Minggu, 22 Februari 2015

Prihatin, Hukum Adat Berlaku Hanya untuk Pelaku "Kumpul Kebo"

Hasil gambar untuk kampung kumpul kebo
Direktur Yayasan Akar Bengkulu, Erwin Basyrin mengaku prihatin jika pemberlakuan hukum adat di daerah itu hanya konsisten dilakukan bagi warga yang melakukan "kumpul kebo" atau hubungan suami-istri di luar menikah saja.

"Hukum adat sesungguhnya memiliki kekuatan dan cita-cita yang mulia bagi kesejahteraan dan keadilan rakyat, namun pemberlakuannya hanya sebatas pelaku tindakan asusila lalu cuci kampung dengan menyembelih kambing," kata Erwin, Jumat (17/10/2014).

“Hukum adat tak hanya soal 'cuci kampung' lalu memotong kambing dan makan sekampung, itu bagian terkecil. Namun ada satu kepentingan besar lainnya bila hukum adat yang diakui negara itu diimplementasikan dalam seluruh aspek bernegara,” kata Erwin.

Menurut dua, kekuatan hukum adat semakin membaik saat ini dengan munculnya beberapa aturan yang memperkuatnya. Misalnya, seperti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyebutkan masyarakat dapat memilih dua bentuk pemerintahan desa. Pertama, desa administratif, seperti desa kebanyakan, dan kedua, desa adat yang pemberlakuannya mengikuti adat setempat. Hal itu menyangkut segala hal termasuk soal hukum dan tata kelola sumber daya alam.

Banyak kasus, misalnya seorang nenek divonis penjara hanya karena mencuri tiga buah cokelat, atau belasan petani masuk penjara hanya karena memperjuangkan tanah adat. Jika hukum adat ditegakkan, maka hal sepele seperti kasus tersebut dapat diminimalisasi.

Dia juga menekankan, para kepala daerah untuk dapat mengkaji, memahami serta mengimplementasikan hak-hak konstitusi masyarakat adat, karena hal tersebut merupakan amanat dari perundang-undangan.

Terdapat empat syarat yang menyebutkan bahwa hukum adat dapat ditegakkan seperti yang disebutkan dalam UU 41 tentang Kehutanan. Pertama ada wilayah adat, kedua hukum adat, ada lembaga adat, dan kedua sistem leluhur adatnya masih dikenali. (http://regional.kompas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar