Kamis, 25 Agustus 2016

PANDANGAN ETIKA TERHADAP PELACURAN


PENDAHULUAN  
Latar Belakang
Masalah Dunia malam sering dipandang sebagai dunia yang penuh gemerlap dan didalamnya terungkap berbagai kasus, sebut saja Narkoba, Minuman keras, seks bebas, kekerasan sampai pada kasus pelacuran. Dan untuk kasus yang terakhir yaitu pelacuran maka jelas ada beberapa alasan sampai banyak sekali wanita akhirnya memilih manjadi pelacur mulai dari sekedar mencari kepuasan seks dan kelebihan dalam materi, karena paksaan pihak lain, tuntutan ekonomi, keadaan yang dihadapi saat itu sampai pada pengaruh dalam lingkungan. Maka dengan membicarakan masalah pelacuran, melalui tugas ini kami ingin mengangkat sebuah kasus yang pernah diceritakan pada kami demikian : sebut saja dia dengan inisial ‘L’ yang saat itu berusia 16 tahun. Ia tumbuh menjadi wanita cantik namun dari keluarga miskin. Ia terlahir sebagai anak kedua dari tujuh orang bersaudara, kakak tertuanya laki-laki sudah menikah dan meninggalkan keluarga. Jadi pada saat itu L hidup bersama lima orang adik perempuan dan orang tua yang waktu itu ayahnya sakit-sakitan. Singkat cerita, dalam berbagai masalah ekonomi yang ia dan keluarganya rasakan, ada orang dari keturunan Cina yang menawarinya bekerja di Papua sebagai seorang penyanyi dengan upah yang sangat lumayan pada waktu itu. Tanpa pikir panjang L menerima tawaran itu. Ia bekerja di salah satu tempat hiburan di papua sebagai seorang penyanyi namun kemudian beralih menjadi penyanyi ++ dan akhirnya entah bermula dari mana ia menjadi wanita PSK yang aktif melayani tamu-tamu berkelas di tempat hiburan itu. Beberapa tahun berlalu ia sempat kembali kerumah keluarga dengan banyak sekali perubahan terkhusus dalam hal ekonomi. Dia sempat bekerja hampir satu tahun di manado namun akhirnya kembali lagi ke Papua menjadi istri kontrak salah seorang pengusaha kaya. Dia kemudian hidup berpindah-pindah dari Manado-Papua-Jakarta-Bandung-Malang-Banjarmasin dan ke berbagai tempat. Ia sempat melahirkan beberapa orang anak yang 4 diantaranya dia jual, 2 diantaranya meninggal dan dua lagi sekarang bersama dia. Sekarang L hidup pas-pasan bersama ke-dua anaknya namun ia bekerja halal sebagai buruh pada sebuah perusahan di Manado, satu alasan yang pernah ia sampaikan yang ingin sekali kami kaji dalam tugas ini yaitu : “tidak semua wanita PSK bekerja untuk kepuasan seks dan gaya-gayaan, ada dari kami yang menjadi PSK benar-benar agar keluarga tidak mati kelaparan, walau ada rasa malu saya rasa Tuhan memang menggariskan saya bekerja begitu” 

Identifikasi Masalah 
Pelacuran merupakan suatu masalah yang terus menghadapi kontroversi dari waktu ke waktu, ada yang setuju tapi ada pula yang menolak dengan tegas. Ini memang adalah hal yang wajar dalam sebuah kasus karena pro dan kontra adalah bagian yang tidak dapat hilang dalam setiap hal. Namun jelas saja bahwa pelacuran apapun bentuknya pasti akan membawa dampak bagi kehidupan pelaku prostitusi atau wanita pelacur. Melalui kasus yang kami kelompok angkat jelas dapat dilihat bahwa pelacuran dipilih L sebagai suatu pekerjaan karena desakan keadaan yang berdiri diatas tanggungjawabnya sebagai anak yang diharapkan ditengah keluarga. Pelacuran jelas membawa akibat dalam diri pelaku pelacuran maupun masyarakat, selain dilihat sebagai wanita murahan, Para pelacur seperti L harus mengakhiri masa-masa hidup dengan pandangan negative dari lingkungan dimana dia hidup. Sebagian mungkin mengakhiri hidup dengan bahagia bersama pendampingnya tapi L adalah salah satu wanita yang dulunya bekerja sebagai pelacur yang kini dengan susah payah seorang diri merawat ke-dua anaknya tanpa suami dan tanpa sanggup membiayai pendidikan anak-anaknya. Pelacuran adalah sebuah masalah yang sangat tua dalam peradaban manusia, dalam Alkitab sendiri wanita pelacur atau perempuan sundal beberapa kali disebutkan, wanita pelacur sering dianggap aib dalam lingkungan tapi jelas saja bagi para lelaki yang mencari mereka wanita pelacur dianggap sebagai sebuah kebutuhan. Disinilah masalahnya, Bagaimana seharusnya kita menilai masalah ini secara bijaksana? Bagaimanakah Etika menjawab hal ini? kami berharap pembahasan yang kami sajikan akan menjawab pertanyaan ini.
BAB I 
KAJIAN TEORI  
Siapakah pelacur itu?
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual dengan uang sebagai imbalan atau upah. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku prostitusi atau pelacuran sering disebut sebagai sundal. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat. Pelacur dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga sering diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau. ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas. 

Berbagai pendapat disekitar kita
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan mengenai masalah pekerja seks komersial, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan) yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dianggap dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan kepercayaan yang tidak baik maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, sekalipun itu dilakukan dengan menjadi pekerja seks komersial (wanita pelacur).
Dalam suatu kasus prostitusi, sebagian orang menganggap perluh agar ditegakan hukum seadil mungkin untuk menjerat mereka yang terlibat didalamnya namun bagi sebagian orang ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual, mereka telah melakukan suatu kesepakatan dan tak ada yang dipaksakan jadi mengapa harus dihukum? Inilah fakta yang memang dihadapi. Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Apalagi jika pelaku ternyata masih dibawa umur. 

Pandangan Agama-agama
• Pandangan Agama Kristen
Agama Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi Hosea (1:2-11). Alkitab juga secara jelas menunjukan bahwa masalah pelacuran memang telah ada sejak lama bahkan dalam suatu perumpamaan, Tuhan Yesus pernah menyinggung mengenai masalah ini. Di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus ini, masyarakat cenderung menganggap negatif perlakuan pelacuran karena itu orang baik-baik biasanya tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31). Hal ini bukanlah tanda bahwa Yesus menyetujui pelacuran tapi sikap Yesus kepada para perempuan sundal yang percaya kepada pemberitaan mengenai Dia. Ada pula kisah tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam kisah ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan kerana itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan demikian: "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, kerana ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25).
• Pandangan Agama Islam, Buddha dan Hindu
Pelacuran dalam Islam adalah haram hukumnya dan berdosa besar. Islam juga melarang berkawin dengan pelacur. Dalam pandangan umat Hindu pelacuran sangat dilarang, karena dalam Hinduisme, tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi berikutnya, mereka yang memperjual belikan susu kehidupan dalam pandangan hindu hukumnya adalah kutukan seumur hidup. Dalam Veda (kitab agama Hindu) sendiri yang merupakan kitab suci umat hindu pelacuran disebutkan sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga akan mendapatkan kutukan sebanyak 7 keturunan. Dalam kitab suci agama Buddha, pelacuran jelas dilarang karena tidak sesuai dengan keinginan Buddha.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH 
Melalui kasus L yang telah kami bahas diatas maka kami memberi tinjauan etis terhadap masalah tersebut dari beberapa cara pandang etika sebagai berikut :
1. Etika Deontologis
Kata Deontologis atau “deontological” memiliki akar kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang harus dilakukan sebagai hasil sebuah paksaan, tugas atau kewajiban. Etika deontologikal ini menekankan bahwa benar atau salah sebuah tindakan ditentukan oleh standar atau norma yang wajib untuk dilakukan. Seseorang dianggap baik secara moral apabila dia tidak melanggar standar atau aturan yang telah ditetapkan dan seorang dianggap buruk secara moral jika tindakannya bertentangan dengan norma-norma tersebut. Maka pelacuran dianggap sebagai hal yang salah jika dilihat secara Deontologis, selain pemerintah jelas melarang adanya prostitusi, atau pendekatan hukum yang memandang tindakan ini apapun alasannya sebagai bentuk kejahatan, dari segi kesehatan pelacuran juga dilihat sebagai tindakan yang merugikan kesehatan. Dengan mengganti pasangan tanpa perkenalan yang cukup dan kebiasaan melakukan hubungan seks secara tidak sehat maka para pelaku jelas akan menderita berbagai penyakit penyakit. Selain itu norma dan adat istiadat juga tidak membenarkan hal ini karena merupakan cara hidup yang tidak baik meskipun ada juga yang menyetujui hal ini jika dilihat dari alasan yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi yang dianggap dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Karenanya jika kami kelompok melakukan pendekatan berdasar pada Etika Deontologis, maka menurut kami pelacuran adalah hal yang salah karena melanggar ketetapan pemerintah dan norma adat istiadat serta norma Agama bahwa hubungan yang dilakukan bukan secara sah adalah tindakan perzinahan dan perbuatan tidak terpuji serta bisa menjadi sumber penyakit.

2. Etika Teleologis 
Menurut cara pandang atau pendekatan Etika Teleologis, sesuai dengan arti kata “teleos” yang berarti tujuan, hal apa yang secara moral baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang ditentukan oleh hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Maka jelas jika perbuatan menghasilkan hal yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan pada apa yang baik dan apa yang tidak baik. Yang lebih penting adalah tujuan atau akibat. Berdasar pada pendekatan ini maka melihat kasus L dapat disimpulkan bahwa tindakan L adalah tindakan yang baik, tujuannya untuk membantu kehidupan keluarga dan menolong keluarga keluar dari kemiskinan adalah suatu tujuan yag baik. Hal ini juga terlihat pada hasil yang dicapai, ia mendapatkan apa yang ia cari yaitu kelimpahan materi dan ia bisa membantu perekonomian keluarga. Namun melihat akibat jangka panjang, secara Teleologis tindakan L adalah hal yang tidak tepat. Meski L menggunakan pekerjaan ini sebagai sumber penghasilan agar keluarganya bisa makan dan bertahan hidup sekalipun jadi aib bagi dia dan tujuannya adalah untuk pemenuhan ekonomi maka selama hasil dari pekerjaan adalah sesuai dengan tujuan maka hal ini bisa dikatakan baik. Namun mengapa tidak tepat menurut kami, itu karena apa yang L lakukan telah mengesampingkan kemampuannya mencari uang secara halal dan akibat jangka panjang yang dihasilkan, selain kehidupan keluarga yang tidak utuh dimasa tua, kemiskinan tapi juga rasa malu dan penyesalan yang terus menerus.

3. Etika Kontekstual 
Dalam pendekatan ini maka yang diperhatikan adalah keadaan yang ada pada saat itu, Mengenai suatu keputusan yang harus diambil. Dari segi situasi dan keadaan yang dialami oleh L maka hal ini dapat dibenarkan. L memulai pekerjaan sebagai penyanyi,  L mempunyai kemampuan menyanyi yang bisa mengahasilkan uang, Lingkungan di Pub yang membuat dia akhirnya tanpa sadar mulai masuk pada dunia malam sebagai pelacur dengan alasan uang yang lebih mudah didapat atau mungkin lebih cepat dalam mendapatkan uang. Maka tujuannya mendapatkan uang dan membantu keluarga adalah baik dan keputusan yang L ambil untuk bekerja sebagai pelacur adalah sebuah keputusan yang secara konteks saat itu untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang mungkin dirasa lebih tepat adalah benar.. 

Kajian Teologi 
Melihat masalah L dan mengkaji hal itu secara Teologi maka dapat ditarik beberapa hal sebagai berikut : Pertama, Dalam Imamat 19:2 Tuhan berfirman “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus.” Menunjukan bahwa Allah menghendaki umat ciptaan-Nya hidup kudus dalam segala hal dan didalamnya tidak melakukan perbuatan tercelah seperti pelacuran dengan alasan apapun bahkan dalam hukum perkawinan, Allah melarang perzinahan (Keluaran 20:14) dan menghendaki bahwa orang yang melakuakan perzinahan harus dihukum mati (Ulangan 22:22).  
Kedua, pelacuran merupakan penolakan terhadap hukum kasih karena dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Paulus pun menyatakan bahwa seorang suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci tubuhnya sendiri, tetapi jusru mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29). Hal ini menegaskan bahwa tubuh kita harus kita jaga bukan untuk dilacurkan demi uang. Orang yang melacurkan dirinya tidak mengasihi tubuhnya sebagai Bait Allah dan ciptaan Allah (I Korintus 3:16-17).  
Ketiga, Orang yang melacur karena desakan ekonomi atau alasan apapun adalah orang yang tidak percaya akan berkat dan perlindungan Allah. Matius 6: 25-34 menjelaskan dengan panjang lebar bagaimana Allah sesungguhnya mengasihi manusia jauh melebihi ciptaan yang lain. Jika Allah mengasihi burung-burung dilangit dan bunga bakung di lading maka jelas Allah sangat mengasihi manusia melebihi ciptaan-Nya yang lain. Seharusnya manusia sadar bahwa Allah akan memelihara hidupnya dan memberikan apa yang ia perlu.Keempat, Manusia masing-masing diberi talenta oleh Allah, ada yang satu talenta dan ada yang lebih sesuai kamampuan masing-masing. Maka jika seorang melacur, jelas ia telah menolak talenta yang diberi Allah dengan tidak memaksimalkan talenta itu dengan baik. Dalam kasus L jelas bahwa dengan talenta yang ia miliki ia telah mendapat pekerjaan namun karena keinginan untuk mendapat pengahasilan yang lebih ia telah meninggalkan pekerjaan itu. Hal ini jelas bukan suatu hal yag dapat dibenarkan Allah karena Allah mau kita dapat memaksimalkan setiap hal yang telah Ia percayakan dalam hidup kita dengan baik dan berkenan kepada-Nya.

BAB III 
PENUTUP  
Kesimpulan
Pelacuran adalah suatu masalah kehidupan yang serius, meskipun berbagai hal dilakukan untuk mengantisipasi makin berkembangnya masalah ini tetapi para konsumen dari jasa seksual selalu hadir dan mengundang adanya tanggapan dari kemauan yang telah dianggap sebagai kebutuhan ini. Kami kelompok melihat bahwa masalahnya bukan ada pada perkembangan penjualan jasa seksual yang kini makin nyata dan terbuka ditengah publik tetapi justru pada kebutuhan pasar akan hal ini yang semakin sulit dihilangkan. Dapat dikatakan bahwa berbagai penyebab seperti ketidakpuasan dalam pernikahan dan coba-coba bagi anak muda yang belum mengenal pernikahan ditengarai menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan akan wanita pelacur. Hal lainnya adalah karena suatu penyakit seks yang tidak terobati sehingga ada keinginan untuk melakukan hubungan seks meskipun harus membayar secara khusus dengan harga yang beragam. Sementara itu dilihat dari sisi wanita pelacur, dapat di simpulkan bahwa sebagai wanita yang berhak hidup dengan pilihannya maka jelas adalah hal yang salah jika melacur menjadi sebuah pilihan dalam hidup seperti dalam kasus L. Tujuan yang baik dan hasil yang sesuai tujuan sekalipun bukanlah alasan untuk dapat melacurkan diri karena tindakan ini adalah tindakan bodoh dan merugikan diri sendiri serta bertentangan dengan norma agama dan adat istiadat. Akibat mungkin baik secara ekonomi seperti kasus L tapi akibat jangka panjang membuktikan bahwa hal itu akan menjadi catatan kelam sepanjang hidup dan jelas sangat merugikan dalam membangun hubungan dan pergaulan. Meskipun pemerintah menyusun larangan pada hubungan yang tidak sehat namun rumah remah-remang tersedia di berbagai tempat dan mendapat persetujuan dengan dalil ‘hubungan harus dilakukan dengan menggunakan pengaman semisal kondom’, entah apa maksudnya. Namun yang jelas semua kembali lagi pada pelaku pelacuran itu sendiri dan para konsumen dari jasa seksual itu. Kesadaran etis untuk melihat hal ini adalah hal yang sangat diperluhkan disamping berbagai pertimbangan yang hadir karena pandangan lingkungan dalam masyarakat, Agama, pemerintah dan lain halnya. 

Saran
Wanita pelacur adalah sesama kita yang berhak mendapatkan perlakuan manusiawi karena mereka juga adalah makhluk ciptaan yang mungkin saja khilaf dalam bertindak. Keberpihakan itu tidak berarti kita harus menghalalkan pelacuran, tetapi saran kami kelompok adalah kita mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan berusaha menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional dan bertindak melebihi hakim tetapi sebagai manusia yang hidup dengan berbagai kebutuhan, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan termasuk dalam memenuhi kebutuhan itu. Kita harus secara serius membicarakan masalah lain yang juga menentukan kasus pelacuran, misalnya dalam hal kemiskinan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Pelacuran adalah sebuah tanda ketidakmampuan untuk mengahadapi kerasnya hidup walau ada yang memang telah menjadikan dunia ini sebagai tempat mencari uang atau ladang usaha. Kami kelompok menyadari bahwa terkadang manusia cenderung berpikir secara cepat dalam mengahadapi tekanan hidup tetapi adalah sangat tepat jika kita sebagai warga gereja juga melihat dalam kacamata iman pada pengaharapan akan Allah yang memelihara kita umat ciptaan-Nya dan memaksimalkan setiap potensi dan kemampuan secara aktif dalam hidup. Sebuah perkataan ‘ora et labora’ jelas meganjurkan hidup bergantung pada Allah tapi juga mau bekerja sesuai kemampuan dan jelas harus halal.

LITERATUR 
Alkitab, LAI Internet dengan Klik : siapakah pelacur itu?, upaya pemerintah terhadap pelacuran, pandangan agama terhadap pelacuran, kasus wanita pelacur.
Geisler. L. Norman, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Departemen Literatur SAAT, Malang
Walker, D, F. Dr, Konkordansi Alkitab, BPK, Jakarta, Cetakan Ke-10, Tahun 2010

__ selain literatur yang ada diatas, kisah yang ditulis dingkat dari kisah nyata yang pernah diceritakan kepada saya dan beberapa penjelasan diangkat dari buku catatan semester lalu dengan menggunakan buku Etika Kristen, DR. J. Verekuyl dan buku dari DR. Ekadharmaputra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar