Kamis, 19 Juni 2014

Mbak Darmi SarKem

Saya juga ndak mau mbak kerja beginian, tapi kalo saya ndak kerja, terus siapa yang membiayai anak-anak saya???
Tutur mbak Darmi (44 tahun) seorang PSK di wilayah Pasar Kembang yang juga dikenal sebagai wilayah prostitusi terbesar di Jogjakarta ini dengan logat jawa timur yang lirih dalam sesi wawancara santai kami, rabu malam (20/01/2010).
Mbak Darmi adalah satu-satunya ‘penghuni’ yang tampak bersahabat dan menerima saya dengan tangan terbuka. Saya yang hampir tersesat saat menelusuri gang kecil yang basah dan gelap di kawasan Pasar Kembang itu merasa tertolong dengan kehadiran beliau yang langsung menembak saya dengan pertanyaan mengejutkan, mbak mahasiswa ya??
Mengejutkan karena akhirnya sejalan dengan perbincangan kami saya mendapati bahwa ternyata saya bukanlah mahasiswa pertama yang tertarik dengan `fenoma pasar kembang` dan juga bukan satu-satunya yang pernah mewawancarai beliau.
Janda beranak 2 dari hasil pernikahan pertamanya ini, ternyata adalah korban human trafficking. Pada tahun 1991, seorang teman dari desanya di Tulung Agung memanfaatkan kebingungan mbak Darmi yang baru saja ditinggal pergi suami pertamanya dengan menjanjikan beliau pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Klaten. Mbak Darmi menanggapi tawaran tersebut dengan penuh suka cita. Tanpa pikir panjang beliau langsung menitipkan anak-anaknya di rumah nenek-kakek mereka. Setibanya di Klaten alih-alih menjadi pembantu rumah tangga, yang didapati adalah sebuah lokalisasi besar. Beliau dipaksa melacur!!
Saya sempat menitikkan air mata, membayangkan betapa kalutnya beliau saat itu ditinggal suami, tidak punya keahlian, tanpa uang sepeserpun, harus tetap memikirkan bagaimana memberi makan mulut-mulut mungil buah hatinya, dibohongi orang dekat, dan bagai kurang lengkap ketidak beruntungannya, beliaupun dipaksa melayani laki-laki asing yang bukan suaminya tanpa bisa melawan karena di jebak dan dianggap berhutang kepada teman yang membawanya ke lokalisasi tersebut.
Setelah menghela nafas panjang mbak Darmi melanjutkan ceritanya,
Pada tahun 1998  mbak Darmi bertemu dengan suami keduanya, seorang jejaka asal kota bandung yang simpatik dan mencintai mbak Darmi dengan tulus,(beliau masih menyimpan foto lelaki ini di dompetnya). Lelaki yang namanya dirahasiakan tersebut menikahi dan memboyong mbak Darmi ke kota bandung. Mereka sempat menjalani bahtera rumah tangga selama kurang lebih 7 tahun, kali ini dipisahkan oleh kematian, Sang suami tercinta meninggal karena sakit parah, menyisakan kepedihan yang mendalam dihati mbak Darmi. Dunianya sontak runtuh. Kehilangan harapan, mbak Darmi merasa bahwa cinta dihatinya telah habis saat itu dan tak akan pernah ada lagi orang lain dihatinya selain almarhum suaminya, satu-satunya lelaki didunia ini yang pernah memperlakukan mbak Darmi secara layak, dengan sepenuh jiwa dan raga.
Tahun 2005 menjadi janda untuk kedua kalinya dengan beban hidup yang lebih berat, di tengah rasa kehilangan yang mendalam, mbak Darmi harus membayar uang masuk sekolah bagi kedua anaknya. Dimana saat itu anak pertama sudah memasuki masa SMU sedangkan anak keduanya harus masuk SMP. Mbak Darmi yang sedang kalut karena kepergian suaminya didatangi teman satu desa yang tempo hari `menolong`nya. Dengan trik yang sama wanita tersebut memboyong mbak Darmi kembali ke Klaten. Mbak Darmi pun memulai lagi kehidupan lamanya sebagai `bunga malam` selama 2 tahun disana,
Pada Tahun 2007 karena kasus pembunuhan dan maraknya demo terhadap kawasan itu, lokalisasi tersebutpun ditutup pemerintah daerah Klaten. Mbak Darmi lalu bergabung dengan rekan-rekannya yang telah lama menghuni kawasan Pasar Kembang. Kabar buruknya, mbak Darmi harus memulai perjuangan dari awal lagi, membina persahabatan dengan kawan-kawan baru yang mayoritas berusia jauh lebih muda, mengenal pelanggan baru dengan latar belakang yang lebih beragam.
Saya sempat bertanya-tanya bagaimana sikap penduduk sekitar menyikapi “Prostitutes next door” karena faktanya kegiatan prostitusi itu berjalan ditengah-tengah mereka, hal tersebut dijawab dengan lugas oleh mbak Darmi bahwa masyarakat tidak keberatan selama mereka menjaga prilaku, di luar jam `praktek` dan bahwa masyarakat sekitar memperlakukan mereka sebagaimana warga lain, tidak pilih-pilih, karena sedikit banyak keberadaan `penghuni spesial` ini telah membuka potensi ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Mereka menyewa rumah dari penduduk, membeli makanan sehari-hari untuk mereka dan para tamu dari para penduduk yang membuka warung nasi, warung burjo dan warung indomie. Mereka juga memberdayakan para pemuda untuk menjaga keamanan dan kebersihan.
“Jogja ini sering jadi  tempat rapat  pegawai-pegawai  dari luar daerah, mereka itu biasanya mampir kesini. Kalau saya paling takut ketemu laki-laki dari timur sana mbak, badannya gede-gede, kulitnya item. Galak mbak, suka ndak mau bayar”
Mbak Darmi memulai lagi ceritanya, kali ini tentang tamu-tamunya yang jika dirata-rata perhari berjumlah 2-4 orang, ada laki-laki yang berasal dari kawasan Waktu Indonesia bagian Timur dengan prilakunya yang kasar dan tidak manusiawi, ada juga pelanggan yang posesif dan meminta cinta darinya. Untuk urusan cinta mbak Darmi sudah berkomitmen untuk tidak akan pernah jatuh cinta, karena apa yang ada disana hanyalah `ilusi`, “Disini ndak ada cinta mbak, jatuh cinta itu mahal harganya” sebuah pernyataan sederhana yang mengiris-iris hati saya, bagaimana mungkin seorang wanita, manusia merasa tidak berhak untuk jatuh cinta, jatuh cinta itu hak azasi bukan??
Wajah lemah mbak Darmi sepanjang perbincangan kami, saya simpulkan sebagai bentuk kepasrahan menjalani hidup, walaupun ada sesal disana. Mbak Darmi mendadak ceria saat menceritakan tentang kedua anaknya yang kini sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi di salah satu kota di Jawa Timur. Saya bisa melihat rona kebanggaan di wajahnya dan saya melihat harapan besar disana. Namun beliau kembali murung ketika mengaku telah membohongi keluarganya selama bertahun-tahun kepada saya.
“Keluarga saya di Tulung Agung, taunya saya jualan panda di Malioboro, yah memang kadang-kadang saya bantu-bantu penduduk jualan panda di Malioboro, saya mau anak saya jadi orang pinter mbak, kaya si mbak” Tutur mbak Darmi, polos dengan tatapan kosong.
Tanpa sadar tangan kanan saya tiba-tiba sudah mendarat dipangkuan mbak Darmi. Saya terdorong untuk memberi dukungan moral dan memberi wanita malang itu semangat hidup. Tiba-tiba saja semua batasan antara benar dan salah menjadi kabur dimata saya, saat menatap sekeliling kami, tempat dimana mbak Darmi dan kawan-kawannya menjadi bagai `bunga malam`. Saya berfikir bahwa mereka semua pasti punya cerita yang berbeda, perjuangan yang berbeda-beda, bahwa mereka sesungguhnya tidak ingin berada ditempat tersebut, dan bahwa mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka. Mereka bagai lilin yang membiarkan tubuhnya terbakar untuk menerangi sekitarnya.
Cerita mbak Darmi bagi saya pribadi telah mengajarkan saya tentang arti perjuangan dalam hidup. Mengajarkan saya untuk tidak menghakimi.
(Dari mbak Darmi saya mengetahui bahwa sebuah LSM telah sejak lama melakukan aksi sosial di Pasar Kembang, mereka memberi pendidikkan tentang kesehatan reproduksi, membagi-bagikan alat kontrasepsi setiap minggu, melakukan pemeriksaan darah tiap 3 bulan sekali, melakukan pengobatan sampai dengan memberi fasilitas operasi gratis bagi PSK yang sakit parah, kegiatan sosial ini telah memberi saya extra semangat untuk menyelesaikan kuliah saya dan meneruskan studi di Jogjakarta karena saya melihat banyak hal yang bisa saya lakukan di kota itu)
Seperti dikisahkan Mbak Darmi (bukan nama sebenarnya) kepada penulis
Pasar Kembang, Jogjakarta.
(http://14ml0n3ly.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar