Selasa, 27 Mei 2014

Di Gang Dolly, Tuhan Itu Bernama Ekonomi

Headline
Gang Dolly - (Foto: Riset)

 Di Gang Dolly, lokalisasi pelacuran yang terancam kehilangan eksistensi, masjid mengumandangkan azan setiap hari dan gereja rutin menggelar misa. Namun di sini, tuhan itu bernama ekonomi, bahkan tak jarang disebut 'sesuap nasi'.

Ekonomi sebagai tuhan dianut sekelompok 'elite' pelaku bisnis prostitusi, elemen masyarakat; mulai dari ketua RT, RW, kelurahan, kepolisian, sampai oknum militer, yang mencoba mencari dukungan politik lewat lembaga swadaya masyarakat.

Kepada LSM dan orang-orang partai berkuasa, mereka beretorika tentang eksistensi lokalisasi sebagai mesin ekonomi yang menghidupi masyarakat sekitar, serta dampak sosial-ekonomi jika penutupan dilakukan walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Di level bawah; tukang parkir, penjaja makanan dan tukang cuci, tuhan itu bernama sesuap nasi. Sejak muncul rencana penutupan lokalisasi, mereka tak henti meratap tentang masa depan tanpa penghasilan dan ketidakmampuan memberi sesuap nasi kepada anak cucu.
Gang Dolly memang bukan sekadar lokalisasi, tapi sebuah kawasan prostitusi mandiri dengan sistem kerja sendiri. Tahun 2010, menurut penelitian Like Meiliani Sutedja dari Universitas Surabaya, sistem itu dikendalikan dua mucikari besar.

Keduanya tidak sekadar menentukan nilai jasa pekerja seks komersial (PSK), tapi juga mengatur distribusi ekonomi ke elemen masyarakat, aparat sipil dan militer. Mereka pula yang memobilisasi mucikari dan masyarakat sekitar, dan melobi politisi partai berkuasa, ketika eksistensi mereka terancam.
Saat May Day, atau peringatan Hari Buruh se-Dunia, pekerja lokalisasi Gang Dolly berada di atara kerumunan ribuan buruh yang berdemo. Mereka membawa agenda-nya sendiri; menentang penutupan lokalisasi. Di lokalisasi, sebuah LSM bernama Community Oriented Policing (COP) -- bersama ketua RT dan RW -- tak henti menyuarakan penolakan.

Indikasi lain Gang Dolly sebagai kekuatan politik adalah kemampuan mereka mengorganisasi diri, memainkan isu, dan menggunakan media sebagai alat kampanye. Tidak heran jika Ani, salah satu mucikari, merasa memiliki 'kegagahan' untuk melakukan penolakan seraya 'menjual' masyarakat sekitar.

"Pelacuran Gang Dolly masih dibutuhkan warga sekitar," ujar Ani saat menggelar aksi penolakan, Senin (19/5). "Jika Pemkot Surabaya menutup Gang Dolly, Bu Risma harus menyejahterakan warga sekitar lokalisasi."
Penentangan dari politisi PDIP, terutama wakil walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana, juga membuat Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi (FKML) berani bersuara bahwa penutupan Gang Dolly hanya akan memicu lonjakan kemiskinan. Alih-alih mencerahkan warga dan membawa optimisme kepada mereka, Wisnu malah tenggelam dalam pesimisme pembela keberadaan Dolly.
Bu Risma bukan tidak memberikan solusi. Ia berniat memberikan kompensasi kepada mucikari dan PSK, berupa modal usaha, dan mengubah lokalisasi menjadi sentra ekonomi, tapi ditanggapi sinis masyarakat sekitar Gang Dolly.

Muncul pertanyaan, apakah kesalehan sosial Tri Rismaharini harus kalah oleh sekelompok masyarakat yang menuhankan ekonomi dan sesuap nasi dengan segala kekuatan politiknya?
Hanya Allah SWT yang tahu. [nasional.inilah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar