Sabtu, 21 Juni 2014

Dampak Buruk Pariwisata Bali : Pelacuran dan Minuman Keras

Malam kemarin kebetulan saya menginap di salah satu hotel di dekat monument Bom Bali di Jalan Legian Denpasar. Konon katanya monumen itu merupakan bekas tapak bangunan café yang dibom tahun 2002 lalu.
Sejak memasuki malam sampai menjelang dinihari, suara band dari salah satu café yang terletak di depan monument itu terdengar sangat keras sampai membuat saya susah tidur. Penasaran dengan apa yang terjadi, sekitar tengah malam saya keluar melihat situasi di sana, pikir saya ada panggung gembira.
Ternyata di lantai dua café itu ada live music. Sementara di jalanan terdapat beberapa bule sedang minum di jalanan (dari botolnya sepertinya minuman keras), sementara di trotoar sekitar pintu-pintu café terdapat beberapa gadis (sebagian besar tampak orang Indonesia) dengan pakaian mini dan tipis menggolang-goyangkan pantat dan dadanya dengan rokok terselip di jarinya. Ketika saya melintasi mereka, setidaknya ada tiga orang yang menawari  cewek.
Siang tadi ketika saya naik taksi, si sopir mengatakan kalau acara itu berlangsung setiap hari tapi “hanya” sampai jam 3 pagi. Katanya sebelum Bom Bali, bisa sampai subuh. Sopir taksi itu juga mengatakan bahwa kehidupan pariwisata di Bali menghadirkan pelacuran dan minuman keras. Kalau dulu disertai kasino, tetapi sekarang katanya sudah dilarang.
Ketika bincang-bincang, sang sopir bahkan menawarkan dapat mencarikan perempuan model apapun kepada saya dengan tarip yang begini sekian dan yang begitu sekian. Ia seolah bekerja rangkap, sebagai sopir taksi dan perantara. Saya hanya tersenyum dan mengatakan kalau saya tidak pernah berminat dengan hal-hal seperti itu.
Maraknya pelacuran dan miniman keras memang bukan hanya di pariwisata Bali, hampir setiap tempat wisata terkenal juga kabarnya menyajikan itu. Kata orang, obyek wisata menjadi tidak menarik jika tidak dibumbui dengan kemaksiaan-kemaksiatan tersebut.
Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis artikel dan jadi HL mengenai budaya Bali dengan keteguhannya mempertahankan kawasan suci dan melarang bangunan melebihi pohon kelapa {sekarang katanya dikonversi menjadi tidak boleh lebih tinggi dari 11 meter). Pada satu sisi, pariwisata Bali adalah berkah bagi masyarakat, tetapi pada sisi lain pariwisata menghadirkan banyak dampak negatif.
Tapi entahlah dalam pandangan masyarakat Bali. Dalam pandangan saya sebagai Muslim, hal itu bukan ciri budaya bangsa, atau setidaknya kebiasaan yang tidak boleh dilekatkan sebagai identitas bangsa Indonesia di dunia pariwisata internasional.
Kemarin saya mendapat hotel di situ karena pesannya  di reservasi hotel di bandara, tetapi tidak tahu posisinya dimana. Malam ini saya pindah hotel agak jauh dari situ untuk mendapat suasana yang agak nyaman….
Kuta, 19 September 2012
(Taryadi SUm, http://wisata.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar