi boleh dibilang, hampir tidak terjadi perkelahian massal seperti terjadi di Kalijodo dan Kramat Tunggak sebelum ditutup. Amannya tempat-tempat pelacuran dan juga kota Jakarta kala itu, berkat Cobra, suatu organisasi keamanan yang dipimpin Kapten Syafi'i.

Bang Pi'ie, demikian sebutan akrabnya, yang kala itu menjadi petugas KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya), sangat ditakui dan dihormati. Boleh dikata para preman takluk pada tokoh masyarakat Betawi ini. (https://www.atmago.com/id/posts/sejarah-bisnis-prostitusi-di-jakarta_post_id_9ff9822c-718d-43a4-9edc-2da2aafd9455)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar