Sejumlah Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari, dan warga saat pementasan teater berjudul "Dolly Riwayatmu Kini" di Wisma Studio, di kawasan lokalisasi Dolly, Surabaya, 14 Juni 2014. Pementasan teater ini sebagai bentuk aksi penolakan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak. TEMPO/Fully Syafii
Johan, seorang mucikari salah satu wisma di Dolly, berharap rencana penutupan lokalisasi dibatalkan. Johan mengaku wisma itu warisan kakaknya yang merintis usaha prostitusi sejak 30 tahun silam.
"Saya harus kerja apa lagi?" tuturnya kepada Tempo pekan lalu.
"Saya harus kerja apa lagi?" tuturnya kepada Tempo pekan lalu.
Kegusaran Johan juga dirasakan 311 mucikari dan 1.449 pekerja seks di prostitusi Dolly-Jarak. Mereka sepakat menolak penutupan dengan dalih Pemerintah Kota Surabaya belum pernah mendatangi langsung para mucikari untuk menawarkan jaminan masa depan setelah Dolly-Jarak ditutup. “Mereka bingung menghadapi masa depan,” kata pria keturunan Cina itu.
Sekarang Johan memiliki sepuluh pekerja seks. Jumlah itu jauh menurun dibanding tahun 1998 sebanyak 21 pekerja seks. Penurunan ini, kata dia, dipicu beberapa sebab, seperti insyaf, diperistri orang dan pemberlakuan aturan wisma dilarang menambah PSK baru sejak tahun 2011.
Johan mewarisi usaha prostitusi ini sejak sepuluh tahun lalu. Sebelumnya, kakaknya merintis bisnis seks di Dolly pada 1980-an dengan menyewa wisma senilai Rp 100 ribu per bulan selama enam bulan. Melihat prospek cerah bisnis syahwat, kakaknya nekat membeli rumah senilai Rp 30 juta di kawasan itu untuk dijadikan rumah bordil. (www.tempo.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar