Pemkot Surabaya dinilai terlalu mengganggap enteng upaya menutup Lokalisasi Dolly. Padahal,
kata Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto,
penutupan Dolly justru akan menimbulkan kontroversi, karena ada
persoalan yang tidak selesai di lokalisasi tersebut.
Pemkot
menganggap bahwa ketika PSK dan Mucikari diberi saku maka masalah sudah
selesai. Padahal, masalah itu timbul ketika masyarakat yang selama ini
menggantungkan hidup dari geliat lokalisasi Dolly menjadi timpang.
Bahkan, tidak akan mendapat penghasilan lagi.
"Malahan nanti
yang dikhawatirkan ketika Dolly tutup, wisma-wisama di sana tetap
berpraktik seperti biasanya. Ini yang berbahaya karena sulit dikontrol
oleh pemerintah," kata Bagong ketika dimintai pendapat maraknya
penolakkan penutupan lokalisasi Dolly.
Ia menjelaskan, Lokalisasi
tersebut merupakan peninggalan dari seorang Noni Belanda, Dolly Van Der
Mart. Faktanya, keberadaan lokalisasi itu telah menghidupi banyak
orang. Ia yakin, ketika PSK Dolly ini dipulangkan belum tentu mau
kembali ke rumahnya. Bisa jadi mereka tidak bekerja di Dolly tapi malah
berpindah ke lokalisasi lain.
"Saya tidak setuju dengan
penutupan, itu akan menimbulkan masalah baru. Menutup itu mudah, tapi
pascapenutupan itu bagaimana langkah pemkot,” ujarnya.
Ia juga
meminta kepada Pemkot Surabaya untuk mengerdpankan pendekatan secara
personal. Pasalnya, PSK memiliki masalah yang berbeda-beda sehingga
harus ada penanganan yang berbeda-beda pula. Bukan lantas beranggapan
diberi uang saku selesai.
Misalnya, Pemkot menggandeng lembaga
atau konselor untuk mendampingi PSK. “Yang harus diselamatkan pertama
itu harus PSK-PSK yang dibawah umur. Sebab, ini tentu pelanggaran
pidana. Baru kemudian bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan keamanan
PSK. Misalnya, bagaimana PSK ini tidak semakin sengsara atau
dipermainkan oleh mucikari,” pungkas Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (Fisip) Unair ini. (surabaya.okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar