Resosialisasi Argorejo atau yang akrab disebut Sunan
Kuning (SK) adalah lokalisasi resmi terbesar di Kota Semarang. SK
terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat,
menempati areal 4 Hektar, terdiri atas 1 RW dan 6 RT. Resosialisasi ini
dibuka pada 1966, pertama disebut lokalisasi Sri Kuncoro sesuai nama
jalan utama di situ. Dari nama Sri Kuncoro inilah diambil inisial SK,
lalu diplesetkan jadi Sunan Kuning karena disitu ada petilasan Sunan
Kuning (Soen Koen Ing) seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal
dari etnis China.
Sebelum menetap di Kalibanteng, lokalisasi ini dulu berpindah-pindah dan titiknya menyebar di beberapa wilayah kota Semarang. Sekitar tahun 1960-an para WP beroperasi di sekitar jembatan Banjirkanal Barat, Jl Stadion, Gang Warung, Jagalan, Sebandaran, Gang Pinggir, Jembatan Mberok, dll. Karena tidak teratur, kota jadi penuh kupu-kupu malam. Warga resah, karena seringkali pria-pria yang jadi tamu keliru masuk rumah penduduk.
Untuk melokalisir, Pemerintah Kotamadya Semarang (waktu itu) kemudia menempatkan para WP di perkampungan bernama Karangkembang, kira-kira sekarang di sekitar depan SMA Loyola. Pada tahun 1963, lokasi di Karangkembang dan rumah bordil liar di Jl Gendingan dipindahkan ke sebuah bukit di daerah Kalibanteng Kulon yaitu Argorejo. Tapi Argorejo sebenarnya bukan nama asli dari tempat tersebut, karena daerah itu dulunya hutan kecil tak bertuan di pinggiran kota. Nama Argorejo muncul sekitar tahun 1966 saat daerah tersebut semakin dipadati penduduk. Argorejo sendiri berarti bukit atau gunung yang ramai.
Pada tanggal 15 Agustus 1966 SK diresmikan oleh Walikota Semarang (saat itu) Hadi Subeno lewat SK Wali Kota Semarang No 21/15/17/66, tapi penempatan resminya baru pada tanggal 29 Agustus 1966, sehingga tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadinya SK. Tujuan pelokalisiran adalah untuk memudahkan pengontrolan kesehatan para WP secara periodik, serta memudahkan usaha resosialisasi dan rehabilitasi para WP tersebut.
Ketika dibuka pada tahun 1966, di SK cuma ada 120 Wanita Pekerja (WP) dan 30 germo/mucikari, dan ketika diresmikan pada 1967 menampung 210 WP dan 35 germo. Jumlah WP di SK terus meningkat. Pada tahun 2003 ada 350 WP, pada tahun 2005 ada 450 WP dan pada tahun 2012 ini jumlahnya sekitar 600-an WP.
Pada tahun 1984-1985 jaman Walikota Iman Soeparto Tjakrayudha, diusulkan pemindahan SK ke Desa Dawung, Pudakpayung. Tapi gagal karena ditolak warga. Pro kontra sempat membuat SK ditutup pada tahun 1998. Para penghuni sebagian pulang ke kampung, namun tidak sedikit yang kemudian beroperasi di pinggir jalan. Karena dinilai lebih berdampak buruk akhirnya sekitar tahun 2000 SK dibuka lagi dan beroperasi sampai sekarang.
Diperkirakan per hari ada transaksi 1-3x per WP bahkan ada yg sampai 5x per WP per orang, total ada 600-1800 x transaksi per hari. Pada 1960-an, tarif WP sekali transaksi masih sangat murah yaitu hanya Rp 5000 saja, sedangkan untuk kelas primadona cuma Rp 15000. Sekarang tarif sekali transaksi di SK sekitar Rp 200 ribu, ada juga yang lebih mahal tergantung kesepakatan. Karena lokalisai resmi, maka Pemkot Semarang pun menarik restribusi untuk pendapatan asli daerah (PAD).
Di SK ini ada pengurusnya, Ketua Resosialisasi Pak Suwandi. Kantornya di Gedung Resosialiasi Jl Argorejo VII Kalibantengkulon, Semarang Barat Telpon (024) 7626456. Para WP di SK kebanyakan masih muda, sekitar 21–25 tahun. Ada juga yang berusia 30-35 tahun dan punya konsumen fanatik tersendiri. Beberapa WP yang punya uang lebih dan berkemampuan manajerial beralih jadi germo dengan membeli atau menontrak rumah di SK untuk jadi wisma para WP.
Kata germo asalnya dari ”ngenger limo”, jadi dulu germo hanya membawahi 5 WP, sekarang bisa sampai 15-20 WP. Untuk transaksi, beberapa wisma menyediakan kamar khusus. Tapi kebanyakan transaksi di kamar pribadi para WP yang ada di wisma-wisma itu juga. Biasanya diatas pintu kamar selain tertera nomor kamar juga tertulis nama penghuni kamar.
Sekitar lima tahunan terakhir, SK lebih hingar bingar setiap malam karena di setiap wisma kini dilengkapi fasilitas karaoke plus genset untuk antisipasi kalau listrik padam. Biasanya para tamu akan karaoke dulu beberapa jam sambil minum-minum, kalo mau lanjut baru masuk kamar karena dilarang bertransaksi di ruang karaoke.
Wisma dan karaoke di SK buka pukul 11.00-23.00 dengan toleransi sampai pukul 01.00. Khusus hari Jum’at baru boleh buka usai Jumatan sekitar pukul 13.00. Tamu boleh bermalam di SK, tapi harus lapor dengan menunjukkan KTP pada petugas resosialisasi dan bayar administrasi. Jika tidak lapor dan ketahuan, sanksinya "dipenjara" semalaman di Gedung Resos atau bayar denda. Dendanya sekitar 100-200 ribu. Untuk lapor biasanya dibantu germo di sana, ada bukti lapor secarik kertas yang harus ditempel di atas pintu kamar WP yang terima tamu menginap tersebut.
Jumlah kamar di tiap wisma SK beragam. Paling kecil ada 4 kamar, tapi rata-rata 5-11 kamar, bahkan ada yang sampai 15-an kamar. Kalau wismanya mewah, dalamnya juga wah. Tiap kamar ada kamar mandi dalam bisa pilih shower atau bath tub, AC, TV.
Para WP ini mengelompok sesuai daerah asal. Paling banyak dari Wonosobo, Grobogan, Jepara, Pekalongan, Yogyakarta, Cirebon, Magelang dan Klaten. Di masa sulit seperti sakit, hamil atau terlilit hutang, kelompok ini saling menolong dan sangat kompak. Selain faktor kedaerahan, juga karena senasib sepenanggungan.
Banyak faktor yang melatari terjunnya mereka jadi WP. Sebagian besar mereka adalah janda yang ditinggal suaminya sedangkan sehingga harus menghidupi anak-anaknya sendiri.
Untuk menjaga kesehatan, para WP seminggu sekali wajib periksa. Per 3 bulan sekali harus tes darah. Griya ASA PKBI juga menganjurkan screening tiap 2 minggu sekali. Para WP sejak lama dibina untuk menggunakan kondom. Bahkan Resos Argorejo ini jadi percontohan penggunaan kondom resosialisasi se-Indonesia, walaupun penggunaan kondom ini hanya dipatuhi sekitar 50% oleh WP, kendalanya banyak tamu yang tak mau pakai dengan alasan tidak nyaman.
Ketika ada WP yang terkena penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maka akan dikarantina oleh pengurus resos. Jika sudah sembuh baru boleh bekerja lagi. Namun jika dalam pemeriksaan teridentifikasi mengidap HIV/AIDS, maka WP itu tidak boleh kerja lagi.
Penghasilan para WP biasanya dikendalikan oleh germo. Uang hasil kerja dititipkan pada Germo, diambil sepekan/sebulan sekali. Tapi ada juga yang langsung diminta. Uang yang terkumpul biasanya dikirim ke kampung, sembari menjenguk keluarga. Ada yang pulang sebulan sekali tapi ada yang setahun sekali pas lebaran.
Para WP ini memang rata-rata tulang punggung keluarganya, dimana 75% uang hasil kerja diserahkan keluarga. Tentu saja keluarga tidak tahu dia kerja apa. Meski dianggap sampah masyarakat, diakui atau tidak banyak orang yang diuntungkan dari para WP ini. Bagi keluarga, mereka adalah pahlawan, selain itu berjasa juga untuk tukang parkir, sopir taksi dan tukang ojek yang banyak mangkal disana, juga bagi penjaja keliling, PKL, toko, warung makan dll yg ada di SK.
(Sumber: @kotasmg http://chirpstory.com/li/34700)
Sebelum menetap di Kalibanteng, lokalisasi ini dulu berpindah-pindah dan titiknya menyebar di beberapa wilayah kota Semarang. Sekitar tahun 1960-an para WP beroperasi di sekitar jembatan Banjirkanal Barat, Jl Stadion, Gang Warung, Jagalan, Sebandaran, Gang Pinggir, Jembatan Mberok, dll. Karena tidak teratur, kota jadi penuh kupu-kupu malam. Warga resah, karena seringkali pria-pria yang jadi tamu keliru masuk rumah penduduk.
Untuk melokalisir, Pemerintah Kotamadya Semarang (waktu itu) kemudia menempatkan para WP di perkampungan bernama Karangkembang, kira-kira sekarang di sekitar depan SMA Loyola. Pada tahun 1963, lokasi di Karangkembang dan rumah bordil liar di Jl Gendingan dipindahkan ke sebuah bukit di daerah Kalibanteng Kulon yaitu Argorejo. Tapi Argorejo sebenarnya bukan nama asli dari tempat tersebut, karena daerah itu dulunya hutan kecil tak bertuan di pinggiran kota. Nama Argorejo muncul sekitar tahun 1966 saat daerah tersebut semakin dipadati penduduk. Argorejo sendiri berarti bukit atau gunung yang ramai.
Pada tanggal 15 Agustus 1966 SK diresmikan oleh Walikota Semarang (saat itu) Hadi Subeno lewat SK Wali Kota Semarang No 21/15/17/66, tapi penempatan resminya baru pada tanggal 29 Agustus 1966, sehingga tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadinya SK. Tujuan pelokalisiran adalah untuk memudahkan pengontrolan kesehatan para WP secara periodik, serta memudahkan usaha resosialisasi dan rehabilitasi para WP tersebut.
Ketika dibuka pada tahun 1966, di SK cuma ada 120 Wanita Pekerja (WP) dan 30 germo/mucikari, dan ketika diresmikan pada 1967 menampung 210 WP dan 35 germo. Jumlah WP di SK terus meningkat. Pada tahun 2003 ada 350 WP, pada tahun 2005 ada 450 WP dan pada tahun 2012 ini jumlahnya sekitar 600-an WP.
Pada tahun 1984-1985 jaman Walikota Iman Soeparto Tjakrayudha, diusulkan pemindahan SK ke Desa Dawung, Pudakpayung. Tapi gagal karena ditolak warga. Pro kontra sempat membuat SK ditutup pada tahun 1998. Para penghuni sebagian pulang ke kampung, namun tidak sedikit yang kemudian beroperasi di pinggir jalan. Karena dinilai lebih berdampak buruk akhirnya sekitar tahun 2000 SK dibuka lagi dan beroperasi sampai sekarang.
Diperkirakan per hari ada transaksi 1-3x per WP bahkan ada yg sampai 5x per WP per orang, total ada 600-1800 x transaksi per hari. Pada 1960-an, tarif WP sekali transaksi masih sangat murah yaitu hanya Rp 5000 saja, sedangkan untuk kelas primadona cuma Rp 15000. Sekarang tarif sekali transaksi di SK sekitar Rp 200 ribu, ada juga yang lebih mahal tergantung kesepakatan. Karena lokalisai resmi, maka Pemkot Semarang pun menarik restribusi untuk pendapatan asli daerah (PAD).
Di SK ini ada pengurusnya, Ketua Resosialisasi Pak Suwandi. Kantornya di Gedung Resosialiasi Jl Argorejo VII Kalibantengkulon, Semarang Barat Telpon (024) 7626456. Para WP di SK kebanyakan masih muda, sekitar 21–25 tahun. Ada juga yang berusia 30-35 tahun dan punya konsumen fanatik tersendiri. Beberapa WP yang punya uang lebih dan berkemampuan manajerial beralih jadi germo dengan membeli atau menontrak rumah di SK untuk jadi wisma para WP.
Kata germo asalnya dari ”ngenger limo”, jadi dulu germo hanya membawahi 5 WP, sekarang bisa sampai 15-20 WP. Untuk transaksi, beberapa wisma menyediakan kamar khusus. Tapi kebanyakan transaksi di kamar pribadi para WP yang ada di wisma-wisma itu juga. Biasanya diatas pintu kamar selain tertera nomor kamar juga tertulis nama penghuni kamar.
Sekitar lima tahunan terakhir, SK lebih hingar bingar setiap malam karena di setiap wisma kini dilengkapi fasilitas karaoke plus genset untuk antisipasi kalau listrik padam. Biasanya para tamu akan karaoke dulu beberapa jam sambil minum-minum, kalo mau lanjut baru masuk kamar karena dilarang bertransaksi di ruang karaoke.
Wisma dan karaoke di SK buka pukul 11.00-23.00 dengan toleransi sampai pukul 01.00. Khusus hari Jum’at baru boleh buka usai Jumatan sekitar pukul 13.00. Tamu boleh bermalam di SK, tapi harus lapor dengan menunjukkan KTP pada petugas resosialisasi dan bayar administrasi. Jika tidak lapor dan ketahuan, sanksinya "dipenjara" semalaman di Gedung Resos atau bayar denda. Dendanya sekitar 100-200 ribu. Untuk lapor biasanya dibantu germo di sana, ada bukti lapor secarik kertas yang harus ditempel di atas pintu kamar WP yang terima tamu menginap tersebut.
Jumlah kamar di tiap wisma SK beragam. Paling kecil ada 4 kamar, tapi rata-rata 5-11 kamar, bahkan ada yang sampai 15-an kamar. Kalau wismanya mewah, dalamnya juga wah. Tiap kamar ada kamar mandi dalam bisa pilih shower atau bath tub, AC, TV.
Para WP ini mengelompok sesuai daerah asal. Paling banyak dari Wonosobo, Grobogan, Jepara, Pekalongan, Yogyakarta, Cirebon, Magelang dan Klaten. Di masa sulit seperti sakit, hamil atau terlilit hutang, kelompok ini saling menolong dan sangat kompak. Selain faktor kedaerahan, juga karena senasib sepenanggungan.
Banyak faktor yang melatari terjunnya mereka jadi WP. Sebagian besar mereka adalah janda yang ditinggal suaminya sedangkan sehingga harus menghidupi anak-anaknya sendiri.
Untuk menjaga kesehatan, para WP seminggu sekali wajib periksa. Per 3 bulan sekali harus tes darah. Griya ASA PKBI juga menganjurkan screening tiap 2 minggu sekali. Para WP sejak lama dibina untuk menggunakan kondom. Bahkan Resos Argorejo ini jadi percontohan penggunaan kondom resosialisasi se-Indonesia, walaupun penggunaan kondom ini hanya dipatuhi sekitar 50% oleh WP, kendalanya banyak tamu yang tak mau pakai dengan alasan tidak nyaman.
Ketika ada WP yang terkena penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maka akan dikarantina oleh pengurus resos. Jika sudah sembuh baru boleh bekerja lagi. Namun jika dalam pemeriksaan teridentifikasi mengidap HIV/AIDS, maka WP itu tidak boleh kerja lagi.
Penghasilan para WP biasanya dikendalikan oleh germo. Uang hasil kerja dititipkan pada Germo, diambil sepekan/sebulan sekali. Tapi ada juga yang langsung diminta. Uang yang terkumpul biasanya dikirim ke kampung, sembari menjenguk keluarga. Ada yang pulang sebulan sekali tapi ada yang setahun sekali pas lebaran.
Para WP ini memang rata-rata tulang punggung keluarganya, dimana 75% uang hasil kerja diserahkan keluarga. Tentu saja keluarga tidak tahu dia kerja apa. Meski dianggap sampah masyarakat, diakui atau tidak banyak orang yang diuntungkan dari para WP ini. Bagi keluarga, mereka adalah pahlawan, selain itu berjasa juga untuk tukang parkir, sopir taksi dan tukang ojek yang banyak mangkal disana, juga bagi penjaja keliling, PKL, toko, warung makan dll yg ada di SK.
(Sumber: @kotasmg http://chirpstory.com/li/34700)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar