Rabu, 18 Juni 2014

Penutupan Dolly (Tidak) Sama Sangka Nila


Gang Dolly saat malam terakhir sebelum penutupan. (KOMPAS.com/Achmad Faizal)
Gang Dolly saat malam terakhir sebelum penutupan. (KOMPAS.com/Achmad Faizal)

Hari ini, 18 Juni 2014 adalah hari penutupan sebuah lokalisasi Dolly yang sangat terkenal baik di negeri sendiri maupun negara tetangga. Saya salut kepada bu Risma selaku walikota Surabaya yang telah gigih memperjuangkan penutupan lokalisasi tersebut.
Dengan maraknya berita pro dan kontra penutupan lokalisasi tersebut, mau tidak mau membuat saya teringat pada sebuah lokalisasi di daerah Merak- Cilegon, Banten yang juga ditutup oleh Pemda setempat. Saya mendukung penutupan lokalisasi Dolly. Saya sangat yakin  Walikota Surabaya, Bu Tri Rismaharini telah memikirkan langkah-langkah demi “menolong” para PSK lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu dengan matang dan juga masyarakat yang terkait dengan keberadaan lokalisasi tersebut. Namun dalam benak saya ada semacam kekhawatiran yang mendalam, akankah penutupan lokalisasi itu tidak membawa dampak yang lebih buruk bagi masyarakat sekitar. Ada baiknya saya tuliskan satu catatan yang mendasari adanya kekhawatiran saya tersebut
Dulu sekitar tahun 90-an di tikungan Merak, Cilegon, Banten saya mengenal ada lokalisasi yang bernama Sangka Nila (pribumi menyebut Sangke Nile) kalau siang keadaan sepanjang rel kereta itu sepi seperti layaknya sebuah perkampungan biasa. Karena kebetulan saya dan suami mendapatkan rumah kontrak (bersebelahan dengan rumah milik saudara ipar) tidak jauh dari tempat itu. Namun lokalisasi yang telah berumur puluhan tahun itu akan terlihat gebyar hingar bingar dengan lampu-lampu temaram di setiap depan pondok-pondok kecil saat malam menjelang.
Lalu lalang perempuan dengan dandanan menor, anak-anak dibawah umur yang menjajakan makanan kecil, lelaki hidung belang dengan “kantong tebal” mewarnai sepanjang malam selepas magrib hingga dini hari menjelang.
Sangka Nila memang menawarkan hiburan bagi para pekerja proyek yang waktu itu tengah menjamur di daerah Merak-Cilegon-Anyer, jadi wajar saja bila para mucikari disana menangguk uang jutaan rupiah dalam waktu semalaman. Apalagi banyak ekpatriat yang berkunjung kesana, bahkan beberapa orang diantaranya menjadikan salah satu pekerja seks itu sebagai simpanannya atau “istri kontraknya”. Dari pekerja seks dan mucikari yang berada di Sangka Nila rata-rata adalah pendatang, yang saya tahu mereka kebanyakan dari daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan sebagian kecil dari penduduk asli, Banten.
Tinggal dekat daerah *maaf* “panas” tentunya saya tidak betah, 3 bulan tinggal di situ saya memutuskan pindah. Namun saya masih sering berkunjung ke rumah ipar, si empunya rumah kontrakan itu. Maka saat sekitar tahun 94-an Sangka Nila ditutup oleh Pemda setempat, saya sangat mengerti bahwa penutupan itu mungkin tidak melalui pemikiran yang baik dari Pemda setempat. Bayangkan saja para PSK itu “terjun” ke tengah masyarakat  dan mengontrak di beberapa rumah warga sekitar Sangka Nila. Dan Pemda setempat membiarkan saja. Mungkin bagi sebagian orang itu bukan masalah, tapi bagi saya itu adalah masalah yang sangat besar. Bagaimana tidak, setelah lokalisasi Sangak Nila ditutup, para eks-PSK-nya “terjun’ ke kampung-kampung sekitar, salah satunya kampung tempat saya mengontrak dulu, kampung Suka Jadi.
Di siang hari para PSK lalu lalang di tengah masyarakat tanpa mengindahkan norma-norma adat ketimuran, dengan baju seronok, dandanan wajah yang mencolok, rokok di jarinya, dan mereka seakan tak sungkan lagi apabila ada mata memandang risih pada mereka, dan itu petaka bagi masyarakat sekitar terutama generasi muda. Bagi saya itu sebuah “pemandangan” yang tidak sehat bagi anak-anak muda kampung tersebut. Dan saat waktu magrib tiba, mereka dengan “pakaian dinasnya” keluar rumah lalu mendatangi diskotik, pub atau hotel yang menjamur di daerah Merak, Anyer, dan Cilegon.
Prihatin tentunya melihat pemandangan demikian, sekali lagi yang saya pikirkan adalah jika generasi muda daerah itu menganggap pekerjaan mereka menyenangkan dan menjanjikan hingga mereka menjadi ingin seperti para PSK itu…. miris. Dengan melihat keglamoran kehidupan para PSK, bukan tidak mungkin anak-anak muda sekitar menjadi tertarik untuk mencoba pekerjaan itu, atau bila ada yang kebetulan terhimpit faktor ekonomi akan sangat mudah menjadi bagian dari mereka. Bagi saya inilah dampak terburuk dari penutupan sebuah lokalisasi.
Sejak tahun 2007 saya sudah tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke kampung-kampung sekitar Sangka Nila, karena pulang kampung di Jawa Tengah. Namun tatkala saya pindah dari Cilegon, keadaan kampung-kampung sekitar masih sama meski para PSK pengontrak rumah di kampung-kampung sana agak berkurang. Saya sangat berharap kampung-kampung tersebut kini telah bersih dari imbas buruk penutupan Sangka Nila.
Memang saya belum pernah melihat secara langsung keadaan lokalisasi Dolly, namun dari berita yang saya lihat dan baca, kawasan Sangka Nila belum seberapa dibanding Dolly yang sangat terkenal itu. Tentunya dampak buruk juga semakin luas. Meski Bu Risma telah mempunyai program yang terencana namun perlu juga diperhatikan bahwa tidak semua eks-Dolly mau begitu saja menerimanya. Bukan tidak mungkin ada beberapa yang masih melanjutkan profesinya dengan diam-diam dan lalu “kembali” ke masyarakat dengan membawa dampak buruk bagi sekitarnya seperti yang terjadi dari  kasus penutupan Sangka Nila.
Tugas Bu Risma bersama jajaran Pemda Surabaya tentulah sangat berat, namun semua tidak mustahil berhasil dengan adanya kesepakatan, kesadaran dan pengertian dari para PSK eks-Dolly itu sendiri, dan itu akan membutuhkan waktu yang panjang. (selsa, http://lifestyle.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar