Pelacur. Satu kata yang memang bisa dianggap memiliki "tekstur" yang
kasar. Akan tetapi memang demikianlah. Pelacur yang bisa diedentikkan
dengan sebuah profesi, secara fakta memang sebuah profesi yang biasa
dijalankan oleh kaum hawa yang "terpaksa".
"Terpaksa" bisa dalam arti kata sebenarnya dan kiasan. Akan tetapi yang
bisa dipastikan adalah mereka (yang semula meng-claim-kan diri karena
"terpaksa") "terbiasa" menjalankan profesi itu pada akhirnya. Salah
siapa? Janganlah gemar mencari kambing hitam, atau kambing bule
sekalipun.
Marilah sedikit menengok ke belakang. Jaman dulu ada singkata WTS
(Wanita Tuna Susila) untuk mendiskripsikan para pelacur. Istilah-istilah
jaman sekarang sih banyak: Jablay, Pecun, Bispak, Bisyar, dan
sebagainya. SETUJU! Terlalu kasar? Jika memang dilarang menggunakan
deskripsi yang dinilai kasar, bagaimana kita bisa membedakan tepun
terigu dan pasir pantai?
Seiring perkembangan jaman, WTS diubah menjadi PSK (Pekerja Seks
Komersial). Lha? Yang ngusulin sapa, ya? Bukan masalah apa-apa, sih...
Hanya saja bagaimana mereka bisa dianggap sebagai pekerja? Dengan
menganggap mereka sebagai pekerja, legal dong pekerjaan mereka... Kalo
legal, ngapain juga mereka masih dirazia? Tidak terkoordinir?
Lebih-lebih lagi... Apakah dengan mengkoordinir mereka bisa merubah
akibat-akibat dari profesi tersebut? Penyebaran penyakit? Keutuhan rumah
tangga? Kesucian sebuah pernikahan? Kaga perlu diomongin lagi...
POIN-nya: berani berbuat berani bertanggung jawab... Laki-laki hidung
belang kok dilindungi. Dengan lokalisasi, langsung atau tidak langsung
juga melindungi para hidung belang. Banyak juga cerita-cerita (baca:
fakta) tentang hancurnya rumah tangga yang diakibatkan oleh pelacur.
"Zinah legal" jelas menodai kesucian sebuah pernikahan!
Mau diarahkan ke sisi agama? Wah... Jelas dan gamblang, kaga perlu dibahas juga... (obwarkop.blogspot..com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar