Senin, 03 Oktober 2016

Separo Anak Jalanan Menjadi Pelacur


 
Ilustrasi
 Semenjak krisis ekonomi, fenomena yang muncul adalah meningkatnya prostitusi. Pekerja prostitusi tidak hanya wanita dewasa, tetapi juga anak-anak dibawah usia 18 tahun. Berbagai istilah muncul untuk menyebut mereka seperti ciblek (cilik-cilik betah melek atau cilik-cilik isa digemblek) dan sebagainya.
Pendiri Yayasan Setara Semarang, Odi Shalahuddin, mengatakan maraknya prostitusi anak merupakan fenomena yang terjadi di berbagai daerah. Keberadaan mereka, tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi sudah meluas ke kota-kota kecil bahkan sampai ke pedesaan.
”Di Jawa Tengah misalnya, pelacuran anak mudah dijumpai di Semarang, Solo, Boyolali, Salatiga, Pekalongan, Klaten, Purworejo, Magelang, Purwokerto dan sebagainya,” jelasnya saat Seminar Kekerasan, Eksploitasi Seksual terhadap Anak oleh Kelompok Studi Pinggiran (KSP) Biyung Emban Purwokerto di Baturraden.

Ada berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang berada dalam prostitusi. Seperti ciblek, cilikan, lembutan, durian, pekcun, bul-bul, rendan (kere dandan) dan balak kosong. Di Kota Semarang dan setiap kota lain, perkiraan jumlah anak jalanan yang menjadi pelacur belum diketahui pasti.
8 remaja putri yang masih duduk di bangku SMP, yang menjadi korban sekaligus pelaku bisnis prostitusi terselubung di Tanjungpinang.
Hampir Separo
Pada kelompok yang lebih spesifik, yakni anak jalanan perempuan, Yayasan Setara (1999) mengungkapkan bahwa hampir separo (46,4 %) adalah pelacur anak-anak. Bila jumlah anak jalanan perempuan di Semarang diperkirakan ada 200 anak, maka setidaknya ada 100 anak perempuan adalah pelacur.
Hitungan itu bertambah besar jika ditambahkan pada anak-anak perempuan yang melakukan kegiatannya di mal, diskotek, rumah bordil dan lokalisasi liar. Sedangkan mengenai perkiraan jumlah pelacuran anak di Indonesia ada sekitar 40 s/d 150 ribu anak perempuan. ”Jumlah ini sama dengan 30 % seluruh pekerja seks di Indonesia,” katanya.
Faktor penyebab pelacuran anak sangat kompleks tetapi dapat digolongkan menjadi empat yaitu terjerat sindikat germo, karena tidak perawan lagi, ingin mendapatkan uang yang lebih besar dan kecanduan pil.
Untuk faktor pendorong meliputi, kondisi ekonomi khususnya pedesaan yang terjadi penggerusan di sektor pertanian, urbanisasi dan tumbuhnya industri di perkotaan, disintegrasi keluarga, pertumbuhan jumlah anak gelandangan, tidak ada kesempatan pendidikan dan meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk keperdagangan seks.
Sedangkan faktor penarik, meliputi jaringan kriminal yang mengorganisasi industri seks dan merekrut anak-anak, pihak berwenang yang korup sehingga terlibat perdagangan seks anak, permintaan dari wisatawan seks dan fedofil, ketakutan terhadap AIDS sehingga membuat pelanggan menginginkan pelacur yang lebih muda dan permintaan pekerja migran.
Aksi anti perdagangan anak yang dilakukan oleh SAMIN di Malioboro, 5 Januari 2007
Merebaknya prostitusi jalanan yang melibatkan anak-anak di bawah umur selain disebabkan krisis ekonomi, juga diperparah oleh penghapusan lokalisasi pelacuran. Tempat yang biasanya digunakan untuk mangkal atau transaksi adalah warung pinggir jalan dan warung-warung tenda khusus yang berada di dekat keramaian seperti alun-alun, terminal dan sebagainya.
Dengan merebaknya pelacuran anak, perlu segera dicarikan pemecahannya. Apalagi Indonesia sudah merafitikasi Konvensi ILO No 182 melalui UU No 1/2000 yang menyatakan bahwa prostitusi merupakan salah satu pekerjaan terburuk bagi anak yang perlu dihapuskan. (Ali Samhadi-47)

Data Pelacur Anak-Anak

JUMLAH pelacur dewasa
120.000 sampai 450.000 orang
JUMLAH pelacur anak-anak
40.000 sampai 150.000 anak
Jumlah anak jalanan
80.000 sampai 300.000 orang
Sumber: Suara Merdeka, 4 Juli 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar