Rabu, 20 Juli 2016

Awal Prostitusi di Batavia



Berbagai istilah diberikan bagi perempuan penjaja seks. Sebutan pelacur sampai kini masih saja populer. Meskipun sempat diperhalus menjadiWanita Tuna Susila (WTS). Istilah itu pun masih diperhalus lagi menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Tapi di masa penjajahan disebut ‘wanita publik’. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya.
Sejak kedatangan orang Belanda di Nusantara, mereka dihadapkan dengan masalah prostitusi yang tentu saja berdampak dengan merajalelanya penyakit kelamin. Apalagi pengobatan untuk ‘penyakit kotor’ belum ditemukan. Jauh sebelum kedatangan orang Barat prostitusi sudah dikenal sejak zaman pemerintahan feodal kerajaan Jawa. Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem feodal pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini.
Pada masa penjajahan Belanda, seperti data-data yang dihimpun Arsip Nasional Republik Indonesia, bentuk industri seks yang terorganisasi berkembang pesat. Ini terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan.  
Dalam sebuah penelitian disebutkan, dunia prostitusi tak hanya bisa mengungkap hal yang menyangkut pihak yang terkait dengan masalah hubungan kelamin, tetapi juga pihak yang secara sembunyi ikut menikmati dan mengambil keuntungan dari keberadaan prostitusi.                            

Prostitusi di Kramat Tunggak 1940-an
Prostitusi pernah mendapat ruang hidup secara legal dalam masyarakat kolonial. Saat Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) mengeluarkan aturan perihal prostitusi.
Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte ikut membidani lahirnya aturan itu. Dia melihat daya tempur tentara Perancis mengendor akibat penyakit kelamin. Sumber penyakit kelamin berasal dari perempuan pekerja seks. Maka, Napoleon mewajibkan mereka mengikuti pemeriksaan medis secara rutin. “Ini berarti bahwa prostitusi dibolehkan...,” tulis Liesbeth Hesselink, “Prostitution: A Necessary Evil,” termuat dalam Indonesian Women in Focus suntingan Elsbeth Locher Scholten dan Anke Borkent-Niehof. Aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali.     
Terusik maraknya sebaran penyakit kelamin dan prostitusi ilegal, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki. Orang mustahil menolak prostitusi sebab mereka membutuhkannya. Muncullah sebutan untuk prostitusi : “kejahatan yang dibutuhkan.” 
Pemerintah kolonial berpihak pada kelompok pendukung prostitusi. Mereka mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) pada 1852. Ini berarti prostitusi kembali menemukan pijakan legal.
Di Batavia, praktek prostitusi sudah dimulai sejak Jan Pieterszoon Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai. 

Munculnya Rumah Bordil


Ridwan Saidi, seorang Budayawan Betawi mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos. Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda. 
Leonard Blusse dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia memaparkan, Gubernur Jenderal J.P. Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita. J.P. Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan wanita-wanita Belanda yang sudah siap kawin. Wanita-wanita ini ternyata merupakan karyawan J.P. Coen di kawasan Timur, termasuk Batavia.  Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu merasa merana dan kesepian ketika berada di daerah tropis. Sejak 1635, dewan komisaris dari Heeren XVII mengubah strategi dengan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, yaitu menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia. (baca juga : Losmen lampu Merah dan Pelacuran di Batavia)
Peraturan kala itu, seorang pria Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda. Peraturan ini mengakibatkan banyak pegawai Kompeni lebih suka mengawini nyai-nyai. Pasalnya, bila ia memutuskan kembali ke Belanda bisa terhindar dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan. Sistem pergundikan ini sudah ada sebelum Belanda tiba di Batavia. Menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar  gereja di Batavia. Sistem pergundikan ini pun menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai. (baca juga : Budak Seks di Batavia)
Di kawasan Macao Po, seiring dengan perkembangan kota Batavia, praktek prostitusi kian meluas ke Gang Mangga, kini sekitar Jalan Pangeran Jayakarta. Kompleks prostitusi Gang Mangga akhirnya kalah bersaing dengan Soehian (rumah bordil) yang dibikin orang Tionghoa. Pemerintah Belanda menutup tempat itu namun kemudian prostitusi tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (sawah Besar).
Di Batavia kisah pelacuran tak bisa lepas dari perjalanan musik keroncong. Menurut Ridwan, kedua hal itu memang saling kait. Keroncong diperkirakan muncul pada akhir abad 17 di Jassenburg (kini bernama Jembatan Batu, tak jauh dari Stasiun Jakarta Kota). Di lokasi ini, pemuda-pemudi tempo dulu bersantai di malam hari. Para pemuda jualan suara sambil memetik gitar, merayu gadis-gadis yang "mejeng" di loteng rumah. Hal itu merupakan tradisi Eropa yang dibawa orang-orang Mestizo (peranakan Portugis-India).
Lama kelamaan perumahan Mestizo di Jassenburg berpindah kepemilikan ke orang Tionghoa. Menurut Ridwan Saidi, musik keroncong tetap mengalun namun gadis yang berdiri di loteng bukan lagi gadis Mestizo yang hitam manis melainkan Macao Po, gadis-gadis Macao peranakan Tionghoa-Portugis. Sebutan mereka moler (Portugis) yang artinya perempuan, yang kemudian mengalami perubahan makna menjadi perempuan jalang. Sedang orang Betawi menyebutnya Cabo yang artinya wanita malam. Perempuan Macao Po ini pun menjadi konsumsi kapiten dan letnan Tionghoa serta Kompeni berpangkat. Sementara buaya keroncong yang tak henti memetik gitar dan menyanyikan Terang Bulan, tak masuk hitungan.
Dalam Rode Lamp van Batavia tot Jakarta, Ridwan mencatat, Jassenburg menjadi rode lamp alias red light atau kawasan pelacuran kelas menengah bawah pertama di Batavia. Tepatnya di Gang Mangga, di sebelah timur Jassenburg. Dari kawasan inilah kemudian penyakit mangga berkembang, disebut juga pehong (sial) yang biasa menjangkiti pria yang doyan mampir ke rode lamp.
Kejayaan Gang Mangga berakhir pada pertengahan abad 19. kawasan itu pun berubah menjadi pemukiman penduduk, sehingga perlahan Gang Mangga lenyap. Kemudian, seluruh jalan yang membentang dari Jassenburg sampai ke pintu air Goenoeng Sari dinamakan Mangga Doea Weg. Sebagai ganti tempat hiburan untuk mendengarkan musik, munculah rumah plesir milik orang kaya seperti Oei Tamba Sia yang kemudian berkembang menjadi Soehian.
Dalam perkembanganya Soehian pun berubah menjadi rumah bordil. Sebelum tutup pada awal abad 20, rumah bordil Soehian ini banyak membawa korban. Korbannya tak lain perempuan-perempuan penjaja seks. Sebut saja perempuan bernama Fientje de Fenicks dari Soehian di Paal Merah, Nona Bong dari Soehian di Kampung Bebek, dan Aisah dari Kampung Kramat yang tewas di rel kereta tak jauh dari Senen.
Soehian kemudian berganti menjadi kompleks pelacuran yang tersebar di Gang Kaligot, Sawah Besar, Gang Hauber, Gang Kalijodo dan Petojo. Perempuan penjaja seks ini berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai Jembatan Busuk lantaran bau parfum para pelacur yang menyengat bercampur bau keringat yang menyebar di malam hari.
Kedua gang tersebut terus berjaya bahkan hingga tentara Jepang masuk ke Batavia. Tentara Jepang ini ternyata menjadi konsumen aktif rumah bordil itu. Di zaman Jepang inilah, tempat wanita tuna susila makin marak bahkan hingga ke gerbong kereta api Senen. Di masa sekarang ini, lokalisasi ini pun diobrak-abrik hingga penjaja seks yang masih dicari calon pembeli harus ngetem di tempat-tempat yang tak berbeda dari jaman Jepang.

Kramat Tunggak


Setelah Indonesia merdeka, pelacuran masih menjamur di Jakarta. Pusat-pusat lokalisasi yang terkenal antara lain di Gang Hauber di kawasan Petojo, Jakarta Pusat. Wali Kota Sudiro mengganti nama Gang Hauber menjadi Gang Sadar untuk mengubah citra lokalisasi ini pada pertengahan 1950-an. Tapi praktik pelacuran masih berlangsung hingga era 1980-an.
Pada 1960-an, ada lokalisasi Kaligot di Mangga Besar. Lalu Planet, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sementara lokalisasi kelas bawah memanjang dari Stasiun Senen sampai Gunung Sahari. Para pelacur bertarif murah melayani pria hidung belang di gubuk-gubuk kardus sepanjang rel kereta. Gerbong kosong pun jadi tempat esek-esek.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin kemudian menggusur tempat pelacuran ini. Semuanya dilokalisir di Kawasan Lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Langkah Bang Ali yang seperti melegalkan pelacuran ini ditentang banyak pihak. Tapi Bang Ali tak peduli, ia mengaku lebih baik melokalisi pelacur agar mudah dibina daripada melihat pelacur berkeliaran tanpa pengawasan.
Pada periode 1970-1980-an, luas  Kramat Tunggak mencapai 12 hektar. Jumlah pelacur mencapai 2.000 orang. Kebanyakan berasal dari wilayah Pantura seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. Lokalisasi ini dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
Di tahun 1999, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso membubarkan Kramat Tunggak. Sutiyoso yang kerap dipanggil Bang Yos ini pun mengubah lokalisasi Kramat Tunggak menjadi Jakarta Islamic Centre. Tapi bukan berarti masalah pelacuran selesai. Para wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Sebagian tersamar sebagai pemijat atau pemandu lagu. Saat Jakarta gelap mereka melenggok di atas aspal. Menukar cinta dengan lembaran rupiah. Pelacuran tak akan mati, hanya berpindah tempat.

Referensi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar