Rabu, 22 Oktober 2014

Kisah Melati dari Pucuk

Kawasan Pucuk yang terdiri dari sembilan lorong dan barisan rumah terlihat kusam dan semberaut. Pada siang hari perkampungan tersebut seperti mati, namun malam hari kemeriahannya baru tampak, memancing laki-laki hidung belang untuk datang.
Melati (bukan nama sebenarnya), adalah seorang pekerja seks komersial (PSK) yang bekerja di lokalisasi tersebut.
"Saya dari Pasundan Cirebon, ke sini diajak teman," ucapnya memulai percakapan. Disadarinya banyak pekerjaan lain selain menjadi PSK akan tetapi tanpa keahlian khusus, sungguh sulit baginya memperoleh pekerjaan yang layak. Sementara dirinya harus menghidupi tiga dimana yang terbesar masih duduk di bangku SMP kelas dua.
Melati mengaku baru enam bulan bekerja di lokalisasi. Ketika diajak ke Kota Jambi, temannya mengatakan akan bekerja di restoran atau hotel. Dia adalah korban perekrutan calo PSK yang mencari mangsa ke dusun-dusun. Menurut Melati, selain perempuan lokal, para calo juga merekrut perempuani Tionghoa tapi mereka tidak menetap di kompleks atau lokalisasi enambelas-pucuk ini.
Dorongan menjadi PSK bermacam-macam. Selain alasan ekonomi, banyak juga karena kecewa dengan suaminya alias baru cerai atau gadis yang dikecewakan oleh pacar.
“Kebanyakan tamu kami dari orang-orang yang stres karena beban hidup,” jelas Melati.
Hidup di lembah lokalisasi sungguh sangat gelap. Tak jarang Melati menghadapi tamu yang kasar dan suka memaki, sampai yang enggan memberi imbalan. Diantara yang datang tersebut, ada juga yang hanya untuk karokean dan minum alkohol.
Tidak setiap hari, lakalisasi ramai pengunjung. Ada juga masa sepi. Kalau sedang ramai tamu. Melati melayani empat sampai lima orang dengan imbalan Rp. 150.000 – Rp.200.000 ditambah tip di luar sewa kamar.
Perempuan kelahiran tahun 1984 ini mengaku tak mau lama-lama di sini. Ia ingin menikah kembali dan mengahiri karirnya sebagai PSK. Dan sebagai manusia terkadang ia ingat akan dosanya dan menangis.
“Saya masih  dan sering mengerjakan ibadah, diterima atau tidak itu kan urusan dengan Tuhan,” ucap Melati lirih.
Sampai sekarang keluarganya di tanah Pasundan tidak tahu pekerjaannya.  Mereka hanya tahu, sebagai seorang ibu, dirinya cukup bertanggung jawab dengan mengirim uang bulanan kepada anak-anaknya.
Pantuan infojambi, tidak semuanya warga di komplek bekerja sebagai PSK atau germo. Di sekitarnya  terdapat masyarakat biasa dan anak kecil usia sekolah. Sangat ironis, beberapa anak kecil dengan naifnya menawarkan kepada tamu layanan yang ada dengan bahasa orang dewasa. Beberapa anak parempuan dan laki-laki terlihat masih mengenakan pakaian seragam sekolah. (infojambi.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar