Selasa, 27 Mei 2014

Menggugat Pekan Kondom


  • Oleh Sapto Yunarto
 
 
 
“Salah satu parameternya adalah tingkat kedap pori material (lateks) terhadap daya tembus sel sperma.”

Hingga Maret 2014, 56 warga Kabupaten Batang meninggal akibat AIDS, adapun temuan kasus infeksi virus penyebab penyakit itu tercatat 291 dan temuan AIDS 83 kasus. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Batang Mudhofir mengatakan hal itu dalam rakor komisi tersebut (SM, 7/514)
Wakil Bupati Soetadi yang juga Ketua KPA menambahkan, penyebaran HIV dan insidensi penyakit itu di wilayah kerjanya bukan sekadar masalah medis melainkan berkelindan dengan kompleksitas permasalahan. Ia menyebut keberadaan sejumlah tempat prostitusi di jalur pantura sebagai pemicu penularan.
Temuan itu, yang menempatkan Batang pada peringkat ke-7 tingkat Jateng berdasarkan data Dinkes, seperti kembali mengingatkan masyarakat bahaya penyakit tersebut.
Terasa relevan bila kita menggugat Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1-7 Desember 2013, berkait peringatan Hari AIDS Sedunia.
Sebagian orang sudah lama mengenal kondom, minimal mendengar atau melihat di minimarket/apotek. Kondom memiliki fungsi pelindung. Namun sejak diperkenalkan, fungsi utamanya sebagai alat pencegah kehamilan (dalam konteks program KB), bukan melindungi dari ketertularan HIV, virus penyebab AIDS.
Penggembar-gemboran kondom untuk mencegah infeksi HIV hanyalah ìkhasiat ekstraî  atas dasar klaim logika dapat menurunkan risiko terinfeksi saat berhubungan seksual, termasuk risiko terinfeksi HIV. Mengingat fungsi utamanya sebagai alat kontrasepsi maka standar uji kualitasnya pun mendasarkan standar uji alat kontrasepsi.
Salah satu parameternya adalah tingkat kedap pori dari material (lateks) terhadap daya tembus sel sperma, dan bukan daya tembus virus. Ukuran sel sperma jauh lebih besar ratusan kali lipat dibanding ukuran virus. Bila sebagai alat kontrasepsi (apa pun faktornya) masih banyak risiko kegagalan, tentu punya risiko gagal ratusan kali lipat  bila dipakai mencegah infeksi HIV.
Kompor Gratis
Beberapa waktu lalu pemerintah merasa perlu membagi-bagikan secara gratis kompor gas dan tabungnya. Kala itu pemerintah tengah memperkenalkan konversi dari minyak tanah ke gas.
Benar, salah satu strategi promosi untuk membentuk perilaku adalah dengan menyediakan fasilitas (enabling factor). Namun penerapannya tidak tepat untuk kondom.
Penyebarluasan informasi tentang HIV/AIDS, termasuk manfaat kondom, hingga saat ini tetap perlu. Jika alasan melindungi dari infeksi HIV dianggap ”batal demi hukum”, setidak-tidaknya fungsi kondom masih punya satu dalil rasional, yaitu menyumbang penurunan risiko bayi lahir dengan HIV melalui fungsi kontrasepsinya.
Banyak model promosi lain yang efektif tapi bisa diterima, bukan dengan kampanye terbuka, apalagi membagi-bagikan kondom. Kita bisa belajar dari warung-warung kecil kuliner Nusantara.
Tidak sedikit di suatu daerah warung ayam goreng lokal yang beromzet melampaui warung ayam goreng waralaba nasional, bahkan internasional, tanpa perlu beriklan.
Ayam goreng lokal tersebut hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Keberhasilannya lebih disebabkan oleh kualitas, baik rasa maupun pelayanannya. Selanjutnya penyebarluasannya didukung oleh kekuatan ’’kesaksian langsung’’ dari para konsumen.
Promosi kondom bisa belajar dari ikhtiar pemilik warung ayam goreng lokal itu. Iklan bukan satu-satunya. Iklan yang bukan secara harfiah iklan, kadang lebih efektif.
Tak perlu menilik aturan, namun tetap mendasarkan prinsip kejujuran dan kelengkapan informasi. Tak perlu masuk kampus,karena tempat pelayanan dan konseling KB jauh lebih tepat. Tak perlu menggelar event, tak perlu beli bus, dan tak perlu bayar artis.
 Iklan dengan menyediakan pusat layanan informasi pasti direspons positif semua kalangan. Tinggal pilih web, hotline center, atau rubrik pada media cetak dan elektronik. (10)

— Sapto Yunarto SKM, pejabat fungsional Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. artikel ini diunduh dari www.suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar