Kamis, 17 Juli 2014

Sejak dulu, manusia tak bisa lepas dari pelacuran




Sejak dulu, manusia tak bisa lepas dari pelacuran
ilustrasi

 Sistem jual beli nafsu sampai saat ini sudah menjadi naluri manusia sejak zaman dahulu. Salah satu naluri manusia yang sudah melekat sejak lama itu seakan menjadi pembuat lahirnya sistem pelacuran yang ada hingga kini.

"Jadi begini, persoalan lokalisasi dan pelacuran itukan memang sudah menjadi naluri purba seseorang yang sudah terbiasa. Jadi mau dilegalisasi atau tidak, ini memang masalah moral," kata Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna saat dihubungi merdeka.com.

Menurut Yayat, Indonesia sebagai masyarakat religius lebih tepat jika permasalah pelacuran dan para Wanita Tuna Susila (WTS) ditekankan kepada pembinaan, bukan harus selalu mengenai penutupan tempat lokalisasi saja.

"Tapi masalahnya, kita terkadang tidak menyediakan tempat untuk memberikan pembinaan ke mereka (WTS). Sementara kita masyarakat yang religius dan norma agama harus ditegakkan," imbuhnya.

Yayat mengatakan, masalah pelacuran merupakan masalah sosial akan bertentangan dengan norma agama jika dilegalkan. Salah satunya adalah dengan sistem kontrol.

Sistem pengontrolan seperti yang dahulu dilakukan terhadap Kramat Tunggak sebagai monitor untuk mendapat kontrol terhadap moral dan penyakitnya tidak akan efektif tanpa ada campur tangan dari masyarakat itu sendiri.

"Tapi masalah efektif atau tidak, memang sangat tergantung dari masyarakatnya itu sendiri. Ada tidak tokoh yang mau mengayomi, atau ada tidak yang mau melakukan perubahan," tegas Yayat.

Menurut dia, masalah pelacuran memang akarnya bersumber dari kemiskinan dan terjadi ketika orang sudah mulai berpikir untuk mencari kebutuhan ekonomi paling cepat.

"Iya menjadi pelacur salah satunya. Jadi kalau mau diubah, memang harus ada dinas sosial dan mereka diberikan keterampilan. Jadi kalau ada pintu darurat dan ada harapan lebih bagus, pemerintah harus menyediakan tempatnya," tandas Yayat.

Yayat menceritakan, berbeda halnya jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Jika ada legalitas bagi sistem pelacuran, tetap saja ada legalisasi dan aturan tegas yang mengatur syarat dan ketentuan dalam dunia prostitusi tersebut.

"Kalau di sana memang pelakunya orang dewasa dan kalau melanggar bisa ditangkap. Berbeda dengan di Indonesia, peraturan dan ketentuannya tidak ada, tapi tempat lokalisasi masih ada," ujar Yayat. (www.merdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar