Senin, 26 Mei 2014

Hingga Akhir 2014, Daerah yang tak Tutup Pelacuran Terancam tak Dapat Bantuan Dana

Lokalisasi Kedung Banteng, pusat pelacuran di Ponorogo

 Bagi daerah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur, yang masih memiliki lokalisasi pelacuran,  hingga akhir tahun 2014 ini  tidak (berhasil) juga menutup, dapat terancam tidak mendapatkan bantuan dana dari  Pemerintah Provinsi Jawa Timur, untuk pesangon dan bantuan modal bagi penghuni lokalisasi.

Sumani, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Ponorogo mengungkap, perhitungan anggaran yang hendak dibantukan Pemprov Jawa Timur; adalah sebesar Rp5 juta per orang bekas Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Mucikari. Sudah ada instruksi, bantuan tersebut tidak akan dikucurkan,  jika daerah Kabupaten dan Kota di Jatim yang masih memiliki lokalisasi pelacuran, tidak berhasil menutup hingga akhir tahun 2014 ini.

“Jadi,  jika ---seperti Kabupaten Ponorogo ini, yang masih memiliki lokalisasi pelacuran--- menutupnya dalam tahun 2015, segala keperluan dana yang dibutuhkan tentu tinggal bergantung pada kesediaan dana pada anggaran daerah,”  tambah Sumani.

Wilayah Kabupaten Ponorogo, memiliki lokalisasi pelacuran---bahkan merupakan yang  terbesar di enam daerah di wilayah Eks Karesidenan Madiun (Kota dan  Kabupaten Madiun, Ngawi,  Magetan,  Ponorogo dan  Pacitan). Menurut  informasi, lokalisasi tersebut hingga akhir dasawarsa 1970-an berada di sisi timur yang tidak terlalu jauh dari kota. Awal dasawarsa 1980-an, dipindah ke sisi barat, di tepian hutan dekat perbatasan dengan Kabupaten Magetan. Di sekitar bekas lokalisasi di timur kota, kemudian menjadi area permukiman yang  berkembang pesat menjauhi aliran Sungai Madiun di barat kota. Bahkan, Universitas Muhammadiyah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) juga berdiri di kawasan ini.

Sedang lokalisasi yang dipindahkan di barat kota, di wilayah Desa Kedungbanteng, Kecamatan Sukorejo, awalnya hanya sekitar sepuluh rumah (mucikari),  berkembang menjadi lebih 30 rumah mucikari dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) kini sudah mendekati jumlah 200 orang.

Menurut Sumani, persiapan untuk menutup lokalisasi Kedungbanteng, sudah dilakukan sejak setahun lalu. “Kajian, telaah dan saran staf sudah diajukan ke Pemerintah Kabupaten. Telah pula disampaikan  kajian ilmiah dan hasil studi banding ke daerah lain. Untuk penutupan, agaknya, tinggal menunggu adanya dasar hukum. Sebab, aparat bisa melaksanakan penutupan jika sudah terbit Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan Bupati (Perbub) yang mengatur. Demikian juga dengan pengalokasian dana-nya, jika belum ada Perda atau Perbub yang mengatur, juga belum dapat dialokasikan dana untuk mendukung upaya  pengentasan eks PSK dan Mucikari, yang bersumber dari APBD,” paparnya.

Majelis Taklim 

Bagian lain Sumani mengungkap, telah beberapa kali pula dilakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat, MUI, Ormas Keagamaan dan perwakilan Mahasiswa. Keputusan dari pertemuan  itu, tidak berubah dari setahun lalu; memeberi rekomendasi yang menyatakan sepakat untuk menutup lokalisasi pelacuran.

Pada perkembangan berikutnya, dari pertemuan-pertemuan ini terbit pula rekomendasi untuk memanfaatkan area bekas lokalisasi sebagai pusat pengembangan Majelis Taklim.

Pertimbangannya, karena di sekitar lokalisasi sebenarnya telah berkembang sejumlah Pondok Pesantren, dan sejumlah masjid. Di samping itu, sebagian dari area bekas tanah ganjaran bagi perangkat desa (bengkok atau pengganti gaji perangkat desa) yang digunakan untuk lokalisasi ini, kemungkinan juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sentra industri kecil, yang memungkinan dapat menyerap para bekas penghuni ini sebagai tenaga kerja.

Setelah penutupan, menjadi masih memungkinkan para bekas penghuni tetap tinggal di lokasi. Hanya saja, sama sekali sudah tidak diperkenankan melakukan kegiatan kemaksiatan---pelacuran. Menurut Sumani, dari keseluruhan jumlah PSK yang terdata; ternyata hanya 21 orang saja yang merupakan penduduk asli Kabupaten Ponorogo. Sebagian besar lainnya, berasal dari luar Ponorogo; terutama paling banyak dari Kabupaten Wonogiri- Jawa Tengah, Kemudian dari Kabupaten Blitar, Tulungangung dan Trenggalek. Demikian pula halnya dengan mucikari, juga bukan semuanya berasal dari Kabupaten Ponorogo.

Ketika dilakukan penutupan kelak, tidak terdapat alokasi anggaran untuk penghuni lokalisasi yang berasal dari luar daerah Kabupaten Ponorogo. “Mereka akan diserahkan kepada daerah asal masing-masing. Hal demikian sebagaiamana mekanisme yang telah berjalan selama ini, pada penutupan lokalisasi di suatu daerah. Kami mengikuti, seperti penutupan lokalisasi di Kabupaten Tulungagung sebelum ini, Pemerintah Daerah setempat bersurat kepada kami, menyerahkan penanganan PSK asal daerah ini,” ungkap Sumani.

Sedang 21 orang PSK asal Ponorogo, sudah berjalan setahun  mengikuti pelatihan  ketrampilan. Di samping  juga telah disediakan tenaga calon pendamping dan pembimbing dari mantan PSK itu, jika kelak kembali ke kampung halamannya. Bahkan, selama setahun ini, dalam setiap pelatihan ketrampilan, juga diikuti tenaga psikholog yang secara persuasif berupaya mengubah perilaku para PSK. (www.suara-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar