Kamis, 19 Juni 2014

Pasar Kembang, Tempat Pariwisata atau Prostitusi?




          Setiap kali saya pergi ke Yogyakarta, saya selalu menyempatkan waktu untuk melewati tempat ini. Tempatnya memang tidak terlalu luas, gang-gang sempit mendominasi jalan masuk menuju tempat ini. Daya pikatnya yang telah membuat saya tidak pernah merasakan bosan melewati tempat ini, bukan karena penghuni-penghuni yang ada di tempat ini yang membuat saya terpikat, tetapi ada sesuatu hal istimewa dan perlu diteliti lebih lanjut. Tempat ini bernama Pasar Kembang. Di siang hari, tempat ini lengang dan sepi tidak seperti pada saat malam hari. Hanya beberapa warga sekitar saja ataupun turis-turis asing maupun lokal yang melewati tempat ini. Banyak hotel-hotel kelas Melati bertebaran di sekitar tempat ini, namanya juga kleas Melati, harga yang ditawarkan pun relatif murah dan terjangkau. Pasar Kembang merupakan sebuah nama yang mungkin sudah cukup familiar bagi masyarakat Yogyakarta bahkan Masyarakat Indonesia dan dunia. Ya, tentu saja karena Pasar kembang yang juga sering disebut Sarkem adalah sebuah nama jalan yang dikenal sebagai areal prostitusi di Kota Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan nama Sarkem yang atau ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.

Sarkem sebagai lokasi prostitusi di Yogyakarta telah ada sejak sekitar 125 tahun yang lalu. Oleh karena itu tentu saja lokasi ini memiliki nilai historis yang juga memperkaya sejarah di Kota Yogyakarta. Sesuai dengan sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Yogyakarta, Sarkem telah ada sejak Tahun 1818, hal tersebut berarti kegiatan prostitusi ini telah ada sejak Jaman Belanda. Tentu saja karena area ini memang sengaja dirancang untuk lokasi “jajan” para pekerja. Ketika itu sedang berlangsung proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Yogyakarta dengan kota-kota lainnya. Dengan harapan pemerintah Belanda agar para pekerja proyek tersebut menghabiskan uang gajinya agar kembali menjadi pemasukan Pemerintah belanda, maka di bangunlah Pasar kembang sebagai sarana prostitusi agar gaji pekerja dapat dibelanjakan disana.
Seiring perkembangan jaman, lokasi tersebut seakan dipetakan menjadi kawasan prostitusi di Yogyakarta. Sebenarnya setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berupaya memberikan penyuluhan terhadap “pekerja” di pasar kembang agar menghentikan kegiatannya. Namun disadari maupun tidak, keberadaan Pasar kembang telah membawa dampak ekonomi dari sistem mata pencaharian warga disekitarnya, sehingga upaya penutupan tersebut menjadi sulit direalisasikan. Bagaimana tidak, dengan adanya kawasan pasar kembang tersebut juga dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka hotel, rumah makan, warung sebagai penunjang kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Yogyakarta terutama di kawasan Malioboro yang menjadi daya tarik wisata di Yogyakarta. Pasar Kembang juga tidak lepas dari kehidupan para mucikari-mucikari yang telah menempati daerah ini untuk mencari nafkah. Mucikari suatu sebutan yang cukup populer di ranah prostitusi, termasuk juga di Pasar Kembang. Mucikari yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan germo adalah seseorang yang berstatus sebagai ‘boss’, induk semang atau ‘pengasuh’. Mucikari berfungsi dan berperan dalam mengorganisir, menyediakan fasilitas seperti tempat tinggal, tempat praktik dan memperoleh sebagian dari uang hasil imbalan pelayanan seks yang diberikan ‘anak-anak asuh’nya. Peran para mucikari dalam menghidupkan aktivitas prostitusi di Pasar Kembang cukup besar. Boleh dibilang, keberlangsungan kehidupan para Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup bergantung kepada ‘sepakterjang’ dan aktibvitas mereka. Karena itulah, tak jarang pula para mucikari sangat berperan dan berwenang dalam mengatur perilaku masing-masing PSK yang menjadi ‘anak asuh’nya. Para calo atau perantara juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya dibanding mucikari. Tugas utama para calo di lokasi prostitusi mana pun sama, yakni mencarikan tamu bagi para PSK yang ada. Mereka sekaligus berperan sebagai ‘guide’ yang mengantarkan sang tamu sampai ke tempat yang diinginkan. Misalnya bila ada tamu atau pengunjung yang kebingungan mencari ‘pasangan’, maka sang calo akan dengan mudah membantu atau mencarikan solusinya.
Di sepanjang jalan Pasar Kembang terdapat beberapa gang. Tapi yang populer dibandingkan gang-gang yang lain ialah Gang III. Gang kecil di sisi selatan jalan yang menjuruk masuk ke dalam kampung itu bila siang nyaris terkesan lengang dan sepi. Tapi bila malam mulai turun, denyut kehidupan pun mulai terasa di gang itu. Kesibukan pun merebak hingga ke dalamnya. Tak hanya para PSK yang ‘sibuk’, tapi juga para mucikari, dan calo. Di pintu gang ini, biasanya dua atau tiga lelaki yang berprofesi sebagai calo itu selalu siap menyambut kedatangan para ‘tamu’, baik tamu asing maupun tamu lokal. Begitu ada ‘tamu’ (tentu saja lelaki) yang masuk ke gang, mereka dengan cepat menyambut dengan ramah.
“Mari….,Mas….,” mereka hampir bersamaan akan menyapa ‘tamu-tamu’ yang datang.
“Mari saya bantu mencarikan, kalau mau santai…..,” akan ada di antara mereka yang kemudian berkata begini.
Dan, masih banyak sederetan kata-kata ‘indah’ lainnya yang dilontarkan mereka untuk mempengaruhi setiap tamu yang datang dan masuk ke gang tersebut.
Kata-kata itu begitu mudah dilontarkan, dan seakan-akan tanpa beban apa-apa. Tidak sedikit pun terkesan rasa khawatir di wajah para calo itu, bila uluran kata-katanya ternyata keliru. Inilah memang resikonya, siapa pun lelaki yang masuk ke dalam gang itu, terlebih-lebih ketika malam, siap untuk dipandang sebagai lelaki iseng yang sedang mencari perempuan-perempuan penghibur. Tentu tak bisa dibayangkan, bagaimana bila kata-kata penuh tawaran itu diucapkan kepada lelaki yang akhlaknya baik-baik yang masuk ke dalam gang itu karena ingin menemui kenalan atau keluarganya yang kebetulan tinggal di dalam kampung. Harap diketahui, di dalam kampung juga banyak tinggal keluarga-keluarga yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan prostitusi. Untuk menandai keluarga-keluarga seperti ini, biasanya di pintu rumah mereka tertera ‘rumah keluarga’. Baru berjalan sekitar 50 meter ke dalam gang itu, sebuah bangunan rumah berlantai dua sudah menanti. Di sisi utaranya sebuah gang yang terkesan gelap menjuruk ke timur. Bangunan permanent dan kukuh itu persis di tepi gang menghadap ke barat. Dan, biasanya beberapa wanita muda, juga setengah baya, bersandar di depan pintu maupun di tembok bangunan dengan senyum mengambang di bibir.
Meskipun demikian terkenalnya Pasar Kembang sebagai kawasan prostitusi di Kota Yogyakarta, namun pemerintah Kota saat ini dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak mengharapkan apabila Lokasi Pasar kembang diangkat sebagai kawasan wisata prostitusi. Beliau lebih menghendaki kawasan ini lebih diangkat sebagai kawasan wisata yang menyediakan oleh-oleh serta kesenian dan budaya khas Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja sangat beralasan karena tidak ingin mengangkat citra Kota Yogyakarta menjadi Kota yang buruk. Wisatawan Yogyakarta kadang memang dianjurkan untuk mengunjungi lokasi ini, namun diharapkan dengan kunjungan tersebut para wisatawan dapat mendapat pengalaman dari sisi historis bukan dari segi prostitusinya.(http://dikasaurus29.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar