Kamis, 03 September 2015

Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta

Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta Ilustrasi prostitusi. (Okssi68/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis pelacuran bukan barang baru di Jakarta. Sebelum Belanda datang dengan armada VOC-nya, pelacuran sudah ada. Bukan cuma di satu tempat di kawasan pesisir, lokasinya terus meluas di beberapa tempat di pusat kota. (Baca: Ahok: Pelacuran Mirip Sampah)

Jurnalis sekaligus sejarawan Alwi Shahab mengatakan, pelacuran di Jakarta pertama kali berpusat di sekitar kawasan Sunda Kelapa. “Banyaknya kapal yang datang ke pelabuhan itu membuat pelacuran muncul,” kata Alwi kepada CNN Indonesia, pekan lalu. (Baca: Cerita Soal Jakarta yang Menolak Tua)

Warga negara asing yang datang saat itu semuanya adalah pria yang tidak membawa serta istrinya. Pendatang yang berlabuh di Sunda Kelapa saat itu datang dari Eropa, China, Hadramaut, dan Yaman.

Pengelola bisnis pelacuran di Batavia saat itu kebanyakan pengusaha Tionghoa. Macau Po menurut Alwi adalah yang paling terkena. Letaknya dekat dengan Stasiun Kota tak jauh dari jembatan batu yang kini masih berdiri.

Perempuan dari Macau

Dinamai Macao Po karena para pelacur yang ada di sini didatangkan dari Macau. “Perempuan di sini untuk melayani orang-orang Eropa dan China,” kata pria 79 tahun ini.

Dari Macau Po, bisnis pelacuran meluas ke Gang Mangga, di sekitar kawasan Mangga Dua saat ini. Jika Macau Po adalah kawasan pelacuran kelas atas, maka Gang Mangga untuk kelas menengah ke bawah.

“Dulu banyak rumah bordil di sana (Mangga Dua) dan berkembang ke banyak tempat,” kata Alwi. 
Ilustrasi prostitusi. (bogdanripa/morgueFile)


Awal abad 20 adalah masa di mana bisnis pelacuran merebak di mana-mana. Ada Gang Hauber di Petojo dan Gang Kaligot di Sawah Besar. Gang Hauber menurut Alwi terdiri dari empat gang yang semuanya adalah komplek pelacuran kelas menengah ke bawah. Hauber sendiri diambil nama seorang Belanda yang pernah tinggal di gang tersebut.

Pada masa Wali Kota Sudiro memimpin Jakarta, nama Gang Hauber ini diubah menjadi Gang Sadar. Pengubahan nama ini dimaksudkan agar pelaku bisnis pelacuran di dalamnya menjadi sadar.

Selain di dua gang tersebut, pasca kemerdekaan, pelacuran juga banyak di bukan di tempat lain. Alwi menyebut Gang Kelor di Jatinegara, Gang Boker di Cinjantung, dan Gang Bakung di Pasar Senen.

Kawasan Pelacuran di Senen ini lebih dikenal dengan kawasan Planet Senen. Nama planet dipakai karena saat itu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang bersaing untuk mengirimkan pesawat ke ruang angkasa. Kawasan Senen ini menurut Alwi yang paling ramai dikunjungi pria hidung belang saat itu.

Tempat-tempat tersebut menurut Alwi hanya yang diingatnya saja. Masih banyak di tempat lain di Jakarta yang pernah jadi komplek pelacuran. “Kalau bicara pelacuran di Jakarta jumlahnya tidak terhitung, banyak sekali,” katanya.

Saat DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, situasi pelacuran relatif lebih teratur. Pasalnya, Bang Ali membukan lokalisasi Kramat Tunggak.

Para pelacur yang biasa berkeliaran di Jalan Gajah Mada, Senen, dan beberapa tempat lainnya dilokalisir di satu tempat. Bang Ali mengeluarkan kebijakan bahwa pelacuran harus diatur.

Namun hal tersebut bukan hanya bertujuan untuk menempatkan wanita malam di satu lokasi saja, tapi juga untuk mencari uang. Untuk mengisi kas daerah, Bang Ali saat itu juga melegalkan judi.

Sempat ditentang oleh beberapa kelompok, terutama organisasi masyarakat Islam, Bang Ali tetap mewujudkan rencananya.

Alwi menyebut Bang Ali sebagai sosok yang berani. Ia bahkan menantang ormas Islam saat itu untuk tidak menggunakan infrastruktur yang dibangunnya karena dibangun dari pajak judi dan pelacuran.

Belakang para tokoh Islam tak ada yang berani menentangnya lagi. Saat itu menurut Alwi demokrasi belum sebebas seperti sekarang ini. Para penetang Bang Ali hanya bisa berkhutbah dan menuding rencana pembukaan legalisasi pelacuran dan perjudian adalah hal yang dilarang agama.

Akhirnya, Kramat Tunggak berdiri sebagai kawasan pelacuran. Luasnya mencapai 109,2 meter persegi dan sempat disebut sebagai kompleks pelacuran terluas di Asia Tanggara.

Meski tempat khusus memadu syahwat sudah disediakan, namun masih ada saja pelacur yang menjajakan diri di tepi jalan. Misalnya komplek pelacuran Kali Jodo, Tambora, Jakarta Barat. (Baca: Ahok Gagas Pembuatan Apartemen Khusus Prostitusi)

Kini lokalisasi Kramat Tunggak sudah tak ada lagi sejak ditutup oleh Gubernur Sutiyoso pada tahun 1999. Lokasi Kramat Tunggak kini sudah diubah menjadi pusat kegiatan umat Islam Jakarta (Jakarta Islamic Center).

Namun Kali Jodo sampai saat ini masih bertahan meski beberapa kali rencana penggusuran dikemukakan. Warga sekitar bahkan mengaku siap melawan jika memang kawasan tersebut akan diratakan.
sumber: http://www.cnnindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar