oleh Abdur Rosyid | |
Adam
dan hawa, kedua orang tua kita, dahulu kala pernah terbujuk oleh tipu
daya Iblis. Sebelum ruh Adam dimasukkan kedalam jasadnya, Iblis telah
terlebih dulu melakukan survey, menelusuri jasad Adam, sehingga
ia mampu memahami cacat celah Adam, dan tentu saja manusia pada
umumnya. Berbekal pengetahuannya itu, Iblis mencoba menyusun strategi
untuk menggoda Adam. Iblis tahu bahwa Adam, dan manusia pada umumnya,
adalah makhluk yang selalu ingin tahu, terutama pada hal-hal yang
tersembunyi, disembunyikan, dirahasiakan. Ketika Allah memberikan
maklumat kepada Adam untuk tidak sekali-kali mendekati sebuah pohon di
surga, maka Iblis pun sadar bahwa pohon itu pasti akan membuat Adam jadi
penasaran. Tugas Iblis selanjutnya ialah melakukan “pengomporan”, agar
potensi kepenasaran Adam menjadi bangkit. Begitulah, sehingga Adam dan
Hawa akhirnya jatuh kalah oleh godaan Iblis.
Islam
adalah agama yang fitri, selaras dengan fitrah manusia. Bagi seorang
remaja atau pemuda yang masih lajang, lawan jenisnya merupakan sesuatu
yang majhul, tidak dikenal, misterius. Karenanya, hal itu akan
menumbuhkan rasa penasaran yang amat hebat. Karena itu tidaklah
mengherankan apabila dalam rangka memenuhi rasa penasarannya itu banyak
remaja, bahkan yang muslim, yang sampai-sampai kecanduan menonton
tayangan-tayangan porno. Remaja-remaja ini tidak bisa sepenuhnya
disalahkan. Yang paling patut dipersalahkan ialah lingkungan, atau
secara lebih spesifik : pemerintah, yang tidak membuat kebijakan untuk
melarang beredarnya tayangan-tayangan tersebut. Kembali kepada
ke-fitri-an Islam, janganlah kita heran mengapa hukuman zina bagi yang
masih lajang terlihat lebih ringan daripada bagi yang sudah menikah.
Tentu saja, yang demikian itu karena Islam memahami bahwa rasa penasaran seorang lajang tentu jauh lebih besar daripada yang sudah menikah, sehingga godaannya pun lebih besar. Itulah sebabnya mengapa Nabi mengatakan,”Menikahlah kalian, karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga kemaluan”. Tidak lupa pula, kita mesti sering mendengar pada khutbah walimatul-‘urus bahwa Nabi berkata,”Apabila
seorang suami melihat seorang wanita di jalanan yang menarik hatinya,
maka hendaknya ia segera pulang karena ia akan mendapati apa yang
menarik hatinya itu pada diri isterinya”. Singkatnya, seorang yang
sudah menikah tentunya lebih terjaga. Karena itu, jika dalam kondisinya
seperti itu, dia masih juga berzina maka tidaklah aneh jika hukumannya
pun lebih berat, dirajam sampai mati.
Satu
kesimpulan yang bisa kita petik dari rangkaian kalimat diatas ialah
bahwa godaan seksual pada diri seseorang yang masih lajang amatlah hebat
dan dahsyat. Wajar saja, jika Nabi menjadi khawatir dan berkata,”Wahai
sekalian pemuda, siapapun diantara kalian yang telah mampu menikah maka
menikahlah karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga
kemaluan. Jika kalian belum mampu maka banyak-banyaklah berpuasa, karena
puasa itu perisai (terhadap syahwat)”.
Selanjutnya,
marilah kita renungi mengapa zina dilarang oleh Islam. Bukankah jika
perbuatan itu dilakukan oleh dua orang yang suka sama suka [apalagi jika
orangtua dari kedua belah pihak juga sama-sama rela atau bahkan senang]
maka bukankah kelihatannya hal itu tidak merugikan siapa pun juga ?
Bahkan kelihatannya saling memberikan kenikmatan dan keuntungan ?
Mengapa Zina Dilarang?
Zina ma’qubat (yang bisa dikenai hadd)
ialah perbuatan dimana seorang laki-laki dan perempuan yang jelas-jelas
tidak diikat oleh pernikahan yang sah (menurut syariat Islam),
melakukan hubungan kelamin sedemikian sehingga hasyafah si laki-laki masuk kedalam farj
si wanita, tidak peduli apakah terjadi orgasme ataukah tidak. Dalam hal
ini, pelaku-pelaku harus berada dalam kondisi terikat taklif. Mereka
yang terbebas dari taklif adalah:
Disamping itu, ‘uqubat (hukuman, hadd) baru bisa dijatuhkan apabila tidak ada syubhat.
Zina dengan definisi diatas itulah yang akan dikenai sanksi (‘uqubat) duniawi. ‘Uqubat duniawi ini merupakan aspek zhahiriyah yang diatur oleh syariat. Fungsi ‘uqubat
tersebut adalah untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat dan juga
kepada pelaku. Sementara itu, aspek batiniyah merupakan urusan antara
pelaku dan Allah.
Adapun
pengertian zina yang hakiki, tidaklah terkait dengan bisa jatuhnya hadd
atau tidak. Setiap bentuk hubungan kelamin antara dua orang berlainan
jenis yang tidak diikat dalam pernikahan yang sah (menurut syariat
Islam) adalah zina, tidak peduli terjadi orgasme ataukah tidak, dan
tidak peduli apakah perbuatan itu jelas di mata hakim atau tidak (dalam
rangka menjatuhkan hadd). Tetapi keterikatan terhadap taklif tetap
merupakan prasyarat bahwa perbuatan yang sedemikian itu bisa disebut
sebagai zina. Sebagai contoh, jika dua orang berlainan jenis yang tidak
diikat oleh pernikahan yang sah melakukan hubungan kelamin secara
sengaja maka keduanya dikatakan telah berzina secara hakiki, meskipun
keduanya tidak mengaku atau tidak ada kesaksian yang cukup dari orang
lain atas perbuatan mereka, sehingga hakim tidak bisa menjatuhkan hadd.
Sementara
itu, berbagai bentuk perbuatan yang mengarah kepada zina hakiki (yakni
berupa hubungan kelamin) termasuk dalam kategori mendekati zina, dan
hukumnya adalah haram berdasarkan hukum Al-Qur’an. Contohnya adalah
berbagai bentuk hubungan badan tanpa hubungan kelamin, bercengkerama
yang mengarah kepada zina, berdua-duaan, pergaulan bebas, dan segala hal
yang terangkum dalam apa yang biasa dikenal sebagai berpacaran, adalah
haram karena tergolong mendekati zina, yang mana hal itu telah
jelas-jelas diharamkan oleh Allah melalui Al-Qur’an.
Dalam
hukum Barat, dua orang yang berzina atas dasar suka sama suka tidaklah
dikategorikan melanggar hukum. Atau, jika tidak ada tuntutan kepada
lembaga peradilan maka masalah ini bukanlah perkara hukum. Namun secara
adat, sebagian besar masyarakat (termasuk non muslim) masih menganggap
zina sebagai perbuatan tercela (aib). Anggapan ini tidak lain berasal
dari fitrah kemanusiaan mereka. Buktinya, binatang tidak pernah
menganggap perbuatan semacam itu sebagai perbuatan tercela.
Dalam
Islam, justeru yang dilakukan secara suka sama suka itulah yang
dinamakan dengan zina. Jika dilakukan secara paksa (yakni memperkosa)
maka pemerkosa telah dikategorikan melakukan tindak hirabah, bukan lagi zina. Sementara yang diperkosa tidak dihukum, karena ia dipaksa. Hanya saja perlu dicatat bahwa ‘uqubat
zina tidak akan jatuh apabila tidak ada pengakuan dari pelaku atau
tidak ada tuntutan kepada pelaku (melalui persaksian yang memenuhi
syarat).
Jadi, karena hukum Barat tidak mempunyai sandaran transendental, namun sekedar atas dasar humanisme (anthropo-sentris),
maka sesuatu yang dilakukan atas dasar rela sama rela (tidak
dipermasalahkan di kalangan manusia) – meskipun sebetulnya keji menurut
agama, seperti perkara zina - sama sekali tidak diatur ketentuannya.
Artinya, tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Namun hukum
Islam tidaklah demikian. Ia bersifat Ilahiyah (transendental). Meskipun
seluruh manusia rela (ridha) namun Allah tidak ridha maka itu sudah
termasuk pelanggaran hukum. Barangkali konsep ini akan lebih mudah
dimengerti apabila dibahas dalam terminologi haqq Allah dan haqq al-Adamiy. Dalam hal ini, meskipun suatu pelanggaran hukum hanya berkaitan dengan haqq Allah
maka itu sudah dikatakan sebagai pelanggaran hukum (yang bisa
mendatangkan hukuman). Dan apabila diteliti secara amat mendalam, pada
setiap bentuk pelanggaran hukum yang menyangkut haqq Allah saja sekalipun, mesti mengandung hikmah bagi kemaslahatan manusia.
Jadi,
zina dilarang oleh Islam, bukanlah atas dasar seseorang yang berzina
akan merugikan sesamanya (baik pasangan zinanya ataupun masyarakat).
Namun, zina dilarang sebagai suatu hudud Allah (batasan-batasan Ilahiyah).
“Tilka hudud al-Lah fa la taqrabuha (Yang demikian itu merupakan hudud Allah maka janganlah kalian mendekatinya)”.
“Wa la taqrabu al-zina (Janganlah kalian mendekati zina)”.
Permasalahan
yang hampir sama adalah larangan Allah kepada Adam agar tidak mendekati
sebuah pohon di surga. Allah melarang Adam tanpa memberikan penjelasan
yang memuaskan kecuali hanya “fa takuna min al-zhalimin (sehingga kalian berdua akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang aniaya)”.
Demikian juga dengan zina. Allah tidak memberikan penjelasan panjang lebar kecuali hanya “innahu kana fahisyat wa sa’ sabil(a)”. Dari ungkapan tersebut, kita tahu bahwa Allah melarang zina karena zina itu:
1. Fahisyat (keji)
2. Sabil al-su’ (jalan yang buruk)
Secara umum, Allah memang melarang segala bentuk fahisyat (Jmk: fahsya’). “Inna al-Lah ya’murukum bi al-‘adl wa al-ihsan wa yanhay ‘an al-fahsya’ wa al-munkar wa al-baghy”.
Dalam sebuah kamus disebutkan:
Al-fuhsy: al-qabih min al-qaul aw al-fi’l.
Al-fahisy (Muannats: al-fahisyat): al-qabih.
Jadi secara lughawi, fahisyat berarti segala yang buruk dan tercela, baik perkataan maupun perbuatan. Karena itu sudah cukup tepat kiranya jika fahisyat
diterjemahkan sebagai “perbuatan keji”. Hanya saja permasalahannya
kemudian adalah buruk atau keji menurut siapa? Jawabannya adalah buruk
menurut Allah (karena Dia sendiri telah menyatakan demikian dalam
Al-Qur’an) dan juga buruk menurut fitrah kemanusiaan (sebelum fitrah itu
terkotori).
Sekarang kita membahas tentang zina sebagai sabil al-su’ (jalan yang buruk). Sabil (jalan)
ialah suatu sarana untuk mengarahkan sesuatu kepada tujuan (target).
Zina merupakan sarana yang mengantarkan manusia kepada kesengsaraan dan
kehinaan. Dalam hal ini yang jelas adalah kesengsaraan dan kehinaan di
akhirat. Apakah zina juga akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehinaan
di dunia? Ya. Kalaupun sepintas lalu terlihat tidak demikian, ketahuilah
bahwa secara hakiki (minimal di mata Allah) zina akan
menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan di dunia ini. Jalan ke Surabaya
tidak akan mengantarkan orang ke Madiun. Perumpamaan ini menggambarkan
bahwa zina sekali-kali tidak akan pernah mengantarkan pelakunya kepada
kebaikan yang hakiki. Tidak akan pernah!
Kalau ada sabil al-su’ maka tentunya juga ada sabil al-khair, yang dalam hal ini adalah “al-ladzina
hum li furujihim hafizhun illa ‘ala azwajihim aw ma malakat aimanuhum
fainnahum ghairu malumin, fa man ibtaghay wara’a dzalika fa ulaika hum
al-‘adun” (yakni orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak mereka. Mereka itu bukanlah orang
yang tercela. Adapun barangsiapa menempuh jalan selain itu maka mereka
adalah orang-orang yang melampaui batas).
Dari nash-nash yang ada, dapat dilakukan istiqra’ (inferensi induktif) bahwa zina dilarang dalam rangka daf’ al-mafasid wa jalb al-mashalih (mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Secara lebih khusus, pelarangan zina merupakan penjagaan terhadap al-‘irdh (kehormatan) atau al-nasl (keturunan), yang mana hal ini termasuk kedalam al-dharuriyyat al-mu’tabarat.
Berangkat dari pemahaman bahwa dilarangnya zina merupakan hudud Allah
maka implikasinya adalah bahwa kegagalan manusia dalam menyingkap
hikmah-hikmahnya tidaklah akan bisa membatalkan pelarangan zina.
Lagipula, berhasil tidaknya usaha-usaha menyingkap hikmah amat
bergantung pada kemampuan akal manusia. Padahal, akal manusia bersifat
terbatas.
Baiklah, mari kita mencoba mencari hikmah dibalik pelarangan zina:
Setelah kita merenungi hikmah dilarangnya zina, marilah sekarang memikirkan makna firman Allah “wa la taqrabu al-zina”. Teks ayat tersebut menunjukkan larangan mendekati zina (shighat nahy). Larangan mendekati disini bermakna sadd dzari’ah (prevensi) atau ihtiyath (kehati-hatian). Kalau mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukannya (qiyas aula).
Mengapa
zina tidak boleh didekati? Logika yang paling mungkin adalah karena
Allah tahu bahwa orang yang mendekati zina tidak akan bisa selamat dari
zina – kecuali atas perlindungan dari Allah, sebagaimana kasus Yusuf as.
Dalam
kondisi seseorang dekat dengan zina, godaan untuk melakukan zina akan
dapat mengalahkan dzikir dan rasa takutnya kepada Allah (baca: lupa
diri). Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena hebatnya tipu daya
syaithan dan juga karena kelemahan manusia itu sendiri. Diantara
kelemahan manusia adalah tergesa-gesa, yakni cenderung berpikir pendek dan sulit berpikir jauh ke depan.
Demikianlah, mengapa mendekati zina itu dilarang.
Terminologi
“mendekati zina” bersifat relatif, karena ukuran dekat itu relatif.
Yang jelas, semakin dekat suatu perbuatan kepada terjadinya zina maka
semakin besar larangan terhadapnya dan tentu saja semakin besar dosanya.
Jadi, derajat larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang bisa mengarah
kepada zina itu berbeda-beda, tergantung pada seberapa dekatnya kepada
terjadinya zina. Semakin jauh seseorang mengambil jarak terhadap
kemungkinan terjadinya zina, berarti dia semakin berhati-hati, aman, dan
terjaga kehormatannya.
Marilah kita renungkan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan bagi setiap manusia bagiannya dari zina.
Sedangkan
yang akan membenarkan atau mendustakannya adalah kelaminnya (yakni
terjadinya zina yang hakiki, dalam bentuk hubungan kelamin).
Dari
hadits diatas, dapat dipahami bahwa zina mata, zina telinga, zina
tangan, dan zina hati merupakan perbuatan-perbuatan mendekati zina.
Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang berdasarkan firman Allah “wa la taqrabu al-zina”.
Islam
juga mengharuskan usaha-usaha untuk menghilangkan iklim yang kondusif
bagi tumbuhnya zina, misalnya tradisi berpakaian yang mengumbar aurat di
hadapan orang asing / umum dan beredarnya berbagai bentuk pornografi.
Hal ini mutlak dalam rangka penegakan syariat Islam. Selagi iklim suatu
masyarakat masih sangat kondusif bagi tumbuh suburnya zina, maka hadd zina belum boleh diterapkan. Jika tidak begitu, alangkah banyaknya orang yang mesti dicambuk dan dirajam! Padahal, tujuan hadd bukanlah untuk menyakiti an sich,
akan tetapi untuk mendidik. Iklim yang bebas dari pornografi dan
menjamurnya tempat-tempat mesum merupakan prasyarat bagi pemberlakuan hadd. Jika iklim positif sudah terbentuk, saat itulah penguasa harus menerapkan hadd.
Solusi Islam
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yakni kemenangan atau
kesuksesan Iblis dalam menggelitik potensi kepenasaran seksual manusia,
maka Islam pun memberikan tuntunan-tuntunan mengenai interaksi antara
pria dan wanita. Tuntunan-tuntunan tersebut membentuk suatu pola
pergaulan yang khas Islam, yang jika dicermati, merupakan suatu pola
pergaulan yang elegan dan modern, beradab dan estetis. Kesan ini hanya
bisa dirasakan oleh mereka yang mempunyai hikmah, kebijaksanaan.
Selanjutnya, mari kita menyimak apa yang ingin dikatakan oleh Al-Qur’an.
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu keji (fahisyat) dan jalan yang buruk”
“Dan
apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi) maka
mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”.
Dari
ayat pertama kita bisa memahami bahwa Allah melarang segala bentuk
perbuatan yang bisa mendekatkan manusia kepada zina. Sementara dari ayat
kedua, kita bisa memahami bahwa Allah memerintahkan manusia agar
menjaga kesucian hatinya. Dua kata kunci, tidak mendekati zina dan menjaga kesucian hati, merupakan landasan kita dalam membahas masalah etika interaksi antara pria dan wanita. (http://menaraislam.com)
|
Rabu, 18 Juni 2014
Jauhilah Zina Wahai Dua Anak Manusia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar