Oleh: Sumarsono
(son_tribunkaltim@yahoo.com)
(son_tribunkaltim@yahoo.com)
MASYARAKAT Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya Kota Samarinda dikejutkan dengan berita terungkapnya jaringan prostitusi yang melibatkan pelajar dan mahasiswa
di Kota Samarinda. Lebih surprise lagi, jaringan protitusi yang melibatkan lebih dari 30 an PSK, dan sebagian di bawah umur tersebut memiliki pelanggan beragam. Mulai kalangan pengusaha, oknum aparat, hingga anggota DPRD.
Menurut pengakuan salah seorang pekerja seks komersial (PSK), pelanggan oknum anggota DPRD dari Samarinda dan Tenggarong rela membayar Rp 5 juta-Rp 10 juta. Tak jarang, ia melayani nafsu pria hidung belang itu masih dengan seragam sekolah.
Belum lepas dari ingatan kita, berita terungkapnya bisnis prostitusi online arti-artis ibukota bertarif puluhan juta rupiah di Jakarta dan Surabaya. Pelanggannya pun tak jauh beda, ada oknum anggota DPRD dan kalangan berduit.
Sepertinya, prostitusi online dengan "korban" pelajar dan mahasiswa sudah lazim terjadi di mana-mana. Tidak hanya kota metropolis, bisnis haram ini sudah sampai ke daerah-daerah.
Mengapa ini terjadi? Faktor ekonomi selalu menjadi alasan para pelaku akhirnya terjun ke bisnis prostitusi. "Saya awalnya hanya ikut teman. Sebelumnya saya sudah tidak perawan lagi. Karena kebutuhan uang, mau tidak mau saya ambil tawaran itu (menjadi PSK)," ujar salah seorang PSK kepada Tribun, belum lama ini.
Bicara "pemakai" jasa bisnis prostitusi biasanya kalangan berduit. Kekuasaan (harta dan jabatan, red) dan cinta merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Jika berbicara tentang bagaimana peradaban kita terbentuk, dua elemen penting ini adalah penggerak utama yang mendorong perubahan.
Setidaknya, itulah yang disampaikan filsuf Prancis, Michel Foucault. Kekuasaan adalah seks, seks adalah kekuasaan. Foucault bahkan menguraikan secara jernih sejarah seksualitas peradaban Barat, bagaimana kronik kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pemahaman tentang seksualitas.
Secara sederhana, pengertian tentang seksualitas memang diinterpretasikan berbeda di berbagai budaya. Bahkan bagi Foucault seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik dari suatu negara berkaitan erat dengan seksualitas. Seksualitas berhubungan dengan populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang.
Sejumlah skandal melibatkan wanita dan pejabat terungkap ke publik. Korupsi dan perilaku tak senonoh politisi yang tersebar ke publik adalah dua hal memalukan dan berdampak fatal bagi politisi.
Contoh kasus yang dulu pernah menghebohkan terkait skandal esek-esek anggota DPR adalah video YZ dengan artis ME yang menghebohkan publik serta menghancurkan karir politikus Senayan tersebut. Pada April 2011, Ar, anggota DPR mundur "hanya" karena kepergok membuka situs porno saat Rapat Paripurna DPR. Ada lagi kasus MM , tahun 2008 yang diberhentikan sebagai anggota DPR karena dugaan pelecehan seksual terhadap anggota stafnya.
Tidak hanya di Indonesia, di AS pun Presiden Bill Clinton pada 1998 harus disidang oleh Kongres karena ketahuan punya skandal dengan staf Gedung Putih, Monica Lewinski. Sementara itu, PM Italia Silvio Berlusconi abis diserang publiknya sendiri karena melakukan hubungan seks dengan perempuan di bawah umur.
Ibarat "nila setitik rusak susu sebelanga", akibat ulah segelintir oknum pejabat atau anggota dewan bisa merusak citra lembaga terhormat. Anggota DPR/ DPRD perlu punya moralitas dan "rem" yang kuat, agar tidak mudah terjebak dan hancur oleh masalah seks. Uang dan Kekuasaan membuat anggota DPR bisa menikmati segala sesuatu secara berlebihan. Harta, Tahta, dan Wanita. Kepercayaan masyarakat bisa tambah hancur lebur, jika soal ini terekpose lagi di media.
Badan Kehormatan DPRD perlu melakukan investigasi. Apabila ada anggota dewan yang terbukti melanggar kode etik, maka bisa diproses oleh Dewan kehormatan.
Pelaku prostirusi, terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswi bisa jadi hanya korban. Mereka perlu dibina dan mendapat pendidikan moral secara intensif. Janganlah kita menghakimi mereka. Sementara, pemakai atau pelanggan perlu diberi tindakan, baik sanksi hukum maupun sanksi moral supaya jera. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar