Jumat, 06 Juni 2014

Tragedi Anak-Anak Terjebak Dalam Eskploitasi Seks

Perdagangan manusia adalah bisnis perdagangan bernilai miliaran dollar menarget orang-orang rapuh, miskin ekonomi, untuk perbudakan, tenaga kerja paksa, pelacuran, pernikahan paksa, eksploitasi seks, termasuk eksploitasi anak. Perdagangan manusia merupakan kejahatan terorganisir terbesar kedua di dunia, setelah obat-obatan terlarang.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2012 mencatat bahwa 2,4 juta orang, sementara Pemerintah AS memperkirakan 12,3 juta orang, menjadi korban perdagangan manusia di seluruh dunia. Sebanyak 80 persen dari mereka menjadi obyek eksploitasi atau perbudakan seksual. Sekitar 17 persen korban perdagangan manusia menjadi buruh paksa di rumah, tambang, atau pabrik.
Seorang gadis berusia 9 tahun bekerja di bawah teriknya panas matahari, membuat bata dari pagi sampai malam, tujuh hari seminggu. Dia menjadi korban perdagangan manusia bersama keluarganya dari Bihar, India, dan tidak bisa kabur, terisolasi dari masyarakat.  [photo oleh Kay Chernush for the U.S. State Department]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan US$ 32 miliar dihasilkan setiap tahun dari perdagangan manusia. Sementara, perdagangan seks merupakan bisnis terbesar dengan perkiraan sekitar US$ 27,8 miliar dihasilkan, setiap tahun.
Perdagangan seks terbesar terutama melibatkan anak-anak untuk menjadi obyek budak seks. Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) melaporkan sekitar 2 juta anak-anak di bawah 18 tahun diperdagangkan tiap tahun, kebanyakan dari mereka adalah perempuan
yang menjadi obyek seks dalam industri seks komersil bernilai jutaan dolar. Ironisnya, sekitar 50-60 persen anak-anak diperdagangkan menjadi budak seks berusia di bawah 16 tahun. Mereka direkrut, diculik, dipindahkan, untuk tujuan seks komersial. Anak-anak menjadi pekerja seks komersil karena dipaksa, ditipu, disiksa, dan diancam.
Wisata seks anak bahkan telah menjadi obyek wisata di sejumlah negara-negara. Thailand, Kamboja, India, Brazil dan Rusia diidentifikasikan sebagai tempat hiburan atau sumber transportasi untuk eksploitasi seks anak. Meski negara-negara itu masuk dalam
daftar merah atau pengawasan PBB terkait perdagangan manusia, otoritas pemerintah negara tidak melakukan tindakan maksimal untuk menghapus perdagangan seks anak. Banyak turis terutama pria dewasa melakukan perjalanan wisata, membayar pelayanan seks dengan anak-anak di negara-negara tersebut.
Ditoleransi
Thailand telah lama menjadi destinasi wisata seks paling populer di dunia. Institusi Penelitian Sistem Kesehatan Thailand melaporkan bahwa 40 persen bisnis pelacuran Thailand melibatkan anak-anak. Belum ada data pasti jumlah pelacur Thailand di bawah 18 tahun tapi pemerintah Thailand memperkirakan sekitar 40.000 anak.
Perdagangan wanita di Thailand terutama berasal dari daerah-daerah miskin Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos dan Tiongkok. Wanita Thailand umumnya dijual ke Jepang untuk dipaksa menjadi budak seks dengan bayaran rendah.
Meski Thailand memiliki undang-undang menyatakan pelacuran adalah ilegal. Dalam prakteknya, perilaku tersebut ditoleransi masyarakat. Praktik pelacuran sangat terbuka di seluruh Thailand, bahkan pejabat setempat cenderung melindungi bisnis tersebut.
Di Kamboja diperkirakan sekitar sepertiga dari semua pelacur berusia di bawah 18 tahun atau sekitar 33.000 anak. Pada 1996, Kamboja mengesahkan undang-undang pemberantasan penculikan, perdagangan manusia, dan eksploitasi manusia, termasuk membahas prostitusi. Namun, undang-undang itu tidak secara khusus mendefinisikan atau melarang pelacuran anak di Kamboja, yang menetapkan usia dewasa adalah 15
tahun.
Di India, polisi federal melaporkan 1,2 juta anak diyakini terlibat dalam prostitusi. Ada tiga juta pelacur di India, diperkirakan 40 persennya adalah anak-anak. Wisata seks telah menjadi perhatian serius pemerintahan India, dengan otoritas memperkirakan 90 persen perdagangan manusia di India berlangsung di dalam negeri.


Brasil memiliki rekor sebagai perdagangan seks terburuk di dunia. Brasil telah menjadi tujuan paling populer di dunia wisata seks, setelah Thailand. UNICEF memperkirakan sekitar 250.000 anak menjadi pelacur. Kebanyakan dari para pekerja seks anak berasal dari pemukiman kumuh yang membutuhkan uang untuk hidup. Tren terbaru lebih mengejutkan bahwa sejumlah ekspedisi "memancing" diorganisasi untuk melakukan wisata seks anak bagi wisatawan dari AS dan Eropa.
Usia legal pelacur di Brazil 18 tahun, tetapi banyak pekerja seks perempuan di Brazil berusia di bawah 18 tahun. Seorang gadis berusia 13 tahun menjual seks hanya untuk US$ 6 kepada wisatawan seks di Brazil. Baca: http://www.bbc.co.uk/news/world-10764371
Kabar baiknya, dalam beberapa tahun ini untuk mempersiapkan Brazil menjadi tuan rumah piala dunia, otoritas setempat, seperti kota Ceara menyatakan bahwa wisata seks dilarang. Setiap minggu, puluhan kendaraan militer dan angkatan polisi federal melakukan penyisiran di jalan-jalan di distrik merah, menggerebek motel, hotel dan rumah bordil, serta menangkap para pelaku, sekaligus membawa para perempuan ke dalam perlindungan. Sayangnya aksi tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh kota-kota di seluruh Brazil.
Di Eropa, Rusia menjadi pusat, sumber, destinasi, tempat transit untuk perdagangan manusia di Eropa dan dikirim ke berbagai negara di Asia, dan belahan bumi lainnya. Tidak hanya wanita, pria Rusia juga menjadi korban perbudakan modern. Menurut PBB sekitar 800.000 perempuan diperdagangkan tiap tahun ke luar Russia. Pemerintahan Moscow memiliki upaya kecil untuk menghentikan itu karena menilai sebagai bentuk bukan perbudakan. Rusia telah lama ditekan oleh Uni Eropa untuk memperketat perbatasannya guna mencegah perdagangan manusia.
Perlawanan
Berbagai advokasi dan perlawanan terhadap perdagangan manusia terutama penghapusan eksploitasi seks terhadap anak telah berjalan selama lebih dari dua dekade di seluruh dunia oleh lembaga kemanusiaan internasional dan lokal. Kebijakan dan inisiatif politik negara menjadi kunci dalam melawan perdagangan manusia. Australia merupakan negara pertama yang memperkenalkan undang-undang menghukum warga negaranya terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak-anak di luar negeri, pada 1994. Maksimum penalti dikenakan 25 tahun penjara bila terlibat seks dengan usia anak di bawah 12 tahun.
Saat ini setidaknya sudah ada 38 negara memiliki undang-undang ekstrateritorial digunakan untuk menghukum warga negara mereka atas kejahatan dilakukan selama perjalanan pariwisata seks anak. Organisasi Pariwisata Dunia membuat gugus tugas untuk memerangi pariwisata seks.
Pada 2005, sebanyak 200 perusahaan perjalanan dari 21 negara telah menandatangani kode etik global untuk perlindungan anak dari eksploitasi seksual dalam perjalanan dan pariwisata.
Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) melakukan penyelidikan dan menangkap para wisatawan seks anak. Pada 2003 ICE berhasil menangkap lebih dari 11.000 pelaku eksploitasi seks anak, termasuk 1.100 di luar AS. Pemerintah AS sendiri melaporkan 25 persen turis seks anak adalah warga AS.

Satu Persen
Namun, gerakan perlawanan perdagangan seks anak masih sangat kecil. UNICEF mencatat bahwa aktivitas seksual sering dianggap sebagai masalah pribadi, membuat masyarakat enggan untuk bertindak dan campur tangan dalam kasus eksploitasi seksual. Sikap seperti itu membuat anak-anak jauh lebih rentan terhadap eksploitasi seksual.
Globalisasi juga menjadi faktor semakin sulitnya perlawanan karena internet menyediakan alat jaringan efisien global untuk individu berbagi informasi tentang destinasi dan pengadaan wisata seks anak. Akibatnya, industri pariwisata pornografi anak, seks dan perdagangan manusia tetap berkembang pesat.
Secara global, tidak adanya peraturan kuat dan pelatihan polisi untuk memerangi perdagangan manusia. Banyak pemerintahan negara tidak melakukan langkah-langkah cukup untuk mengurangi permintaan untuk buruh paksa, perilaku seks komersil, dan wisata seks anak. Bahkan, di AS hanya 10 persen dari pos polisi memiliki protokol untuk menangani perdagangan manusia.
Tragisnya, hanya satu sampai dua persen korban perdagangan manusia diselamatkan. Hanya 1 dari 100.000 warga Eropa terlibat dalam perdagangan manusia dihukum. Banyak masyarakat tidak menyadari praktik pelanggaran hak asasi manusia di kota mereka.
Cherif Bassiouni, seorang professor dari Universitas DePaul, Chicago, dengan keras menyindir bahwa perdagangan manusia adalah masalah hak asasi manusia di mana pemerintah telah mengatakan begitu banyak, tetapi begitu sedikit dilakukan untuk mengatasi itu.
“Hukum di sebagai besar dunia mengkriminalisasi pelacur dan korban lainnya perdagangan, tetapi hampir tidak pernah mengkriminalisasi pelaku karena tanpa mereka kejahatan itu tidak akan terjadi,” ucapnya. [Sumber: http://mynewsbasket.blogspot.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar