Saya juga ndak mau mbak kerja beginian, tapi kalo saya ndak kerja, terus siapa yang membiayai anak-anak saya???
Tutur mbak Darmi (44 tahun) seorang PSK di
wilayah Pasar Kembang yang juga dikenal sebagai wilayah prostitusi
terbesar di Jogjakarta ini dengan logat jawa timur yang lirih dalam sesi
wawancara santai kami, rabu malam (20/01/2010).
Mbak Darmi adalah satu-satunya ‘penghuni’ yang tampak bersahabat dan
menerima saya dengan tangan terbuka. Saya yang hampir tersesat saat
menelusuri gang kecil yang basah dan gelap di kawasan Pasar Kembang itu
merasa tertolong dengan kehadiran beliau yang langsung menembak saya
dengan pertanyaan mengejutkan, mbak mahasiswa ya??
Mengejutkan karena akhirnya sejalan dengan perbincangan kami saya
mendapati bahwa ternyata saya bukanlah mahasiswa pertama yang tertarik
dengan `fenoma pasar kembang` dan juga bukan satu-satunya yang pernah
mewawancarai beliau.
Janda beranak 2 dari hasil pernikahan pertamanya ini, ternyata adalah
korban human trafficking. Pada tahun 1991, seorang teman dari desanya
di Tulung Agung memanfaatkan kebingungan mbak Darmi yang baru saja
ditinggal pergi suami pertamanya dengan menjanjikan beliau pekerjaan
sebagai pembantu rumah tangga di Klaten. Mbak Darmi menanggapi tawaran
tersebut dengan penuh suka cita. Tanpa pikir panjang beliau langsung
menitipkan anak-anaknya di rumah nenek-kakek mereka. Setibanya di Klaten
alih-alih menjadi pembantu rumah tangga, yang didapati adalah sebuah
lokalisasi besar. Beliau dipaksa melacur!!
Saya sempat menitikkan air mata, membayangkan betapa kalutnya beliau
saat itu ditinggal suami, tidak punya keahlian, tanpa uang sepeserpun,
harus tetap memikirkan bagaimana memberi makan mulut-mulut mungil buah
hatinya, dibohongi orang dekat, dan bagai kurang lengkap ketidak
beruntungannya, beliaupun dipaksa melayani laki-laki asing yang bukan
suaminya tanpa bisa melawan karena di jebak dan dianggap berhutang
kepada teman yang membawanya ke lokalisasi tersebut.
Setelah menghela nafas panjang mbak Darmi melanjutkan ceritanya,
Pada tahun 1998 mbak Darmi bertemu dengan suami keduanya, seorang
jejaka asal kota bandung yang simpatik dan mencintai mbak Darmi dengan
tulus,(beliau masih menyimpan foto lelaki ini di dompetnya). Lelaki yang
namanya dirahasiakan tersebut menikahi dan memboyong mbak Darmi ke kota
bandung. Mereka sempat menjalani bahtera rumah tangga selama kurang
lebih 7 tahun, kali ini dipisahkan oleh kematian, Sang suami tercinta
meninggal karena sakit parah, menyisakan kepedihan yang mendalam dihati
mbak Darmi. Dunianya sontak runtuh. Kehilangan harapan, mbak Darmi
merasa bahwa cinta dihatinya telah habis saat itu dan tak akan pernah
ada lagi orang lain dihatinya selain almarhum suaminya, satu-satunya
lelaki didunia ini yang pernah memperlakukan mbak Darmi secara layak,
dengan sepenuh jiwa dan raga.
Tahun 2005 menjadi janda untuk kedua kalinya dengan beban hidup yang
lebih berat, di tengah rasa kehilangan yang mendalam, mbak Darmi harus
membayar uang masuk sekolah bagi kedua anaknya. Dimana saat itu anak
pertama sudah memasuki masa SMU sedangkan anak keduanya harus masuk SMP.
Mbak Darmi yang sedang kalut karena kepergian suaminya didatangi teman
satu desa yang tempo hari `menolong`nya. Dengan trik yang sama wanita
tersebut memboyong mbak Darmi kembali ke Klaten. Mbak Darmi pun memulai
lagi kehidupan lamanya sebagai `bunga malam` selama 2 tahun disana,
Pada Tahun 2007 karena kasus pembunuhan dan maraknya demo terhadap
kawasan itu, lokalisasi tersebutpun ditutup pemerintah daerah Klaten.
Mbak Darmi lalu bergabung dengan rekan-rekannya yang telah lama menghuni
kawasan Pasar Kembang. Kabar buruknya, mbak Darmi harus memulai
perjuangan dari awal lagi, membina persahabatan dengan kawan-kawan baru
yang mayoritas berusia jauh lebih muda, mengenal pelanggan baru dengan
latar belakang yang lebih beragam.
Saya sempat bertanya-tanya bagaimana sikap penduduk sekitar menyikapi
“Prostitutes next door” karena faktanya kegiatan prostitusi itu
berjalan ditengah-tengah mereka, hal tersebut dijawab dengan lugas oleh
mbak Darmi bahwa masyarakat tidak keberatan selama mereka menjaga
prilaku, di luar jam `praktek` dan bahwa masyarakat sekitar
memperlakukan mereka sebagaimana warga lain, tidak pilih-pilih, karena
sedikit banyak keberadaan `penghuni spesial` ini telah membuka potensi
ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Mereka menyewa
rumah dari penduduk, membeli makanan sehari-hari untuk mereka dan para
tamu dari para penduduk yang membuka warung nasi, warung burjo dan
warung indomie. Mereka juga memberdayakan para pemuda untuk menjaga
keamanan dan kebersihan.
“Jogja ini sering jadi tempat rapat pegawai-pegawai
dari luar daerah, mereka itu biasanya mampir kesini. Kalau saya paling
takut ketemu laki-laki dari timur sana mbak, badannya gede-gede,
kulitnya item. Galak mbak, suka ndak mau bayar”
Mbak Darmi memulai lagi ceritanya, kali ini tentang tamu-tamunya yang
jika dirata-rata perhari berjumlah 2-4 orang, ada laki-laki yang
berasal dari kawasan Waktu Indonesia bagian Timur dengan prilakunya yang
kasar dan tidak manusiawi, ada juga pelanggan yang posesif dan meminta
cinta darinya. Untuk urusan cinta mbak Darmi sudah berkomitmen untuk
tidak akan pernah jatuh cinta, karena apa yang ada disana hanyalah
`ilusi`, “Disini ndak ada cinta mbak, jatuh cinta itu mahal harganya” sebuah
pernyataan sederhana yang mengiris-iris hati saya, bagaimana mungkin
seorang wanita, manusia merasa tidak berhak untuk jatuh cinta, jatuh
cinta itu hak azasi bukan??
Wajah lemah mbak Darmi sepanjang perbincangan kami, saya simpulkan
sebagai bentuk kepasrahan menjalani hidup, walaupun ada sesal disana.
Mbak Darmi mendadak ceria saat menceritakan tentang kedua anaknya yang
kini sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi di salah satu kota di Jawa
Timur. Saya bisa melihat rona kebanggaan di wajahnya dan saya melihat
harapan besar disana. Namun beliau kembali murung ketika mengaku telah
membohongi keluarganya selama bertahun-tahun kepada saya.
“Keluarga saya di Tulung Agung, taunya saya jualan panda
di Malioboro, yah memang kadang-kadang saya bantu-bantu penduduk jualan
panda di Malioboro, saya mau anak saya jadi orang pinter mbak, kaya si
mbak” Tutur mbak Darmi, polos dengan tatapan kosong.
Tanpa sadar tangan kanan saya tiba-tiba sudah mendarat dipangkuan
mbak Darmi. Saya terdorong untuk memberi dukungan moral dan memberi
wanita malang itu semangat hidup. Tiba-tiba saja semua batasan antara
benar dan salah menjadi kabur dimata saya, saat menatap sekeliling kami,
tempat dimana mbak Darmi dan kawan-kawannya menjadi bagai `bunga
malam`. Saya berfikir bahwa mereka semua pasti punya cerita yang
berbeda, perjuangan yang berbeda-beda, bahwa mereka sesungguhnya tidak
ingin berada ditempat tersebut, dan bahwa mereka adalah pahlawan bagi
keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka. Mereka bagai lilin yang
membiarkan tubuhnya terbakar untuk menerangi sekitarnya.
Cerita mbak Darmi bagi saya pribadi telah mengajarkan saya tentang
arti perjuangan dalam hidup. Mengajarkan saya untuk tidak menghakimi.
(Dari mbak Darmi saya mengetahui bahwa sebuah LSM telah sejak lama
melakukan aksi sosial di Pasar Kembang, mereka memberi pendidikkan
tentang kesehatan reproduksi, membagi-bagikan alat kontrasepsi setiap
minggu, melakukan pemeriksaan darah tiap 3 bulan sekali, melakukan
pengobatan sampai dengan memberi fasilitas operasi gratis bagi PSK yang
sakit parah, kegiatan sosial ini telah memberi saya extra semangat untuk
menyelesaikan kuliah saya dan meneruskan studi di Jogjakarta karena
saya melihat banyak hal yang bisa saya lakukan di kota itu)
Seperti dikisahkan Mbak Darmi (bukan nama sebenarnya) kepada penulis
Pasar Kembang, Jogjakarta.
(http://14ml0n3ly.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar