* Melacur untuk Biaya Sekolah
Tidak semua dunia hitam hina. Di dalamnya terkandung kisah-kisah mengharukan para pelacur saat mengarungi bahtera kehidupan.
Berderat panjang wanita yang berdiri di kompleks lokalisasi Sunan Kuning bagaikan etalase barang pajangan di sebuah mall atau pertokoan yang dapat diperjualbelikan, tetapi ada satu yang berbeda, barang pajangan di lokalisasi itu bukanlah benda mati karena itu merupakan suatu benda hidup yang bernafas sekaligus menyimpan sejuta cerita.
Sebut saja namanya Tiwi, memang bukan nama sebenarnya, tetapi itulah nama yang terucap dari bibirnya. Di depan sebuah televisi yang sedang menayangkan siaran ulang pelantikan presiden AS terpilih Barack Obama, penghuni lokalisasi terbesar di Jawa Tengah ini menceritakan kisah hidupnya dengan penuh suka cita seraya matanya menerawang ke atas langit-langit sebuah kamar yang berukuran kurang lebih 4X4 M, bagaimana mungkin ia bisa terjurumus dalam lubang hitam ini.
Profesi yang dinilai sebagian besar masyarakat bukanlah sebagai sebuah profesi yang terpuji dan layak dijalani oleh gadis berumur 20 tahunan, ia jalani dengan setulus hati tanpa ada tendensi konsekuensi yang akan dia terima kelak. Bagaimana tidak, berdasarkan atas keterangannya ia menjalani kehidupan ini karena memang tidak ada pilihan lain yang harus dipilih.
Menikah muda dengan labilitas emosi yang gampang goncang, umur 20 tahun ia memutuskan untuk menjalin cinta sehidup semati Till Death do as A Part dengan seorang tentara yang hanya ketemu dua minggu sekali. Pilihan hidupnya ini menjadikannya sebagai seorang yang menciptakan neraka bagi dirinya sendiri.
“Aku benci karena mencintainya,” mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan perbuatan suaminya yang ringan tangan terhadapnya dan kepalan tangan yang selalu mendarat di wajahnya.
Kehadiran seorang buah hati tidak meredamkan kekisruhan yang terjadi dalam rumah tangga yang dia bina kurang lebih 5 tahun.
“Saya bekerja dia pun bekerja tetapi dia tidak pernah menyetorkan sebagian uang penghasillannya kepada saya tapi kenapa saya selalu menjadi tempat pelampiasan kekesalannya dan saya nggak tahu uangnya di kemanakan, mungkin untuk main dengan wanita lain.”
Ia menemukan pertarungan hidup yang dia hadapi sendiri, tidak ada yang menangis untuknya dan tidak ada tempat yang dapat dipanggil sebagai sebuah rumah I fight this battle all alone, no one to cry to, no place to call home.
Dihadapkan pada pilihan yang sulit, ia pun mengambil keputusan untuk lari dari rumah. Saat ditanyakan mengenai anaknya, bukankah hal ini merupakan sesuatu yang berat karena harus menginggalkan anaknya untuk waktu yang cukup lama, ia berkata, “Anak saya diasuh oleh kakak saya, Mas. Saya juga pasti akan menyempatkan diri untuk menengoknya,” demikian Tiwi menceritakan sekelumit kisah hidupnya.
Rencana tinggal di atas kertas karena tidak sesuai dengan harapan, usahanya untuk keluar dari rumah membuatnya terdampar di ibukota Jakarta dengan menjadi seorang pembantu rumah tangga dan langkah nekad yang diambilnya ini tercium oleh sang suami, “Kamu jauh-jauh pergi dari rumah hanya untuk menjadi PRT”, begitulah sang suami berkata ketika ia menemukannya di sebuah rumah di bilangan perumahan di Jakarta.
Diam seribu bahasa ia pun kembali ke kampung halamannya di Solo dengan masih menyimpan rencana selanjutnya yang masih tetap sama. Sampai kapankah derita yang kaya akan darah dan air mata terus terjadi, begitulah ceritan Tiwi saat lari dari rumah lagi.
Lantas bagaimana dia sampai berada di tempat ini? “Saya sampai ketempat ini baru enam bulan mas, saya benar-benar tidak tahan dengan kelakuan suami saya dan saya ada di sini itu pun karena ada seorang supir truk yang membawa saya waktu saya sampai ke terminal Terboyo,” ujarnya.
Jadi Peliharaan Suami Orang
Suasana ruangan menjadi hening sejenak dan keheningan itu pun berubah menjadi berisik karena terusik oleh alunan lagu dangdut rancak yang terdengar dari ruangan sebelah. Bersembunyi di tempat di mana suaminya tidak akan mengira bahwa istrinya berada di tempat yang suami juga mungkin pernah ke tempat seperti ini adalah suatu langkah yang tepat sekaligus ironis.
Tepat karena dia merasa tidak akan ditemukan oleh suaminya, saat ditanya apakah sang suami pernah mencarinya, ia menjawab, “Saya dengar kabar, suami saya masih mencari saya”.
Ironis karena ia sendiri butuh perkerjaan untuk membiayai kehidupaannya dan harga yang harus dibayar adalah harga dirinya. Berada di tempat seperti ini ibarat tambang yang dapat mendulang emas dengan segera.
“Penghasilan saya tidak menentu disini, ada tamu yang memberikan saya tip lebih ada juga yang nggak memberikan tip, saya juga ikut arisan Rp 200 ribu/bulan, lumayan kan, mas”. “Tapi ya mas, penghasilan saya ini pasti akan sisihkan untuk ditabung buat masa depan,” kata dia.
Sudah hal yang umum mungkin, terkadang hidup dalam tempat itu seperti hidup dalam lingkaran setan yang susah untuk keluar. Sebut saja mereka sebagai pangeran kesiangan, entah itu pejabat yang mempunyai kedudukan atau pun orang biasa yang memang ingin berpoligami terkadang datang untuk menyelamatkannya, dia berkata, “Pernah mas saya ditawari akan diberikan rumah, atau vila tetapi dengan satu syarat kamu harus mau menjadi istri saya, saya nggak tahu mau dijadikan istrinya yang keberapa”.
Namun Tiwi menyangkal akan menerima tawaran apabila ada orang akan memperistrinya. “Walaupun saya bekerja seperti ini bukan berarti saya mau jadi peliharaan atau selingkuhan orang lain dan janji sekedar janji dan saya nggak percaya, kalau atas nama saya baru saya terima percaya, mas,” ujarnya kemudian.
Ketika ditanya mengenai apakah ia akan menikah lagi, ia menjawab, “Untuk sekarang ini saya tidak mempunyai pikiran untuk menikah lagi, dan saya pikirkan hanyalah bagaimana saya bisa menabung dan segera keluar dari tempat ini, bekerja di tempat yang lebih baik lagi”.
Kekerasaan yang dialami Tiwi jelas merupakan salah satu bentuk kekerasan yang mengakibatkan kegoncangan emosional yang akhirnya menjerumuskan dia ke dalam lingkungan hitam dunia prostitisi.
Terlepas dari itu bagaimana dengan pandangan seorang pekerja seks komersial terhadap aparat, didapat pula sedikit informasi dari Lila, sebut saja namanya demikian. Ia juga pekerja seks komersial di lokalisasi Sunan Kuning. Lila juga sahabt Tiwi.
Ia berujar dengan lantang ketika ditanyakan apakah ada aparat berseragam singgah untuk memperoleh kenikmatan sesaat dengannya. “Ada, dan tentara ataupun aparat sama saja maunya tidak membayar, bukan berarti dia aparat bisa melakukan apa saja termasuk tidak membayar saya, mana ada yang bekerja tanpa mau dibayar.” kata dia.
“Saya tidak takut terhadap aparat, toh disini saya juga bekerja untuk uang,” sambungnya, “ada juga yang membayar setengah saya berusaha menolaknya, memang bekerja seperti mau ada yang dibayar setengah”.
Yah, setiap hari Tiwi dan Lila harus menunjukkan kecantikannya di depan banyak orang. Mereka harus berpenampilan cantik dan seksi di depan sebuah rumah di salah satu sudut gang sebuah lokalisasi.
Mereka berdiri seraya memanggil setiap orang yang melewatinya dengan panggilan-panggilan merayu penuh hasrat yang dapat membuat hawa dingin malam itu terasa panas.
Selama Ada Pria Hidung Belang, Lokalisasi Pasti Ada
Pekerja seks komersial di lokalisasi Sunan Kuning memang sebuah ironi bagi harga diri yang terpajang untuk dibeli. Harga manusia tergantung dari banyaknya rupiah yang tergenggam dalam kepalan tangan dan tidak ada satu pun pekerjaan yang paling primitif di bumi ini selain dari pekerjaan menjajakan diri sendiri.
Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul. Karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial.
Selanjutnya dengan perkembangan teknologi industri dan kebudayaan manusia turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Soal kompleksnya permasalahan telah menjadi wacana yang tidak berujung pada jawaban yang tepat dan akan terus menghantui kita di saat memperbincangkan soal dunia pelacuran dan solusinya.
Namun demikian tidak berarti tidak ada cerita yang dapat dibagikan dari dunia hitam ini karena di dalamnya terkandung berbagai kisah yang mengisyaratkan bahwa profesi ini tidak semudah orang mencibirkannya sebagai profesi yang hina.
Sunan Kuning yang berada di jalan Abdurahman Saleh tepatnya di belakang Museum Ronggowarsito merupakan komplek Lokalisasi terbesar di kota Semarang, bahkan se-Jawa Tengah. Kompleks lokalisasi ini telah ada sejak dekade 1970-an dan terus tumbuh dan berkembang , “Tadinya kompleks ini hanya dihuni oleh 100-200 orang saja tetapi sekarang sudah berubah menjadi sekitar 500 orang dan mungkin lebih, begitu juga penambahan rumah-rumahnya yang sekarang menjadi lebih banyak,” ujar wati salah seorang PSK yang telah bekerja selama hampir 1 tahun sebagai penghuni Sunan Kuning.
Heterogentas para PSK di tempat ini dapat dilihat dari banyaknya mereka berasal dari daerah-daerah seantero pulau Jawa, dan tidak jarang pula banyak dari mereka juga berasal dari daerah luar Jawa.
“Saya saja berasal dari Pemalang, ada juga teman saya yang dari Temanggung, para pekerja di sini memang bermacam-macam,” ungkap dia.
Dia pun mengatakan jumlah penghuni setiap rumah di kompleks ini berbeda-beda, ada rumah yang dihuni oleh empat orang ditambah dengan mucikarinya saja, ada pula yang dihuni oleh enam orang bahkan lebih. Setiap rumah biasanya mempunyai satu induk semang, dan mucikari itu bisa lelaki maupun perempuan.
Sunan Kuning memiliki tiga pintu masuk sekaligus pintu keluar dan ketiga pintu itu senantiasa dijaga oleh beberapa orang yang akan memungut bayaran ketika orang akan masuk. Biaya masuknya cukup terjangkau karena hanya dengan lembaran seribu rupiah, pintu surga sekaligus neraka terbuka lebar di mata anda dan apabila ada sedikit keberuntungan anda pun bisa masuk tanpa dipungut bayaran.
“Masuk lewat pintu belakang kadang-kadang tidak ada orang yang menjaga,” ungkap ibu satu orang anak ini yang sebelum menjalani profesi ini sempat bekerja di sebuah pabrik di Pemalang.
Transaksi di lokalisasi dilakukan dengan 2 cara yaitu dilakukan oleh pelacur sendiri kadangkala disaksikan oleh mucikari dan melalui perantara. Apabila dilakukan oleh pelacur sendiri maka yang lebih senior berperan menentukan tarif dan siapa yang melayani konsumen.
Pendapatan yang diperoleh oleh PSK tidak semuanya dimiliki oleh PSK itu sendiri, tetapi masih dibagi dengan mucikarinya. Mucikari ini yang menentukan tarif PSK yang menjadi anak asuhnya.
Biasanya para PSK menyerahkan separuh penghasilannya kepada mucikari tapi apabila ada pihak ketiga seperti perantara maka PSK ini menyerahkan sepertiga penghasilan kepada mereka.
“Tarifnya short time di sini berbeda-beda, tetapi tarif berkisar antara Rp 70 ribu -100 ribu, dan itu tergantung dari tempatnya kalau tempatnya bagus dalam arti di kamarnya ada TV dan kamar mandi harganya bisa Rp 100 ribu untuk sekali kencan”.
Jumlahnya yang diterimanya itu merupakan pendapatan kotor karena akan dipotong untuk biaya-biaya yang lainnya, “Misalnya tarif Rp 70 ribu, bersihnya maka saya akan mendapat Rp 50 ribu, dan sisanya yang Rp 20 ribu akan saya berikan pada mami dan kalau tarifnya Rp 100 ribu, bersihnya mungkin hanya Rp 60 ribu, sisanya untuk biaya kamar, keamanan dan yang lainnya, jadi saya kadang-kadang senang apabila ada tamu yang memberikan uang yang berlebih,” kata wanita yang tidak suka merokok dan minum-minuman keras ini.
Bandingkan dengan tarif PSK “jalanan” di Jakarta yang bisa mencapai Rp 150-200 ribu untuk sekali kencan, jumlah tarif PSK di Sunan Kuning jauh lebih kecil dengan tarif PSK di Jakarta.
Dengan jumlah PSK yang mencapai angka kurang lebih 500 orang ini maka banyak sekali keuntungan yang didapat dari tempat lokalisasi tersebut, ditambah lagi dengan hadirnya para pedagang makanan maupun minuman yang harganya tentu sudah tidak wajar dan berbeda dengan harga di luar kompleks ini.
Ada kecenderungan sekarang di masing-masing rumah dilengkapi dengan tempat karoke sendiri, walaupun tidak semua rumah melengkapinya, dan tarif untuk satu kali karoke selama satu jam mencapai Rp 25 – 30 ribu.
“Saya paling malas untuk diajak karaoke, apalagi dengan mereka yang sedang dalam keadaan mabok kadang-kadang suka risih,” kata Wati.
Selain dilengkapi dengan sarana berkaroke, di tempat ini juga dilengkapi oleh sebuah Puskesmas dengan agenda pemeriksaan rutin kesehatan selama 2 kali dalam seminggu bagi para penghuni lokalisasi. Para PSK disini diwajibkan untuk mengecek kesehatan fisiknya.
“Di sini ada cek kesehatan gratis. Jadi dijamin kebersihannya, selain itu ada kegiatan rutin berupa olahraga dan senam 1 kali dalam seminggi dan para dokternya atau ahli kesehatan didatangkan dari Rumah Sakit Karyadi,” lanjut Wati.
Setiap profesi mempunyai resikonya sendiri begitu juga dengan mereka yang menjalani profesi ini suka duka seakan-akan selalu menyelimuti, “Pernah ada yang tidak mau bayar terus saya ancam akan saya panggil pihak keamanan di disini, pernah juga ada yang meminta macam-macam tetapi saya tolak karena bayarannya tidak setimpal,” ungkap Wati.
Melihat begitu masifnya arus modal yang masuk, seiring dengan banyaknya pria hidung belang yang senantiasa hilir mudik di dalamnya terlebih lagi ketika menjelang hari libur, apakah membawa kebahagian tersendiri bagi para pekerja seks komersial di lokalisasi ini?
“Walaupun banyak keuntungan yang saya dan keluarga terima, tetapi menurut saya mana ada wanita disini yang mau terus bekerja seperti ini, uang yang saya terima saya coba sisihkan untuk ditabung buat anak yang masih sekolah dan masa depan,” tutup Wati. (http://www.siaga.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar