Setiap kali saya pergi ke Yogyakarta, saya selalu menyempatkan waktu untuk melewati tempat ini. Tempatnya memang tidak terlalu luas, gang-gang sempit mendominasi jalan masuk menuju tempat ini. Daya pikatnya yang telah membuat saya tidak pernah merasakan bosan melewati tempat ini, bukan karena penghuni-penghuni yang ada di tempat ini yang membuat saya terpikat, tetapi ada sesuatu hal istimewa dan perlu diteliti lebih lanjut. Tempat ini bernama Pasar Kembang. Di siang hari, tempat ini lengang dan sepi tidak seperti pada saat malam hari. Hanya beberapa warga sekitar saja ataupun turis-turis asing maupun lokal yang melewati tempat ini. Banyak hotel-hotel kelas Melati bertebaran di sekitar tempat ini, namanya juga kleas Melati, harga yang ditawarkan pun relatif murah dan terjangkau. Pasar Kembang merupakan sebuah nama yang mungkin sudah cukup familiar bagi masyarakat Yogyakarta bahkan Masyarakat Indonesia dan dunia. Ya, tentu saja karena Pasar kembang yang juga sering disebut Sarkem adalah sebuah nama jalan yang dikenal sebagai areal prostitusi di Kota Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan nama Sarkem yang atau ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.
Sarkem sebagai lokasi
prostitusi di Yogyakarta telah ada sejak sekitar 125 tahun yang lalu. Oleh
karena itu tentu saja lokasi ini memiliki nilai historis yang juga memperkaya
sejarah di Kota Yogyakarta. Sesuai dengan sejarah yang beredar di kalangan
masyarakat Yogyakarta, Sarkem telah ada sejak Tahun 1818, hal tersebut berarti
kegiatan prostitusi ini telah ada sejak Jaman Belanda. Tentu saja karena area
ini memang sengaja dirancang untuk lokasi “jajan” para pekerja. Ketika itu
sedang berlangsung proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan
Yogyakarta dengan kota-kota lainnya. Dengan harapan pemerintah Belanda agar
para pekerja proyek tersebut menghabiskan uang gajinya agar kembali menjadi
pemasukan Pemerintah belanda, maka di bangunlah Pasar kembang sebagai sarana
prostitusi agar gaji pekerja dapat dibelanjakan disana.
Seiring perkembangan jaman, lokasi tersebut seakan
dipetakan menjadi kawasan prostitusi di Yogyakarta. Sebenarnya setelah jaman
kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berupaya memberikan penyuluhan terhadap
“pekerja” di pasar kembang agar menghentikan kegiatannya. Namun disadari maupun
tidak, keberadaan Pasar kembang telah membawa dampak ekonomi dari sistem mata
pencaharian warga disekitarnya, sehingga upaya penutupan tersebut menjadi sulit
direalisasikan. Bagaimana tidak, dengan adanya kawasan pasar kembang tersebut
juga dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka hotel, rumah makan, warung
sebagai penunjang kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat lokasinya yang dekat
dengan pusat Kota Yogyakarta terutama di kawasan Malioboro yang menjadi daya
tarik wisata di Yogyakarta. Pasar Kembang juga tidak lepas dari kehidupan para
mucikari-mucikari yang telah menempati daerah ini untuk mencari nafkah. Mucikari
suatu sebutan yang cukup populer di ranah prostitusi, termasuk juga di Pasar
Kembang. Mucikari yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan germo adalah
seseorang yang berstatus sebagai ‘boss’, induk semang atau ‘pengasuh’. Mucikari
berfungsi dan berperan dalam mengorganisir, menyediakan fasilitas seperti
tempat tinggal, tempat praktik dan memperoleh sebagian dari uang hasil imbalan
pelayanan seks yang diberikan ‘anak-anak asuh’nya. Peran para mucikari dalam
menghidupkan aktivitas prostitusi di Pasar Kembang cukup besar. Boleh dibilang,
keberlangsungan kehidupan para Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup bergantung
kepada ‘sepakterjang’ dan aktibvitas mereka. Karena itulah, tak jarang pula
para mucikari sangat berperan dan berwenang dalam mengatur perilaku
masing-masing PSK yang menjadi ‘anak asuh’nya. Para calo atau perantara juga memiliki
peran yang tak kalah pentingnya dibanding mucikari. Tugas utama para calo di
lokasi prostitusi mana pun sama, yakni mencarikan tamu bagi para PSK yang ada.
Mereka sekaligus berperan sebagai ‘guide’ yang mengantarkan sang tamu sampai ke
tempat yang diinginkan. Misalnya bila ada tamu atau pengunjung yang kebingungan
mencari ‘pasangan’, maka sang calo akan dengan mudah membantu atau mencarikan
solusinya.
Di sepanjang jalan
Pasar Kembang terdapat beberapa gang. Tapi yang populer dibandingkan gang-gang
yang lain ialah Gang III. Gang kecil di sisi selatan jalan yang menjuruk masuk
ke dalam kampung itu bila siang nyaris terkesan lengang dan sepi. Tapi bila
malam mulai turun, denyut kehidupan pun mulai terasa di gang itu. Kesibukan pun
merebak hingga ke dalamnya. Tak hanya para PSK yang ‘sibuk’, tapi juga para mucikari,
dan calo. Di pintu gang ini, biasanya dua atau tiga lelaki yang berprofesi
sebagai calo itu selalu siap menyambut kedatangan para ‘tamu’, baik tamu asing
maupun tamu lokal. Begitu ada ‘tamu’ (tentu saja lelaki) yang masuk ke gang,
mereka dengan cepat menyambut dengan ramah.
“Mari….,Mas….,” mereka hampir
bersamaan akan menyapa ‘tamu-tamu’ yang datang.
“Mari saya bantu mencarikan, kalau mau
santai…..,” akan ada di antara mereka yang kemudian berkata begini.
Dan, masih banyak sederetan kata-kata
‘indah’ lainnya yang dilontarkan mereka untuk mempengaruhi setiap tamu yang
datang dan masuk ke gang tersebut.
Kata-kata itu
begitu mudah dilontarkan, dan seakan-akan tanpa beban apa-apa. Tidak sedikit
pun terkesan rasa khawatir di wajah para calo itu, bila uluran kata-katanya
ternyata keliru. Inilah memang resikonya, siapa pun lelaki yang masuk ke dalam
gang itu, terlebih-lebih ketika malam, siap untuk dipandang sebagai lelaki
iseng yang sedang mencari perempuan-perempuan penghibur. Tentu tak bisa
dibayangkan, bagaimana bila kata-kata penuh tawaran itu diucapkan kepada lelaki
yang akhlaknya baik-baik yang masuk ke dalam gang itu karena ingin menemui
kenalan atau keluarganya yang kebetulan tinggal di dalam kampung. Harap
diketahui, di dalam kampung juga banyak tinggal keluarga-keluarga yang tidak
ada kaitannya dengan kehidupan prostitusi. Untuk menandai keluarga-keluarga
seperti ini, biasanya di pintu rumah mereka tertera ‘rumah keluarga’. Baru
berjalan sekitar 50 meter ke dalam gang itu, sebuah bangunan rumah berlantai
dua sudah menanti. Di sisi utaranya sebuah gang yang terkesan gelap menjuruk ke
timur. Bangunan permanent dan kukuh itu persis di tepi gang menghadap ke barat.
Dan, biasanya beberapa wanita muda, juga setengah baya, bersandar di depan
pintu maupun di tembok bangunan dengan senyum mengambang di bibir.
Meskipun demikian terkenalnya Pasar Kembang sebagai kawasan
prostitusi di Kota Yogyakarta, namun pemerintah Kota saat ini dalam hal ini Sri
Sultan Hamengkubuwono X tidak mengharapkan apabila Lokasi Pasar kembang
diangkat sebagai kawasan wisata prostitusi. Beliau lebih menghendaki kawasan
ini lebih diangkat sebagai kawasan wisata yang menyediakan oleh-oleh serta
kesenian dan budaya khas Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja sangat beralasan
karena tidak ingin mengangkat citra Kota Yogyakarta menjadi Kota yang buruk.
Wisatawan Yogyakarta kadang memang dianjurkan untuk mengunjungi lokasi ini,
namun diharapkan dengan kunjungan tersebut para wisatawan dapat mendapat
pengalaman dari sisi historis bukan dari segi prostitusinya.(http://dikasaurus29.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar