Kamis, 31 Desember 2015

Komunitas "Kiwir", Kumpulan Pria Pacar Pekerja Seks Berperan Atasi HIV/AIDS


Kompas.com/M.Agus Fauzul Hakim Para sukarelawan LSM SuAR di Kabupaten Kediri, Jawa Timur menunjukkan penghargaan atas kepedulian mereka terhadap penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS

Wanita pekerja seks komersial (PSK) termasuk kategori kelompok rentan dalam rantai risiko tinggi penularan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang disebabkan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Namun, pencegahan dan penanggulangan penyakit yang belum ada obatnya itu tidak bisa hanya dibebankan kepada para PSK itu. Harus ada pelibatan para pihak dari lingkungan terdekatnya.

Salah satunya melalui pasangan intim (pacar) dari PSK tersebut. Di Kediri, Jawa Timur, ada istilah "kiwir".

Kurang jelas asal muasal kata itu ataupun artinya. Namun, istilah itu merujuk pada seorang pria yang mempunyai hubungan khusus dengan PSK.

Bukan pelanggan, juga bukan mucikari. Lebih pada pasangan hidup, tetapi tidak resmi.

Hubungan itu tidak sekadar soal materi, tetapi kerap pada kecocokan hati. Perasaan nyaman dan aman itulah yang menjadi pijakan bagi mereka untuk saling berhimpun seperti layaknya relasi suami istri, meski tanpa ikatan pasti.

Keberadaan kiwir ini mempunyai sumbangsih besar dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di kalangan wanita penjaja seksual sebagai kelompok rentan penularan, ataupun bagi kelompok kiwir itu sendiri.

"Kiwir itu juga peduli AIDS. Secara rutin mereka periksa kesehatan bersama pasangannya. Kalau enggak peduli, mana mungkin mereka mau periksa kesehatan," ujar mantan kiwir yang kini menjadi tokoh di sebuah lokasi pelacuran yang ada di Kabupaten Kediri, Senin (30/11/2015) kemarin.

Jumlah kiwir tergolong banyak. Di Kabupaten Kediri, kiwir  mempunyai wadah mengaktualisasikan diri, yaitu dalam sebuah komunitas.

Wadah itu menjadi kawah menempa diri bagi sesama kiwir  untuk peningkatan wawasan perihal kesehatan hingga soal tanggung jawab.

Keberadaan komunitas kiwir itu tidak lepas dari campur tangan SuAR, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kediri yang menaruh perhatian di bidang HIV/AIDS.

Lembaga ini memprakarsai penanggulangan HIV/AIDS dengan cara mengorganisasi komunitas-komunitas kelompok rentan sejak tahun 2007 silam.

Selain komunitas kiwir, ada juga kelompok kerja (pokja) se-Kediri Raya yang beranggotakan para mucikari dari semua lokasi pelacuran yang ada di Kediri, Rumah Sehat Plus bagi PSK dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Perempuan Pekerja Mandiri, serta Dering dari kelompok gay.

"Fungsi pengorganisasian itu lebih pada distribusi peran. Menempatkan komunitas mereka sebagai subyek dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS itu sendiri," ujar Koordinator SuAR, Sanusi.

Selain fungsi tersebut, Sanusi menambahkan, komunitas itu juga sebagai wahana membangun daya nalar dan tempat perubahan perilaku bagi anggotanya.

Dengan berkomunitas, memudahkan mereka menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Berinteraksi dengan jaringan masyarakat lainnya itu dapat menjadi momentum aktualisasi diri. Aktualisasi diri menjadi penting karena bertujuan untuk menghilangkan stigma maupun diskriminasi dari masyarakat akibat latar belakangnya.

"Yang tidak kalah penting, pengorganisasian komunitas itu memunculkan tanggung jawab pribadi, komunitas, serta keberlangsungan program yang ada," imbuh dia.

Sanusi mengungkapkan, penanggulangan AIDS dengan model pengorganisasian komunitas itu telah membuahkan hasil dengan terus menurunnya persentase infeksi menular seksual (IMS).

"Pada (pemeriksaan) IMS pertama angkanya hampir 98 persen lalu turun 87, turun 67, sekarang sekitar angka 47 persen. Bahkan di beberapa hotspot (lokasi pelacuran) sudah di bawah 30 persen," ungkap dia.

SuAR mencatat, jumlah hotspot di Kabupaten Kediri ada sembilan tempat yang tersebar di beberapa wilayah.

Dari praktik itu, terdapat sekitar 600 PSK yang beroperasi. Hingga kini pendampingan kepada mereka terus dilakukan.

Selain mengorganisasi kelompok yang ada di lokasi pelacuran, SuAR juga mengorganisasi kelompok masyarakat yang berada di luar kalangan pelacuran. Di antaranya dengan membentuk komunitas Warga Peduli AIDS dan Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat.

Dengan demikian, berarti ada dua kutub pendekatan dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, yakni dari internal lokalisasi pelacuran itu sendiri dan dari kalangan luar lokasi pelacuran.

Bentuk aksi penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS melalui pengorganisasian komunitas itu cukup berbeda dengan aksi-aksi yang telah dilakukan oleh pegiat AIDS lainnya. Langkah mereka dianggap sebagai sebuah terobosan yang inovatif.

Hal itu dibuktikan dengan legitimasi yang didapat dengan disabetnya penghargaan terbaik dalam kategori Program Inovasi Pencegahan Melalui Transmisi Seksual.

Ajang itu diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, UNAIDS, serta Center for Indonesia's Strategic development Initiative (CISDI) pada 27 Oktober 2015 lalu.(KOMPAS.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar