Lokalisasi Kedung Banteng, pusat pelacuran di Ponorogo
Bagi daerah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur, yang masih memiliki
lokalisasi pelacuran, hingga akhir tahun 2014 ini tidak (berhasil)
juga menutup, dapat terancam tidak mendapatkan bantuan dana dari
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, untuk pesangon dan bantuan modal bagi
penghuni lokalisasi.
Sumani, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) Kabupaten Ponorogo mengungkap, perhitungan anggaran
yang hendak dibantukan Pemprov Jawa Timur; adalah sebesar Rp5 juta per
orang bekas Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Mucikari. Sudah ada
instruksi, bantuan tersebut tidak akan dikucurkan, jika daerah
Kabupaten dan Kota di Jatim yang masih memiliki lokalisasi pelacuran,
tidak berhasil menutup hingga akhir tahun 2014 ini.
“Jadi, jika ---seperti Kabupaten Ponorogo ini, yang masih memiliki
lokalisasi pelacuran--- menutupnya dalam tahun 2015, segala keperluan
dana yang dibutuhkan tentu tinggal bergantung pada kesediaan dana pada
anggaran daerah,” tambah Sumani.
Wilayah Kabupaten Ponorogo, memiliki lokalisasi pelacuran---bahkan
merupakan yang terbesar di enam daerah di wilayah Eks Karesidenan
Madiun (Kota dan Kabupaten Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo dan
Pacitan). Menurut informasi, lokalisasi tersebut hingga akhir dasawarsa
1970-an berada di sisi timur yang tidak terlalu jauh dari kota. Awal
dasawarsa 1980-an, dipindah ke sisi barat, di tepian hutan dekat
perbatasan dengan Kabupaten Magetan. Di sekitar bekas lokalisasi di
timur kota, kemudian menjadi area permukiman yang berkembang pesat
menjauhi aliran Sungai Madiun di barat kota. Bahkan, Universitas
Muhammadiyah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) juga berdiri
di kawasan ini.
Sedang lokalisasi yang dipindahkan di barat kota, di wilayah Desa
Kedungbanteng, Kecamatan Sukorejo, awalnya hanya sekitar sepuluh rumah
(mucikari), berkembang menjadi lebih 30 rumah mucikari dengan Pekerja
Seks Komersial (PSK) kini sudah mendekati jumlah 200 orang.
Menurut Sumani, persiapan untuk menutup lokalisasi Kedungbanteng, sudah
dilakukan sejak setahun lalu. “Kajian, telaah dan saran staf sudah
diajukan ke Pemerintah Kabupaten. Telah pula disampaikan kajian ilmiah
dan hasil studi banding ke daerah lain. Untuk penutupan, agaknya,
tinggal menunggu adanya dasar hukum. Sebab, aparat bisa melaksanakan
penutupan jika sudah terbit Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan
Bupati (Perbub) yang mengatur. Demikian juga dengan pengalokasian
dana-nya, jika belum ada Perda atau Perbub yang mengatur, juga belum
dapat dialokasikan dana untuk mendukung upaya pengentasan eks PSK dan
Mucikari, yang bersumber dari APBD,” paparnya.
Majelis Taklim
Bagian lain Sumani mengungkap, telah beberapa kali pula dilakukan
pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat, MUI, Ormas Keagamaan dan
perwakilan Mahasiswa. Keputusan dari pertemuan itu, tidak berubah dari
setahun lalu; memeberi rekomendasi yang menyatakan sepakat untuk menutup
lokalisasi pelacuran.
Pada perkembangan berikutnya, dari pertemuan-pertemuan ini terbit pula
rekomendasi untuk memanfaatkan area bekas lokalisasi sebagai pusat
pengembangan Majelis Taklim.
Pertimbangannya, karena di sekitar lokalisasi sebenarnya telah
berkembang sejumlah Pondok Pesantren, dan sejumlah masjid. Di samping
itu, sebagian dari area bekas tanah ganjaran bagi perangkat desa
(bengkok atau pengganti gaji perangkat desa) yang digunakan untuk
lokalisasi ini, kemungkinan juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
sentra industri kecil, yang memungkinan dapat menyerap para bekas
penghuni ini sebagai tenaga kerja.
Setelah penutupan, menjadi masih memungkinkan para bekas penghuni tetap
tinggal di lokasi. Hanya saja, sama sekali sudah tidak diperkenankan
melakukan kegiatan kemaksiatan---pelacuran. Menurut Sumani, dari
keseluruhan jumlah PSK yang terdata; ternyata hanya 21 orang saja yang
merupakan penduduk asli Kabupaten Ponorogo. Sebagian besar lainnya,
berasal dari luar Ponorogo; terutama paling banyak dari Kabupaten
Wonogiri- Jawa Tengah, Kemudian dari Kabupaten Blitar, Tulungangung dan
Trenggalek. Demikian pula halnya dengan mucikari, juga bukan semuanya
berasal dari Kabupaten Ponorogo.
Ketika dilakukan penutupan kelak, tidak terdapat alokasi anggaran untuk
penghuni lokalisasi yang berasal dari luar daerah Kabupaten Ponorogo.
“Mereka akan diserahkan kepada daerah asal masing-masing. Hal demikian
sebagaiamana mekanisme yang telah berjalan selama ini, pada penutupan
lokalisasi di suatu daerah. Kami mengikuti, seperti penutupan lokalisasi
di Kabupaten Tulungagung sebelum ini, Pemerintah Daerah setempat
bersurat kepada kami, menyerahkan penanganan PSK asal daerah ini,”
ungkap Sumani.
Sedang 21 orang PSK asal Ponorogo, sudah berjalan setahun mengikuti
pelatihan ketrampilan. Di samping juga telah disediakan tenaga calon
pendamping dan pembimbing dari mantan PSK itu, jika kelak kembali ke
kampung halamannya. Bahkan, selama setahun ini, dalam setiap pelatihan
ketrampilan, juga diikuti tenaga psikholog yang secara persuasif
berupaya mengubah perilaku para PSK. (www.suara-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar