Kamis, 05 Juni 2014

Eksploitasi Seksual Anak

Oleh Humaini As
Ketum Yayasan Kepodang/Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 

Pariwisata merupakan sumber devisa yang cukup diandalkan pemerintah. Masyarakat Jawa Tengah pantas bersyukur karena provinsi ini menjadi tiga besar objek kunjungan wisata, setelah Bali dan Lombok. Kondisi itu tak lepas dari program atau usaha yang selalu ditingkatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Di sisi lain, ada plus minus di balik kesuksesan suatu program, termasuk bidang pariwisata.  Ketika upaya gencar memajukan pariwisata dengan pelbagai cara  berlangsung, banyak efek samping bermunculan. Di antaranya adalah seks dalam arti negatif. Pertumbuhan pariwisata dan seks seolah-olah tak terpisahkan.
Oleh negara tertentu bahkan seks sengaja dijadikan salah satu daya tarik wisatawan mancanegara. Negara yang kondang memikat wisatawan dengan atraksi seks adalah Thailand melalui acara live show. Sementara banyak negara, termasuk Indonesia, menolak secara ekstrem seks sebagai salah satu daya pikat kunjungan wisata.
Andai ada turis asing yang berpendapat Indonesia tidak demikian, anggapan tersebut bergantung orangnya, seperti dikatakan AKBP Agus Rizal dari Polda Jateng, narasumber Rakor Pencegahan Eksploitasi Seks Anak (ESA) di Bandungan, belum lama ini. ’’Orang Jerman menyebut Bandungan sebagai surga dunia,’’ kata perwira yang banyak bertugas di mancanegara itu.
Penulis ingin mengajak pembaca memperhatikan salah satu efek samping ketenaran daerah wisata Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Belakangan ini di daerah sejuk dengan ratusan hotel pelbagai kelas tersebut ìberedarî pekerja seks komersial alias pelacur anak. Jumlahnya cukup banyak meskipun angka pastinya masih off the record.
Ada beberapa pertimbangan mendasari keberatan ekspose jumlah itu. Besar atau kecil, hal itu tetap mengkhawatirkan dan tidak bisa ditoleransi. Demikian dikatakan Agustin dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Semarang. ’’Demi masa depan anak yang harus dilindungi dan menjadikan Bandungan sebagai daerah wisata sehat, perlu mengeliminasi ESA,’’ kata Ir Toto Riyanto, Kabid Destinasi Dinparbud Jateng.
Dia sengaja memakai kata membatasi atau mengeliminasi dan bukan menghilangkan, karena mustahil menghilangkan eksploitasi seks anak. Paling tidak oleh stakeholder Dinas Pariwisata, mengingat banyak pihak terkait. Antara lain pelaku (anak dengan/atau tidak orang tuanya), pengguna dan pemilik tempat dilakukan pencabulan.
Memang tidak gampang mengatasi eksploitasi seks anak, minimal seperti dikatakan Bangkit  Ari Sasongko SHI, pemandu Rakor. Yang perlu dilakukan untuk membatasi eksploitasi seksual anak-anak adalah bersama-sama mencegah. Dengan komitmen ’’mengusir’’ ESA dari Bandungan, diharapkan citra miring objek wisata yang berjarak sekitar 40 km dari  Semarang, akan berubah positif.
Jika masyarakat di daerah tujuan wisata sudah sepakat untuk mencegah maka untuk penguatannya perlu ada dukungan regulasi yang harus dipatuhi. Dengan kegigihan dan pengawalan pelaku wisata di Bandungan, diharapkan DPRD Kabupaten Semarang  atau  pemda setempat secepatnya mengeluarkan peraturan untuk mencegah atau mengeliminasi eksploitasi seks anak.
Memadukan  UU tentang Perlindungan Anak (UU Nomor 22 Tahun 2003) dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPO-UU Nomor 21 Tahun 2007) pencegahan ESA bisa  diterapkan. Pengertian eksploitasi dan perekrutan bisa menjerat ke ranah hukum, siapa saja yang terlibat.
Anak yang berusia di bawah 18 tahun dapat diselamatkan, dan tentu saja diharapkan dapat kembali menjadi anak idaman: hormat kepada orang tua, wali, dan guru. Cinta pada masyarakat dan teman. Cinta pada Tanah Air, bangsa dan negara, taat beribadah, melaksanakan etika dan berakhlak mulia.
Pemberantasan eksploitasi seks anak juga merupakan salah satu upaya menjadikan daerah wisata aman dari bahaya penyakit menular, semisal penyakit menular akibat hubungan seks (PMS), termasuk adanya HIV/AIDS. Di Bandungan sudah ada yang terjangkit penyakit tersebut. (10)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar