Kamis, 19 Juni 2014

Mucikari Dolly Akui Tak Bayar Pajak ke Pemerintah

Mucikari Dolly Akui Tak Bayar Pajak ke Pemerintah  
Sebuah label tarif transaksi terpasang di dinding wisma di Lokalisasi Dolly , Surabaya, (19/5). Sebanyak 1025 Pekerja Seks Komersil (PSK) menggantungkan dirinya dengan bekerja di sini untuk mencari nafkah. TEMPO/Fully Syafi

Johan, seorang mucikari salah satu wisma di Dolly, mengakui mucikari dan pemilik wisma prostitusi di Gang Dolly dan Jarak, Surabaya, tak membayar pajak ke Pemerintah Kota Surabaya. Secara resmi, pemilik wisma tidak membayar pajak pemerintah karena sudah tidak diakui izinnya sejak 2006.

"Kami (mucikari) mau-mau saja jika harus bayar pajak resmi ke pemerintah kota. Dengan bayar pajak, tempat (Dolly-Jarak) ini diakui resmi. Tapi apakah pemkot berani berhadapan dengan MUI?" ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

Meski tak membayar pajak, menurut Johan, wisma-wisma di Dolly-Jarak berkontribusi meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Lewat perputaran bisnis esek-esek, warga merasakan gurihnya duit mengalir ke kantong mereka.

Duit juga mengalir hingga ke pihak Kelurahan Putat Jaya dan Kecamatan Sawahan. Lewat koordinasi ketua RW, kata Johan, duit itu diantarkan ke lurah dan camat sebagai “jatah”.

Para mucikari diwajibkan membayar Rp 30 ribu setiap hari untuk uang kontrol, Rp 15 ribu dua hari sekali untuk linmas dan iuran tata tertib Rp 1 juta per tahun. Menjelang Ramadan, pemilik wisma juga wajib membayar Rp 500 ribu untuk sedekah ke fakir miskin. Semua di bawah koordinator ketua RW. "Saya dengar jatah kelurahan dan kecamatan tahun ini tidak diambil," katanya.

Johan mewarisi usaha seks ini sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, kakaknya merintis bisnis seks di Dolly pada 1980-an dengan menyewa wisma senilai Rp 100 ribu per bulan selama enam bulan. Melihat prospek cerah bisnis syahwat, kakaknya nekat membeli rumah senilai Rp 30 juta di kawasan itu untuk dijadikan rumah bordil.

Menginjak era 1990-an, bisnis seksnya semakin berkembang pesat hingga mencapai puncak pada 1998. "Dulu tarifnya mulai Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, Rp 25 ribu, Rp 50 ribu hingga naik seperti sekarang Rp 120 ribu per jam."

Sekarang Johan memiliki sepuluh pekerja seks. Jumlah itu jauh menurun dibanding tahun 1998 sebanyak 21 pekerja seks. Penurunan ini, kata dia, dipicu beberapa sebab, seperti insyaf, diperistri orang, dan pemberlakuan aturan baru, yakni wisma dilarang menambah PSK baru sejak tahun 2011.

Usahanya semakin goyah tatkala isu penutupan Dolly berembus kencang. Sudah dua bulan belakangan ia merasakan pendapatan menukik turun karena minimnya tamu yang datang. "Sekarang, sebulan cuma dapat Rp 35 juta. Tahun lalu rata-rata bisa Rp 60 juta sebulan," ujarnya. Dari Rp 35 juta itu, Johan mengantongi pendapatan bersih Rp 20 juta setelah dipotong biaya PRT, listrik dan makan para PSK. (www.tempo.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar