Wabah pakaian pelacur ini menjangkiti wanita Indonesia dan Malaysia.
Singkap Sudut Gelap Kampung Pelacuran Subang, Di Negara Umat Islam Terbesar Di Dunia..
Sambungan dari..
Siri 1: Singkap Sudut Gelap Kampung 'aroma lendir' Di Suba...
"... (ORANG) tahu, saya di cafe sini." Suatu pengakuan yang mengejutkan ini terlontar dari bibir Y, pelacur berusia 16 tahun asal Desa Saradan, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat, bila ditanya apakah orangtuanya tahu dia melacur.
Beberapa minit kemudian, telefon bimbit berdering. Y cepat-cepat mengangkat handphone jenama Nokia dari genggamannya. Dia mengaku ditelefon oleh ayahnya menanyakan keberadaannya.
"Di sini," katanya ringkas sambil menyebut nama cafe di mana dia berada.
Malam itu, Y diberi khabar adiknya yang berusia 10 bulan sedang sakit. Dia lantas menyuruh ayahnya membeli ubat di farmasi. Lantaran ayahnya tak ada wang, Y memastikan jika nanti bakal diganti selepas pulang dari cafe itu.
"Beli dulu salepnya, nanti diganti," kata Y menjawab dengan logat sunda.
Ironis memang mendengar pengakuan Y, jika profesion menjadi pelacur diketahui ayah. Selain itu, Y juga mengaku jika mendengar dirinya mabuk, ibu hanya bertindakbalas rata.
"Paling ditanya kamu mabuk ya," ujarnya ketika dia meminta gula-gula untuk menghilangkan bau bir.
Sekilas, Y memang tak seperti gadis yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Wajahnya manis dengan tinggi sekitar 150 sentimeter.Tubuh badan yang kecil. Ketika datang di cafe itu, Y menggunakan kasut tinggi.
Awalnya dia malu-malu. Namun, selepas setengah jam berkenalan, dia baru mula banyak bercakap. Sambil menyalakan api merokok, Y cuba mencairkan suasana. Dia memang risih, mengingat cuma dia wanita sendirian di cafe itu.Dia pun menawarkan temannya agar ikut disewa dan hadir menemani Y.
"Biar tambah ramai, satu lagi ya. Ini kasihan muziknya enggak ada yang dijogetin," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama house muzik dangdut penyanyi Citacitata 'Sakitnya tuh di sini'.
Memang mendengar pengakuan Y lumayan memeranjatkan, tapi begitulah faktanya, pelacuran rumahan di sudut Bandar Subang, Jawa Barat, terjadi. U, seorang bapa ayam merangkap Jawara kampung sudah mafhum benar jika ramai orang dari Jakarta datang untuk merasai pelacur asal Desa Saradan.
Bahkan, kata dia, orang-orang di kampung juga tak pernah mengusik keberadaan pelacuran di kampungnya. "Di sini biasa saja apalagi kalau jalannya sama saya, enggak ada yang berani rese," kata U.
Paling mengejutkan, kata U pemuka agama di kampungnya juga sejauh ini tak pernah menegur. Fakta itu memang benar adanya, jangankan ada orang mengusik untuk datang ke cafe itu, orang lewat di depan rumah pelacuran itu pun juga tak kelihatan.
Beberapa daerah di Subang, Jawa Barat .
Maklum tempat itu berada di penjuru kampung. Hanya ada satu rumah dekat cafe itu. Jalan menuju rumah pelacuran itu pun belum berturap. Warga yang melihat kereta dan motor lalu lalang menuju rumah itu pun tak direspon. Entah sebab apa, pelacuran rumahan di dalam Kampung Saradan itu tak pernah ditutup oleh warga sekitar. Padahal secara nyata, aktiviti berbau lendir itu justru mencemarkan nama kampungnya.
"Setakat ini belum pernah ada, malah orang ramai menahan pegawai pemerintah ketika hendak melakukan sekatan di kampung Saradan itu." terang U.
(Diangkat dari Merdeka.com id. yang di 'Bahasa Malaysia'kan)
Bersambung..
Singkap Sudut Gelap Kampung Pelacuran Subang, Di Negara Umat Islam Terbesar Di Dunia..
Sambungan dari..
Siri 1: Singkap Sudut Gelap Kampung 'aroma lendir' Di Suba...
"... (ORANG) tahu, saya di cafe sini." Suatu pengakuan yang mengejutkan ini terlontar dari bibir Y, pelacur berusia 16 tahun asal Desa Saradan, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat, bila ditanya apakah orangtuanya tahu dia melacur.
Beberapa minit kemudian, telefon bimbit berdering. Y cepat-cepat mengangkat handphone jenama Nokia dari genggamannya. Dia mengaku ditelefon oleh ayahnya menanyakan keberadaannya.
"Di sini," katanya ringkas sambil menyebut nama cafe di mana dia berada.
Malam itu, Y diberi khabar adiknya yang berusia 10 bulan sedang sakit. Dia lantas menyuruh ayahnya membeli ubat di farmasi. Lantaran ayahnya tak ada wang, Y memastikan jika nanti bakal diganti selepas pulang dari cafe itu.
"Beli dulu salepnya, nanti diganti," kata Y menjawab dengan logat sunda.
Ironis memang mendengar pengakuan Y, jika profesion menjadi pelacur diketahui ayah. Selain itu, Y juga mengaku jika mendengar dirinya mabuk, ibu hanya bertindakbalas rata.
"Paling ditanya kamu mabuk ya," ujarnya ketika dia meminta gula-gula untuk menghilangkan bau bir.
Sekilas, Y memang tak seperti gadis yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Wajahnya manis dengan tinggi sekitar 150 sentimeter.Tubuh badan yang kecil. Ketika datang di cafe itu, Y menggunakan kasut tinggi.
Awalnya dia malu-malu. Namun, selepas setengah jam berkenalan, dia baru mula banyak bercakap. Sambil menyalakan api merokok, Y cuba mencairkan suasana. Dia memang risih, mengingat cuma dia wanita sendirian di cafe itu.Dia pun menawarkan temannya agar ikut disewa dan hadir menemani Y.
"Biar tambah ramai, satu lagi ya. Ini kasihan muziknya enggak ada yang dijogetin," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama house muzik dangdut penyanyi Citacitata 'Sakitnya tuh di sini'.
Memang mendengar pengakuan Y lumayan memeranjatkan, tapi begitulah faktanya, pelacuran rumahan di sudut Bandar Subang, Jawa Barat, terjadi. U, seorang bapa ayam merangkap Jawara kampung sudah mafhum benar jika ramai orang dari Jakarta datang untuk merasai pelacur asal Desa Saradan.
Bahkan, kata dia, orang-orang di kampung juga tak pernah mengusik keberadaan pelacuran di kampungnya. "Di sini biasa saja apalagi kalau jalannya sama saya, enggak ada yang berani rese," kata U.
Paling mengejutkan, kata U pemuka agama di kampungnya juga sejauh ini tak pernah menegur. Fakta itu memang benar adanya, jangankan ada orang mengusik untuk datang ke cafe itu, orang lewat di depan rumah pelacuran itu pun juga tak kelihatan.
Beberapa daerah di Subang, Jawa Barat .
Maklum tempat itu berada di penjuru kampung. Hanya ada satu rumah dekat cafe itu. Jalan menuju rumah pelacuran itu pun belum berturap. Warga yang melihat kereta dan motor lalu lalang menuju rumah itu pun tak direspon. Entah sebab apa, pelacuran rumahan di dalam Kampung Saradan itu tak pernah ditutup oleh warga sekitar. Padahal secara nyata, aktiviti berbau lendir itu justru mencemarkan nama kampungnya.
"Setakat ini belum pernah ada, malah orang ramai menahan pegawai pemerintah ketika hendak melakukan sekatan di kampung Saradan itu." terang U.
(Diangkat dari Merdeka.com id. yang di 'Bahasa Malaysia'kan)
Bersambung..
(http://www.ibnuhasyim.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar