Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Pasar Kembang atau yang lebih dikenal dengan sarkem yang merupakan bursa seks yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu.
Sarkem telah menjadi sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu. Pelacuran di kawasan ini bahkan telah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.
Sarkem telah menjadi sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu. Pelacuran di kawasan ini bahkan telah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.
Pada
masa lalu daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat
pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua
matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu. Perubahan nama
dari Balokan menjadi Pasar kembang terutama berkaitan dengan banyaknya
penjual bunga yg membuka kios di sepanjang jalan ini di era 70-an.
Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang.
Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun. Bahkan pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),
Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang.
Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun. Bahkan pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),
“Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Usulan
ini tentu saja langsung ditolak oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku
Buwono X dengan alasan bahwa DIY takkan menghalalkan segala cara untuk
mendongkrak sektor andalan DIY. Dan cara untuk mendongkrak PAD
(Pendapatan Asli Daerah) seperti dikatakan oleh Kepala Dinas Pariwisata,
Seni dan Budaya Kota Yogya, Hadi Mochtar bahwa pemerintah mendukung
pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata andalan di pusat kota, tapi
tidak sebagai wisata seks, yang akan dikembangkan adalah dari segi
lainnya seperti kesenian tradisional dan pengembangan hotel serta
restaurant setempat. Usulan menjadikan Sarkem sebagai kawasan wisata
seks dianggap menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY.
Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika,
kesopanan, kesusilaan dan agama. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPD
Partai Golkar DIY dan Wakil Ketua DPRD DIY, Drs.Gandung Pardiman, MM.
“Kami berharap kepada Pemerintah Kota Yogyakarta, khususnya Walikota Yogyakarta untuk tidak sekali-sekali tergiur dengan objek wisata ‘lendir’ itu. Penataan dan pembinaan kawasan Sarkem silahkan saja dilakukan, namun jangan sampai justru menumbuhsuburkan praktek prostitusi. Penataan Yogya sebagai kota budaya dan tujuan wisata jangan sampai mengorbankan nilai-nilai moralitas. Maka ide menjadikan Sarkem sebagai kawasan budaya seks harus ditentang bersama”. (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Penolakan
keras terhadap praktek prostitusi di DIY khususnya Pasar Kembang sudah
dinyatakan secara terbuka oleh pemerintah DIY baik eksekutif maupun
legislative, karena bertentangan dengan ruh keistimewaan DIY,
“Masyarakat
DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan
garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu
Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis
imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan
Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan
kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin
Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan
wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius,
pemerintahan dan budaya”
Tapi
kemudian jika melihat letak wilayah Pasar Kembang yang sangat dekat
dengan stasiun sebagai tempat lalu-lintas orang dari berbagai tempat
untuk berbagai kepentingan di Yogyakarta, maka tidak heran jika
terbangun relasi ekonomi yang kuat dan ini jelas berimbas pada kegiatan
perekonomian warga sekitar Stasiun Kereta Api Tugu yaitu dengan
menyediakan fasilitas seperti penginapan, warung makan, rumah makan.
Warga
yang tinggal di daerah ini kemudian mengandalkan sektor wisata domestik
dan kegiatan prostitusi sebagai mata pencarian, misalnya dengan
menyewakan kamar termasuk untuk short time selain itu juga menyediakan
tempat tinggal untuk Pekerja Seks. Sementara RW Sosrowijayan Wetan,
merupakan kampung yang pada tahun 1970an, mulai bermunculan hotel,
losmen, warung dan fasilitas pariwisata lainnya, tapi sangat sedikit
yang digunakan untuk aktititas prostitusi.
Sebenarnya
sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pariwisata ujung-ujungnya akan
berkaitan dengan dunia malam atau sejenisnya. Setiap lokasi wisata yang
terkenal dan maju umumnya juga memiliki wisata seks yang maju pula.
Misalnya saja negara tetangga kita Thailand yang sangat maju dalam
pariwisata. Disana wisata seks diolah dan digarap sedemikian rupa
sehingga menarik minat turis asing untuk berdatangan. Seks menjadi hal
yang umum di negara itu. Tetapi ekses negatifnya adalah penyebaran dan
penularan HIV/AIDS juga berkembang pesat juga disana.
Keberadaan
para wanita penghibur di sarkem sebenarnya telah berusaha ditangani
oleh pemerintah daerah sejak tahun 1976. antara lain dengan penunjukkan tanah
pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun Mrican, tepatnya
sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat pelaksanaan Proyek
Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Diikuti dengan pemindahan mucikari beserta anak buahnya selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB
Walaupun
pemerintah daerah telah mengeluarkan perda yang melarang Wilayah
Sosrowijayan Kulon sebagai tempat praktek prostitusi yang diberlakukan
sejak tanggal 2 Maret tahun 1976, tapi hingga saat ini tahun 2010,
wilayah ini tetap digunakan untuk kegiatan prostitusi.
Hal ini jelas, karena ada ikatan ekonomi yang kuat antara warga setempat dengan Pekerja Seks, dan juga dengan lingkungan Sosrowijayan Wetan yang menyediakan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata, karena daerah ini merupakan jantung Kota Yogyakarta dan dekat dengan lingkungan pariwisata andalan DIY yaitu Malioboro, Keraton, Taman sari, dll
Hal ini jelas, karena ada ikatan ekonomi yang kuat antara warga setempat dengan Pekerja Seks, dan juga dengan lingkungan Sosrowijayan Wetan yang menyediakan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata, karena daerah ini merupakan jantung Kota Yogyakarta dan dekat dengan lingkungan pariwisata andalan DIY yaitu Malioboro, Keraton, Taman sari, dll
Lepas
dari itu semua, biarlah orang-orang pintar dan berkompeten yang
berwacana di publik dan memikirkannya. Sebagai orang biasa, kita hanya
bisa melihat dan mungkin sedikit mengkritisinya seperti ini saja.
Biarlah Sarkem tetap dengan dunianya, melepaskan syair-syair malam
diantara masyarakat Jogja yang sedang berubah. Yang penting sekarang ini
seperti alunan lagu Kla Project...NIKMATI BERSAMA SUASANA JOGJA dengan
segala warna-warninya.
PERDA tentang Pelacuran di DIY
Produk PERDA dibawah ini dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dan DIY, sebagai Berikut:
Rijksblaad
tahun 1924, nomor 19. Artikel 1 dan 2 menyebutkan larangan rumah-rumah
dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan pelacuran. Ini berarti jauh
sebelum peraturan tersebut dikeluarkan sudah ada kegiatan pelacuran di
Sarkem
Peraturan
Daerah No. 15/1954, yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 1954.
PERDA ini mengenai penutupan rumah-rumah pelacuran. Pasal 1, yang
dimaksud dengan rumah-rumah pelacuran ialah rumah atau bangunan lainnya,
termasuk pekarangan yang digunakan untuk pelacuran. Pelacuran ialah
tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan
mendapatkan upah. Pasal 2 alinea 3 berbunyi penutupan tersebut (ayat 1)
berlaku bagi seluruh/sebagian rumah atau pekarangan tersebut. Pasal 3
berbunyi bahwa siapa pun dilarang mendatangi rumah atau pekarangan itu
kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 5 dalam peraturan ini. Pasal 7,
Larangan tersebut dapat dicabut apabila dalam tiga bulan kemudian rumah
itu tidak dipergunakan untuk pelacuran, penutupan rumah tersebut
diperpanjang lagi apabila masih dipergunakan untuk pelacuran. Pasal 8
berbunyi pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 3 dan 4 dapat dikenakan
kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya, Rp.
100,- (seratus rupiah).
Peraturan
Daerah No. 18/1954 yang dikeluarkan pada tanggal 4 November 1954,
tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum. Pasal 1 mengenai
batasan mengenai pelacuran, yaitu tindakan orang yang menyerahkan
badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 berisi
tentang maksud tempat umum yaitu jalan-jalan, tanah-tanah lapang,
ruangan-ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah dilihat atau
didatangi. Pasal 3 berisi, tentang larangan bagi siapa saja yang ada di
tempat umum membujuk orang lain baik dengan perkataan, perbuatan,
isyarat dan cara lain yang bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum.
Pasal 5 bagi siapa saja yang melanggar pasal 3 tersebut dikenakan
hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda setinggi-tingginya
seratus rupiah
Pemerintah
daerah melihat bahwa meskipun telah ada larangan kegiatan pelacuran di
rumah-rumah yaitu dengan dikeluarkannya Rijksblaad tahun 1924, nomor 19
dan peraturan daerah No. 15/1954, tetapi masih tetap ada rumah-rumah
yang dipergunakan untuk kegiatan pelacuran oleh karena itu dikeluarkan
keputusan kepala daerah No.166/K.D/1974, yang keluarkan pada tanggal 15
November 1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek resosialisasi
Wanita Tuna Susila di kota Yogyakarta. Keputusan tersebut antara lain
menunjuk tanah pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun
Mrican, tepatnya sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat
pelaksanaan Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Kemudian
untuk merealisaikan keputusan kepada daerah tersebut pada tanggal 20
November 1974 Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan NO 17/K.D/1974
tentang tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila. Pada
salah satu keputusannya dicantumkan anggota tim pelaksana Proyek
Resosialisasi Wanita Tuna Susila tersebut antara lain terdiri dari
Tripida kecamatan setempat dan Ketua Rukun kampung Wilayah Sarkem.
Selanjutnya
pada tanggal 2 Maret 1976, atas nama Walikota Pj. Sekwilda pada saat
itu, mengeluarkan surat pemerintah No.02940/01040/Sek./1976 tentang
perintah pelaksanaan pemindahan mucikari beserta anak buahnya
selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB dan melaksanakan
bimbingan dan pengawasan kampung lama yang ditinggalkan.
Setelah
Resosialisasi Wanita Tuna Susila di Kota Yogyakarta terealisasi, pada
tanggal 6 Maret 1976, Pjs Sekretaris Daerah mewakili Walikota Yogyakarta
mengeluarkan instruksi Walikota Madya kepada daerah tingkat II No.
01/IN/1976 tentang mengintensifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan
daerah No.18 tahun 1954. Dalam instruksi tersebut dikemukakan perlu
adanya tindak lanjut tahap pemberantasan dan pembersihan pelacur di
Wilayah Kota Yogyakarta, terkecuali tempat yang dimaksud dalam keputusan
Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974. selain itu, tim pelaksana dalam
keputusan No.170/KD/1974 agar mengaktifkan dan menertibkan pelaksanaan
peraturan daerah nomor 18 tahun 1954.
Pada
tanggal 1 September 1977, Walikota Yogyakarta memandang perlu
melengkapi surat keputusan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan
resosialisasi di Desa Mrican, yaitu dengan mengeluarkan keputusan No.
93/K.D/1977 tentang jalur pemisahan antara areal Resosialiasi Wanita
Tuna Susila dan perkampungan umum sekitarnya.
Pemerintah
melihat bahwa Wanita Tuna Susila, Gelandangan dan Pengemis yang selalu
ada maka pada tanggal 24 agustus 1989 dikeluarkan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah DIY No. 54/TIM/1989, tentang pembentukan tim
penanggulangan Gelandangan, Pengemis dan Wanita Tuna Susila di Propinsi
DIY.
Masih
terkait dengan hal diatas pada tanggal 23 Desember 1993, Walikota
Yogyakarta mengeluarkan keputusan No.1040/KD/1993 tentang pola
penanggulangan gelandangan, pengemis dan pola penanggulangan Wanita Tuna
Susila. Pada keputusan ini Bab 3 (Tiga) merupakan pola penanggulangan
Wanita Tuna Susila, didalamnya termasuk penanggulangan secara preventif,
represif dan kuratif.
Walaupun
dalam pola penanggulangan Wanita Tuna Susila diatas tertera pula
resosialisasi tetapi pada tanggal 31 Desember 1997, Walikota Yogyakarta
mengeluarkan keputusan No. 408/KD/1997 tentang Pencabutan Keputusan
Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974 tentang penunjukkan tempat untuk
proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila. (http://kusnadiyono.blogspot.com/2010/02/sejarah-sarkem-bursa-seks-sejak-jaman.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar