Kamis, 05 Februari 2015

Pelacur dan Puisi

 
“Wahai pelacur-pelacur
kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali
rambutmu...”


AGAKNYA, puisi yang paling masyhur, begitu bicara ihwal pelacur, adalah puisi WS Rendra itu, “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.” Kemasyhurannya, saya kira, tersebab demikian lantang ia, puisi itu, membela “martabat” para pelacur. Terutama, di tengah moralitas kita sebagai sebuah bangsa dipertanyakan. Ketika, kian kabur pandangan baik-buruk kita terhadap realitas sosial yang terjadi, kian senjang kaya-miskin, kian jauh rasa keadilan.  Ketika, “politisi dan pegawai tinggi,” tulis Rendra, “adalah caluk yang rapi/ kongres-kongres dan konferensi/ tak pernah berjalan tanpa kalian.”

Dan, dunia pelacuran pun, sebagaimana juga dunia moralitas kita, jadi fenomena yang tak mudah diurai. Sebab “tubuh”—seturut Anthony Synnott (2003)—bukan semata fenomena biologis, tapi juga simbolis, sebuah hasil ciptaan masyarakat yang mengandung kompleksitas sosial yang rumit. Tubuh manusia, penuh dengan simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik, agama, ekonomi, seksual, moral—yang sering kali kontroversial. Maka, “profesi” pelacur pun (dalam Terence H. Hull, menyebut sebagai profesi tertua di dunia), seolah telah “lahir” seiring dengan lahir dan tumbuhnya “tubuh sosial” itu sendiri. Dunia pelacuran, telah “dapat tempat” dalam sejarah peradaban umat manusia di belahan dunia manapun.

Puisi, yang juga lahir dari rahim sosial itu, dari pergulatan “tubuh sosial” itu, tentu turut bersinggungan langsung ataupun tak langsung dengan dunia pelacuran. Maka tentu, tak semata ia (dunia pelacur itu) menjadi sumber inspirasi penyair, tetapi juga menjadi pemantik bangkitnya empati kemanusiaan atas ketidak-adilan yang dialami oleh pelacur—yang memang biasanya dipertentangkan vis-a-vis dengan kekuasaan (politik, ekonomi, egama, sosial). Sebagaimana Rendra, Linus Suryadi AG pernah menulis puisi tentang seorang pelacur dari Magdala, bernama Maria Magdalena, dari kota Jerusalem, “Saya, Maria Magda-lena/ lonthe/ Yang dilaknat oleh Hukum Taurat/ yang dihina orang-orang Saduki/ yang digusur orang-orang Farisi/ yang dikeloni oleh kaum pendosa/ tapi tidak berdusta...”

Para penyair, seolah telah jadi “juru bicara” para pelacur. Puisi-puisi itu, adalah corong dari suara-suara senyap. Penyair, kadang bersuara sebagai pembela, tapi kadang juga membiarkan para pelacur itu “bicara sendiri” dalam puisi, berteriak sendiri sepuasnya tentang pikiran dan perasaanya, pun perlawanannya. “Aku cuma pelacur yang tak punya surga. kubawa tubuh kemanamana...” tulis Dorothea Rosa Herliany dalam puisi berjudul “Nikah Pelacur Tak Punya Tubuh,”  “Aku cuma pelacur yang menawarnawarkan dosa, tapi kusimpan di antara ayatayat yang tak pernah dibaca, yang mencari ladang dan membajak bukitbukit...”

Surga, dosa, ayat-ayat, Taurat, dusta, Farisi, dan seterusnya, adalah upaya berdialog dengan agama, dengan Tuhan, sebagai makhluk yang diberkahi tubuh. Dialog, yang tak jarang berujung pada “persetubuhan” (para pelacur itu) dengan Tuhan-nya. Pranita Dewi, seorang penyair Bali, memberi tajuk buku puisinya “Pelacur Para Dewa”—yang sempat juga mengundang polemik—yang mengingatkan saya pada sebuah buku memoar karya Cal van Ray berjudul God’s Call Girl, Sang Pelacur Tuhan,” sebuah kisah nyata perjalanan hidup seorang mantan biarawati yang menjadi PSK.

(http://www.riaupos.co/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar