Senin, 21 Juli 2014

Pelacur

Sosiolog Universitas Brawijaya dan pegiat sosial.untuk Perubahan Progresif.
Sumber : sennysalim.wordpress.com
Perempuan itu sebutlah Mawar namanya, penghuni salah-satu wisma di sebuah lokalisasi. Paras wajahnya ayu, tubuhnya semampai. Tetapi, orang-orang di sekitar dirinya tahu kalau Mawar adalah seorang pelacur. Teman-temannya waktu sekolah ramai bergunjing tentang dirinya, berbincang tentang betapa murahannya Mawar, menjual tubuhnya untuk dipeluk beberapa laki-laki setiap malam secara bergantian. Sebagian besar dari teman-temannya itu melihat dengan cara sinis, bahkan menjauh dari Mawar.
Mawar, pelacur itu selalu diposisikan sebagai lakon antagonis dalam teater kehidupan. “Pelacur”, “balon”, atau “lonte” adalah frase yang berkonotasi negatif. Masyarakat selalu memposisikan sang lakon sebagai pesakitan, sebagai tertuduh atas segala kebobrokan moral. Mawar, pelacur itu adalah musuh masyarakat yang tindak-tanduknya selalu dinilai negatif.
Umumnya dari kita gagal melihat Mawar sebagai manusia.  Secara serampangan kita selalu mengaitkan profesi seseorang sebagai pelacur dengan sendirinya ia kehilangan sifat-sifat kemanusiawiannya. Artinya, seorang pelacur tak layak dimanusiawikan. Di sinilah letak kesalahan kita. Kebencian pada praktik pelacuran dan jual-beli jasa seksual kita respon dengan cara membenci orangnya, bukan membenci praktik yang dijalankannya.
Mencaci-maki pelacur, merazia mereka, atau menggerebek tempat-tempat pelacuran sama-sekali tidak akan berhasil menghentikan praktik pelacuran. Alih-alih hilang, praktik pelacuran malah akan bermetamorfosis dengan cara-cara yang lebih canggih dan terus berbiak. Tibdakan represif terhadap pelacur hanyakan mengalienasi sang pelacur dari kehidupan sosial tetapi sama-sekali tidak menghilangkan praktik pelacuran itu sendiri.
Lepas dari itu, penilaian negatif terhadap seorang pelacur tidak saja menjadikannya pribadi yang manusiawi tetapi juga membuat diri kita manusia yang tida manusiawi. Mudah melihat keburukan yang ada dalam diri seorang pelacur tetapi gagal melihat keburukan diri-sendiri. Terdapat dialog cerdas antara seorang pelacur dengan seorang kyai yang merefleksikan betapa mudahnya memposisikan pelacur dengan tuduhan-tuduhan negatif. Umar Khayyam, seorang pujangga besar muslim abad 10 M, menarasikan dialog itu sebagai berikut :
“Seorang Syaikh berkata pada seorang Pelacur : “Engkau mabuk dan tiap malam berada dalam dekapan laki-laki yang berbeda..!”. Dia, Sang Pelacur itu menjawab : “O.. Syaikh, saya memang seperti yang engkau katakana, namun apakah engkau sungguh-sungguh seperti yang terlihat..?”
Dialog di atas menandaskan bahwa , dengan segala kebejatannya, seorang pelacur ternyata lebih jujur daripada seorang syaikh, seorang ulama yang ahli agama. Sering kita melihat dan mendengar tentang seorang ulama atau ahli agama, yang di balik jubah keulamaannya itu, justru melanggar norma dan nilai etik keagamaan.
Seorang tokoh agama yang mencabuli perempuan, mengeruk uang, dan korupsi secara sayup-sayup maupun terang-benderang sering kita dengar. Di balik petuah-petuahnya tentang nilai-nilai kebaikan, tak jarang seorang yang dipanggil “ustadz” justru membunuh kata-kata kebaikan yang keluar dari mulutnya sendiri. Bung Karno pernah menyebut bahwa seorang Kyai, Ustadz, atau Syaikh yang gemar menutupi kebejatannya dengan jubah suci keulamaan sebagai “Islam sontoloyo”.
Lantas, dalam konteks ini, apa yang menjadi beda antara Pelacur dengan Kyai bermental “Islam sontoloyo”  ? tak ada bedanya, seorang Kyai dan Pelacur sama-sama bejatnya. Bedanya, Kyai menutupi kebejatannya dengan jubah suci keulamaan, sebaliknya seorang pelacur melakukan kebejatan secara terbuka. Dalam hal ini, Kyai sontoloyo itu adalah tipikal dari manusia hipokrit, sebaliknya seorang pelacur menjadi lakon dari kejujuran.
Sedihnya, dalam teater kehidupan, kita lebih sering disuguhi lakon-lakon manusia bermental hipokrit seperti kyai sontoloyo itu. Manusia-manusia yang senyumnya ramah, pakaiannya bagus, dan tutur-katanya indah; tetapi faktanya dia adalah manusia busuk. Dan, jangan-jangan, kita sendiri suka mempraktikkan watak hipokrit itu. Kita sendiri-lah yang suka menuduh orang lain bejat padahal kebejatan orang lain itu tak sebanding dengan yang kita lakukan. Oleh karena itu, don’t judge the book by its cover, tak selamanya seorang pelacur lebih bejat dari seorang Syaikh, demikian pesan dari Umar Khayyam. Bukankah, dalam kitab Riyadhussalihin ada seorang pelacur yang masuk sorga.. ?? 
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1210/Pelacur#sthash.ShTqFyrO.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar