Jumat, 17 Oktober 2014

Soal Perbup Poligami, Aktivis Perempuan Akan Gelar Demo

Digelar di depan kantor Bupati Lombok Timur pekan depan.

Puluhan aktivis perempuan yang tergabung dalam Forum Peduli Perempuan NTB (FPPN), mengecam keras Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 tahun 2014 tentang Retribusi yang menyertakan denda poligami menjadi bagian dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Mereka menilai, Perbup tersebut sangat tidak etis, peraturan itu merupakan tindakan pelecehan terhadap perempuan.

"Begitu murahnya harga diri perempuan, ketika suami pegawai negeri akan berpoligami. Artinya, kok perempuan ini dianggap seperti barang karena dia masuk dalam peraturan tentang retribusi," ujar Ketua FPPN, Endang Susilowati, saat menggelar pertemuannya dengan seluruh aktivitas perempuan di Mataram. Jumat 17 Oktober 2014.

Endang mengatakan Perbup tersebut, dalam kaitannya PNS berpoligami, telah menyalahi aturan dan sangat bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan. Khusus untuk izin perkawinan dan perceraian atau poligami, telah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 (PP45) tahun 1990.

Namun, entah apa yang menjadi alasan mereka. Dikatakan Endang, Perbup tersebut tidak didasarkan dengan hukum di atasnya. Justru bertentangan dengan Undang-undang Poligami dan seakan langsung dimasukkan dalam retribusi tanpa memikirkan keresahan perempuan.

"Inikan kaitannya dengan perasaan perempuan yang di poligami. Mudah saja dimasukkan dalam peraturan retribusi. Kita berpikirnya, perempuan dihargakan Rp1 juta. Itu sangat melecehkan kami" kata dia.

Berbeda dengan pendapat dari kebanyakan pihak, para aktivis perempuan NTB ini menelaah PP45 tentang PNS bisa berpoligami, setelah melengkapi persyaratan alternatif dan kumulatif. Itu tidak disebutkan dalam peraturan yang dibuat Bupati Lombok Timur Ali Bin Dahlan itu.

Aturan poligami itu dalam Perbup, dicontohkannya seperti retribusi hasil bumi, pendapatan rumah sakit dan lain sebagainya yang pantas disertakan dalam Perbup tentang Retribusi tersebut. Namun ironisnya, saat ini poligami pun menjadi item di antara retribusi lain-lainnya, dengan maksud serupa menambah debet kas daerah.

Selaku Ketua dari Forum aktivis perempuan ini, Endang mengecam peraturan tersebut harus dicabut dan dibatalkan. Secara yuridis formal, hal itu dinilainya sudah batal.

"Ini kesepakatan bersama, kami atas nama aktivis perempuan meminta ini agar dicabut, karena jelas merupakan penghinaan teradap kaum perempuan" tegasnya.

Dia juga menampik tanggapan Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengecap Perbup tentang poligami itu untuk memperberat. Menurutnya, justru sebaliknya, Pemda mempermudah. Faktanya, penetapan angka Rp1 juta itu yang akan memudahkan orang untuk membayar. Penafsirannya, izin peraturan tersebut tertera diawal persyaratan, dan akan sangat menggiurkan jika persyaratan awal itu dapat diselesaikan.

"Seperti penjelasan Bupati Lombok Timur itu, pembayarannya ada di penghujung setelah izin dilengkapi. Jadi, terkesan ada upah yang diterima untuk memberikan izin poligami," tuturnya.

Upaya penindakannya, persatuan aktivis perempuan ini akan melakukan kajian hukum dan kajian sosial. Hingga selama ini dianggap sangat meresahkan masyarakat khususnya para istri PNS yang ada di Lombok Timur. Menyusul aksi masa akan digelar dihadapan kantor Bupati Lombok Timur pekan depan.

Forum musyawarah yang digelar puluhan aktivis perempuan tersebut. Hadir di antaranya beberapa istri dari PNS di Kabupaten Lombok Timur. Mereka mengaku sangat dibayangi dengan peraturan poligami dikalangan PNS daerah tersebut.

Seperti penuturan seorang istri PNS di Lombok Timur, Ririn. Ia mengatakan, peraturan itu membuka ruang bagi para PNS untuk dimudahkan jalannya melakukan poligami.

"Saya pribadi kembali kehubungan personal pasutri itu sendiri, tetapi di sini saya melihat terkait peraturan itu kami para perempuan sebagai istri tidak menginginkan istri menjadi korban pemenuhan pendapatan daerah" katanya.

Disebutkan Ririn, memang sejatinya tidak ada perempuan yang ingin dipoligami, namun ketika keinginan itu telah ada, intimidasi akan membayanginya. Hingga kekhawatiran itu akan dan terus berujung pada menghalalkan segala cara nantinya.

"Ketika pemerintah dalam hal ini sebagai pelindung, seakan membuka ruang pada izin awal maka itu akan memudahkan proses selanjutnya" ujarnya. (http://nasional.news.viva.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar