Minggu, 24 Juli 2016

Pelacuran Masa Pendudukan Jepang: “Mengenal Jugun Ianfu Sebagai Korban Kebijakan Politik Jepang”





A. Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran atau tempat para wanita penghibur menjual diri tentu sudah banyak di dengar oleh banyak masyarakat di beberapa kota besar pada saat ini. Sebut saja dengan keberadaan Pasar Kembang di kota Yogyakarta, area prostitusi Dolly di Surabaya, maupun area Simpang Lima di Semarang, itu semua merupakan area- area para pelacur menjajakan diri kepada banyaknya pria- pria kesepian. Munculnya tempat- tempat prostitusi tadi di masa kini mungkin menjadi hal yang sangat biasa di mata masyarakat. Namun apakah banyak yang mengetahui tentang keberadaan sejarah prostitusi atau pelacuran di Indonesia. Lalu apa yang menjadi alasan para wanita- wanita penghibur ini lebih memilih pekerjaan ini? Apakah faktor himpitan ekonomi menjadi sebuah alasan kuat yang membuat para wanita- wanita ini menjadi pelacur?
Ketika berbicara tentang masalah pelacuran tentu erat kaitannya dengan wanita, dunia malam maupun para lelaki hidung belang. Tapi taukah jika pelacuran sejak zaman dahulu sudah berkembang begitu pesat di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut kemudian diungkapkan oleh oleh Hull (1997) yang menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan- kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian dimasukan kedalam dunia pelacuran terkait dalam sebuah sistem pemerintahan feodal. Hal tersebut tidak akan terlepaskan dengan keberadaan raja yang bersifat agung, tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Kemudian sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang dirasakan oleh masyarakat modern saat ini, meskipun apa yang terjadi pada masa kerajaan- kerajaan di Jawa tentang pelacuran dapat membentuk landasan dalam perkembangan industri seks/pelacuran di masa sekarang.
Setelah masa kerajaan- kerajaan di Jawa berakhir, fenomena pelacuran kembali muncul dengan wajah baru di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan pemuasan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia. Disebutkan di dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karangan Reggie Bay bahwa pada masa pendudukan VOC di Hindia Belanda sekitar tahun 1650-1653 Gubernur Jenderal Carel Reynierz menudukung kuat dengan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia.[1] Hal tersebut menjadi bukti yang cukup menguatkan dimana fenomena pelacuran di zaman kolonial Belanda memiliki ciri khas dengan melegalitaskan pelacuran dengan cara perkawinan campur antara orang- orang Belanda dengan wanita- wanita pribumi (asia). Dengan cara seperti itu keberadaan pelacuran di masa kolonial Belanda lebih dianggap terorganisir serta rapi, karena pegawai- pegawai VOC yang rata- rata adalah orang Belanda yang memiliki bawahan para wanita- wanita pribumi dengan terpaksanya mau melakukan perkawinan campur yang dalam hal ekonomi lebih menguntungkan bagi para lelaki Belanda. Dalam masa ini kemudian muncul istilah gundik dan para nyai yang dianggap sebagai istri- istri para lelaki Belanda, hingga melahirkan anak- anak keturunan Indo- Belanda yang semakin memperkuat status sosial orang- orang Belanda ketika berada di Indonesia.   
Kemudian komersialisasi seks di Indonesia berkembang pada masa pendudukan Jepang (antara tahun 1941-1945), setelah mungkin melihat sedikit dari aktifitas prostitusi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan menjadikan area- area perkebunan di bawah monopoli VOC dijadikan sebagai ajang prostitusi bahkan dapat melegalkannya dalam bentuk perkawinan campur antara lelaki Eropa dengan wanita pribumi. Di masa pendudukan Jepang semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan menjadi satu di dalam rumah- rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya menjadi wanita penghibur saja yang dibawa ke rumah bordir, namun banyak juga wanita yang tertipu atau terpaksa melakukan hal tersebut (Hull,1997:3). Betapa semakin tidak manusiawinya penjajahan pada masa pemerintahan Jepang ini yang kemudian merendahkan status sosial wanita- wanita pribumi yang tadinya bukan merupakan pelacur hingga membuatnya rendah sehingga dicap sebagai wanita penghibur atau Jugun Ianfu pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Hingga saat ini kisah tentang para mantan- mantan Jugun Ianfu teramat menyedihkan, terkadang belum ada yang mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai permasalahan sejarah wanita pribumi ditengah perbudakan dan penjajahan masa pendudukan Jepang. Kita akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan dari sejarah Jugun Ianfu ini, benarkah Jugun Ianfu adalah korban kebijakan politik kolonialisme Jepang di Indonesia, atau semata- mata hanya digunakan sebagai budak nafsu para tentara Jepang ditengah- tengah kesibukan berperangnya di wilayah Asia Pasifik? Kita akan mencoba melihat hal tersebut dalam frame yang berbeda, yang tetap mengungkap nilai politis serta nilai manusiawi di dalam sejarah yang telah tercatat tentang Jugun Ianfu.

B. Jugun Ianfu[2]: Pelacur Yang Terpaksa Melacur  
                Pada masa pendudukan Jepang kisah pelacuran di Indonesia menggapai masa emasnya, dimana banyak dikenal oleh masyarakat saat itu dengan istilah Jugun Ianfu. Jugun Ianfu merupakan bentuk penjajahan yang secara nyata dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebelumnya praktek Jugun Ianfu memang ada di Indonesia, ternyata praktek tersebut tidak hanya berlaku di Indonesia sebagai negara jajahan Jepang, melainkan negara- negara lain yang dijadikan negara koloni oleh Jepang. Menurut riset dari Dr. Hirofumi Hayashi seorang profesor dari Universitas Kanto Gaukin ketika melihat fenomena Jugun Ianfu di Indonesia ini, ia mengatakan bahwa Jugun Ianfu pada saat itu terdiri dari wanita- wanita Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, dan Indo Belanda. Jumlah perkiraan Jugun Ianfu pada saat perang bekisar antara 20.000 dan 30.000, jumlah ini tentu sangat mencenangkan karena ternyata bukan hanya wanita- wanita Indonesia saja yang dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang melainkan beberapa wanita di wilayah kepulauan Asia Pasifik juga menjadi korban dari penindasan dan penjajahan Jepang di masa Perang Dunia II.
                Keberadaan Jugun Ianfu sendiri juga tidak akan pernah terlepas dari keberadaan para tentara- tentara Jepang, yang dimana disela- sela kejenuhan berperang mereka akan membutuhkan hiburan dari para Jugun Ianfu baik hanya sekedar pergi berkencan ataupun meniduri para Jugun Ianfu di kamar- kamar di rumah bordil. Sehingga banyak rumah bordil yang dibangun oleh pemerintah Jepang diwilayah- wilayah militer tentara Jepang. Dengan kondisi seperti teramat sungguh menyedihkan karena di dalam prakterk Jugun Ianfu para wanita Indonesia justru terpaksa dan dipaksa untuk melacurkan diri kepada para tentara Jepang. Hal ini terbukti dengan perekrutan Jugun Ianfu di Indonesia yang dilakukan secara paksa, bahkan ada pula yang diiming-imingi dengan janji hidup yang enak, pendidikan yang layak dan dijadikan pemain sandiwara. Namun pada kenyataannya para wanita- wanita ini ditempatkan dirumah- rumah bordil untuk melayani para tentara Jepang yang sedang lelah berperang. Bahkan tidak hanya itu ada pula tentara- tentara Jepang yang tak segan- segan menculik dan memperkosa para gadis Jugun Ianfu ini di depan keluarganya jika mereka menolak dibawa ke rumah bordil. Hal ini sungguh ironis memang dimana masa peralihan dari pendudukan Belanda menuju pendudukan Jepang, justru nasib para wanita pribumi bukan hanya dijadikan gundik- gundik[3] oleh pemerintah kolonial melainkan budak seks yang tidak berperikemanusiaan.
                Persoalan praktek Jugun Ianfu ini sebenarnya adalah suatu kesengajaan atau bagian dalam rencana menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam bertugas. Dimana kepuasaan seks para tentara akan mempengaruhi kinerja para tentara dan apabila hal tersebut tidak dituruti maka para tentara Jepang akan mengalami kemunduran. Selain itu peran dari para pejabat (lurah, camat, kepala desa) di beberapa daerah di Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang untuk menyalurkan Jugun Ianfu sangatlah penting, dimana semua penyaluran Jugun Ianfu dilakukan secara tertutup dibawah tangan, sehingga tidak pernah diberitahukan secara resmi terkait rekrutmen para Jugun Ianfu dibeberapa wilayah di Indonesia pada saat itu. Namun selain faktor- faktor ini yang menjadi latar belakang dari keberadaan Jugun Ianfu sebagai budak seks para tentara Jepang, faktor masa peralihan kekuasaan dan Perang Dunia II membawa pengaruh cukup besar terkait munculnya para Jugun Ianfu yang terpaksa memperoleh profesi yang tidak mereka inginkan sebelumnya. Walaupun nanti akan coba kita lihat tentang faktor kondisi ekonomi, pendidikan dan budaya di wilayah Indonesia saat itu sebagai pembanding dari faktor- faktor yang dimunculkan oleh keberadaan pemerintah Jepang di Indonesia.  
                Perang Dunia II atau biasa disebut sebagai Perang Asia Pasifik dapat dikatakan menjadi faktor utama dari terbentuknya penjajahan di wilayah Indonesia. Termasuk pula penjajahan dalam hal pelacuran di Indonesia, dimana para tentara Jepang hampir ribuan yang memasuki wilayah Indonesia, melucuti para tentara kolonial Belanda, dan melakukan persiapan pergantian masa transisi pemerintahan kolonial di Indonesia. Kemudian pembentukan PETA dan beberapa organisasi kepemudaan yang bersifat militer di tahun 1943-1945 membuat peran militer Jepang di dalam penjajahan semakin besar, hal ini membuat para tentara- tentara Jepang di sela- sela melaksanakan tugas di negara jajahan membutuhkan para wanita- wanita penghibur sebagai sarana melepaskan kerinduan seks mereka pada pasangan- pasangan mereka di Jepang. Di jadikanlah wanita- wanita Indonesia yang memang bukan seluruhnya pelacur untuk melayani nafsu seks para tentara Jepang. Masa peralihan kekuasaan inilah yang menjadi masa- masa gelap bagi para wanita- wanita Indonesia yang secara tidak sengaja menjadi korban dan kebiadaban para tentara- tentara Jepang. Karena berbagai ancaman untuk diasingkan, dibuang bahkan dibunuh menjadi sebuah alat yang sangat menakuti para wanita Jugun Ianfu ini jika tidak ingin melayani hasrat seks para tentara Jepang.
                Disisi lain faktor ekonomi di Indonesia menjadi persoalan mendasar dari berkembangnya Jugun Ianfu, dimana kemelaratan pada masa pemerintah kolonial Belanda yang berganti kepada pemerintahan Jepang menjadi permasalahan yang utama. Sedangkan wanita- wanita Jugun Ianfu rata- rata berasal dari lingkungan desa yang sangat miskin, himpitan perekonomian inilah yang membawa mereka pada janji- janji tentara Jepang yang akan menyekolahkan dan mempekerjakan mereka secara layak. Namun bukan pekerjaan atau pendidikan yang di dapat melainkan penyiksaan, perkosaan dan perbudakan secara tidak manusiawi yang di dapatkan oleh para wanita Jugun Ianfu ini. Hal ini dapat terlihat dengan rutinitas yang dijalankan oleh para Jugun Ianfu sebelum melayani nafsu bejat para tentara Jepang, yaitu dengan menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabat. Para wanita Jugun Ianfu tidak bisa berbuat apa ketika petugas medis mengerayangi tubuh mereka, hingga sampai mereka telanjang bulat dan satu persatu vagina mereka diperiksa dengan menggunakan alat yang terbuat dari besi panjang. Jika ditekan ujung alat ini akan membesar dan dapat membuka vagina para wanita Jugun Ianfu ini menjadi lebih lebar. Dengan menggunakan alat ini maka akan diketahui apakah kemaluan calon Jugun Ianfu sudah terserang penyakit atau masih sehat. Betapa sakitnya ketika membayang satu persatu para wanita Jugun Ianfu diperlakukan demikian, tidak begitu manusiawi, dan bahkan sesekali jika ada para wanita Jugun Ianfu tidak melayani para tentara hingga puas, maka perlakuan seperti binatang yang akan didapatkan oleh para wanita yang tak berdosa ini.
                Hal tersebut diakui dan dialami oleh Mardiyem salah seorang Jugun Ianfu yang sejak usia 13 tahun sudah mulai diperkosa untuk pertama kalinya oleh seorang Jepang yang berambut brewok. Siksaan berupa pukulan, tamparan dan tendangan sudah sering dirasakan oleh Mardiyem, apalagi ia masih termasuk dibilang sangat kecil ketika diperkosa dan dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang. Bahkan jika merasa kurang puas kepada Mardiyem tentara- tentara Jepang ini tidak segan- segan melakukan cara- cara diluar batas kemanusiaan untuk mencapai kepuasaannya terhadap Mardiyem. Para wanita Jugun Ianfu mengalami penderitaan yang begitu sangat karena memang tidak ada pilihan lain, yang terpaksa melacur dan tidur bersama para tentara Jepang karena siksaan berat jika sesekali berani menentang atau melawan terhadap perintah tentara Jepang. Seolah- olah para wanita Jugun Ianfu ini dianggap seperti budak yang bekerja tanpa henti, bahkan pandangan buruk selalu ditorehkan dibalik raut wajah penyesalan para wanita ini yang masuk pada lembah hitam penjajahan Jepang. 

C. Mereka Korban Kebijakan Politik Jepang
                Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak akan terlepas dengan munculnya berbagai kebijakan politik kolonial yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara koloni, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika pemerintah Jepang menyetujui dengan pendirian rumah- rumah bordil. Ada beberapa asumsi yang dapat memperkuat perihal kebijakan ini. Pertama, dengan pemerintah Jepang menyediakan akses mudah kepada para budak- budak seks, moral dan kefektifan para tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka dibawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan rumah bordil di garis depan peperangan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat kepada para tentara Jepang. Ketiga asumsi tersebut sangat menguatkan mengapa Jugun Ianfu diadakan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara- negara jajahan di wilayah Asia Pasifik. Kemudian banyak yang menguatkannya erat dengan kebijakan politik pemerintah Jepang dimana sebagai strategi dalam mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan. Dimana peran para tentara Jepang untuk mempertahankan keamanan negara- negara jajahan dari serangan pasukan sekutu sangatlah penting, sehingga kebijakan tentang Jugun Ianfu ini memberikan torehan politis di dalam mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang di Asia Pasifik. Walaupun pada intinya kebijakan ini terkait dengan kebijakan militer, namun nilai- nilai politis untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan sekutu sangatlah kuat, dan Jugun Ianfu adalah korban dari segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang terhadap negara jajahan.
                Kemudian kita akan mencoba melihat tentang persaingan politik Jepang dengan negara Amerika Serikat dari blok sekutu. Dimana Jepang terlibat permusuhan yang sangat panjang dengan negara adi kuasa ini. Dapat dikatakan juga Jepang saat itu sedang merintis sebagai negara adi kuasa di wilayah Asia Pasifik. Kemudian Indonesia menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan antara Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara ini tidak akan melepaskan kepentingan ideologi politiknya masing- masing, Jepang dengan paham fasismenya yang selalu disokong oleh Jerman sedangkan Amerika Serikat sebagai negara Kapitalis/Liberalis disokong oleh Inggris dan Prancis di dalam Perang Dunia II menjadi faktor utama perebutan kekuasaan serta terjadinya kekacauan di wilayah Pasifik era tahun 1942-1945. Entah sejauh mana kemudian persaingan politik ini semakin membesar hingga di tahun 1945 Jepang mengaku kalah kepada sekutu, namun tetap saja dalam kondisi perang seperti ini akan banyak memunculkan korban- korban, baik dari pihak bangsa yang terjajah sendiri maupun dari pihak para penjajah. Tetapi hal yang paling menyedihkan dimana korban- korban yang muncul bukan hanya korban jiwa melainkan korban- korban penyiksaan secara fisik maupun mental, dan Jugun Ianfu menjadi suatu bukti betapa kejamnya kebijakan politik Jepang, yang menyudutkan para wanita tak berdosa ini jatuh pada jurang hitam peperangan Jepang dan sekutu tanpa melihat dampak- dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut pada saat ini. Stigma- stigma negatif yang kemudian dimunculkan oleh masyarakat pada para wanita ex. Jugun Ianfu yang masih hidup di masa senjanya saat ini, dan yang diharapkan adanya pembenaran sejarah tentang keberadaan para wanita- wanita ex. Jugun Ianfu ini agar stigma- stigma negatif tersebut perlahan dapat dihilangkan, karena mereka tidak menginginkan menjadi seorang pelacur melainkan karena dampak penjajahan dan mereka menjadi korban kekuasaan pemerintah Jepang, sehingga dengan terpaksa mereka menjadi budak- budak seks para tentara Jepang. Apa pun alasan yang muncul kepermukaan terkait keberadaan para ex. Jugun Ianfu ini, pemerintah Jepang menjadi satu- satunya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi kemanusiaan ini, terutama terhadap para wanita di Indonesia dan di wilayah Asia Pasifik. Sehingga tentunya hal ini menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua, untuk tetap melihat sejarah, sebagaimana buruknya sejarah tersebut, tetapi sejarah adalah sebuah pembelajaran.  
Kemudian saya teringat tentang kata- kata kutipan dari Pramodeya Ananta Toer yang mengambarkan perjuangan ex. Jugun Ianfu yang hingga saat ini masih mencari keadilan pada pemerintah tentang kondisi dan nasib mereka sebagai korban penjajahan tentara Jepang. Demikian yang dikatakan Pram: “kalian para perawan remaja telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang akan menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu...... surat kepada kalian ini juga semacam protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun yang lewat”. Kata- kata Pram ini menjadi penutup dimana masih tetap ada harapan bagi para wanita ex. Jugun Ianfu yang kini akan tetap terus memperjuangkan keadilan atas apa yang mereka alami puluhan tahun yang lalu.

Oleh: Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah USD '09)


Sumber Pustaka:
Buku
Baay, Reggie.2010.”Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”. Jakarta: Komunitas Bambu

Web/Blog
Coretan Pariyem, Senin, 7 Januari 2013, “Jugun Ianfu: Aku Bukan Pelacur! Potret Kelam Wanita Indonesia Atas Kekejaman Tentara Jepang” diunduh tanggal 14 Desember 2013
Yang Berjejak, 6 April 2007, “Luka Lama 62 Tahun Lalu” diunduh tanggal 14 Desember 2013




[1] Reggie Baay, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”, Komunitas Bambu, 2010, hlm.4
[2] Merupakan wanita penghibur atau biasa dikenal sebagai pelacur pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ada sebagian beberapa wanita yang menjadi Jugun Ianfu karena terpaksa dan memang sengaja dipaksa oleh para tentara Jepang dengan iming- iming disekolahkan ke luar negeri atau menjadi pemain sandiwara
[3] Para wanita simpanan yang hidup bersama para serdadu kolonial dalam tangsi atau barak militer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar