Rabu, 13 Agustus 2014

Wanita Pemberantas Pelacuran

Seorang diri membubarkan kawanan PSK yang dijaga preman terdengar nekat sekali… Saya memang nekat. Saya merasa harus begitu. Apalagi, saya pengurus Departemen Hukum Dewan Kehormatan Masjid Seluruh Indonesia. Saya amat sangat tersinggung. Saya kesal Ramadhan dikotori, masjid dikotori dengan keberadaan PSK. Preman pun akan saya hadapi demi mengikis kemaksiatan. Saya bukan cari-cari perkara. Masalahnya sudah ada sejak 27 tahun silam tetapi dibiarkan lestari. Sawah Lama adalah kawasan pelacuran terbesar di Tangerang. Ini tempat orang membuang bayi hasil hubungan gelap. Juga lokasi perdagangan bayi. Kisaran harganya Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta. Saya pikir mungkin ada yang sengaja membuat Sawah Lama terus rawan. Entah siapa yang memetik keuntungan di balik bisnis miras, narkoba, dan pelacuran. Anda betul-betul berani berhadapan dengan preman? Ya, kenapa tidak? Mereka yang membela kemaksiatan saja berani mati. Apalagi, saya yang menentang kemaksiatan. Kalau sampai mati, kematian saya berarti syahid. Jadi, saya tidak akan mundur selangkah pun. Sudah berulang kali para preman mengintimidasi, mengancam akan membunuh saya. Itu sering mereka sebarkan saat ibu-ibu berangkat mengikuti majelis taklim. Bagaimana cara Anda mematahkan serangan lisan para preman? Saya marah-marah sambil nangis. Perempuan kan biasanya begitu, habis menangis bisa jadi lebih kuat. Tangisan saya bukan berarti takut. Ini tanda saya emosi. Saya bicara langsung ke permasalahan saja. Mereka menganggap saya cuma pendatang yang mengusik pribumi. Saya bilang, ‘’Kalau pribumi kenapa lempar kotoran di kampung sendiri dan saya jadi repot membersihkannya? Orang geblek saja yang begitu!’’ Bagaimana reaksi orang di sekitar Anda terhadap perjuangan Anda memberantas kemaksiatan di Sawah Lama? Saya sering merasa sendirian. Banyak orang yang bilang saya konyol, naif, dan membicarakan hal yang klise. Banyak yang apriori dan melihat saya sebagai ancaman. Saya hanya perempuan yang ingin daerah ini menjadi daerah yang lebih baik. Hanya, untuk bergerak saya tidak mendapat bantuan dari siapa pun. Tidak dari tokoh masyarakat, aparat pemerintahan, apalagi penegak hukum. Dari situ, saya belajar untuk tidak bergantung pada siapa pun kecuali Allah SWT. Peristiwa apa yang paling Anda kenang sepanjang perjuangan menumpas kemaksiatan di Sawah Lama? Saya pernah merasa hancur, terhina, dan tersisih akibat difitnah. Itu terjadi setelah saya menanggapi curhat ketua RT yang merasa terganggu dengan aktivitas PSK di sebuah rumah kontrakan. Germo dan preman menyebar kabar saya telah memborgol, menelanjangi, dan mengguyur 20 PSK di Pendopo Griya Pinaringan Gusti. Padahal, warga banyak yang menyaksikan PSK tersebut meninggalkan lokasi pelacuran atas kemauan sendiri. Saya hanya menawarkan pilihan, mau pulang kampung atau tetap melacur. Usai mereka mandi junub, saya pinjamkan mukena untuk shalat tobat. Mereka saya beri ongkos transpor lantas diantar ke terminal dengan mobil operasional Al-Furqonul Hakim. Saya tak pantau lagi setelah itu. Sementara itu berlangsung, seluruh penjuru rumah saya berada dalam kepungan preman. Mereka berencana menghadang mobil operasional yang mengantar pulang para PSK tadi. Anehnya, mobil yang mereka incar justru dibiarkan berlalu. Sopir yang ditugasi mengantar sampai keheranan mendapati preman tak mengusik mobil yang melaju pelan di hadapan mereka. Para preman yang bersiaga kok malah tak bisa melihat sasarannya. Subhanallah. Begitu suasana makin genting, Allah SWT memberi pertolongan lewat kehadiran temanteman Front Pembela Islam. Saya menghindari bentrok fisik. Tetangga tidak sesiap saya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Berhasilkah upaya Anda? Ada juga yang kemudian beralih profesi. Beberapa di antaranya karena lebih pandai melakukan tugas penjagaan kami rekrut sebagai pegawai, menjaga tanah kami. Salah seorang dari mereka ada yang pintar membuat keramik. Saya tengah mengumpulkan dana untuk membeli mesin untuk mendirikan pabrik keramik. Saya ingin nantinya Sawah Lama menjadi sentra keramik. Tetapi, preman yang menolak ajakan saya dan kemudian melawan jauh lebih banyak. Mereka pernah menyambit rumah dan mobil kami. Preman bahkan tega menganiaya penjaga rumah kami. Bagaimana dengan para pelacurnya? Rupanya, lebih banyak yang melakukan pelacuran atas kemauan sendiri. Meski sudah saya tawari gaji Rp 200 ribu sehari, uang yang melampaui penghasilan rataratanya, dia tetap menolak berhenti melacur. Suami tak khawatir dengan kenekatan Anda? Tentu khawatir. Seperti ketika mengejar PSK yang mangkal di Masjid Tegal Rotan, jauh di belakang, saya lihat suami saya, Suharto Pujo Nugroho, terengah mengejar saya. Beliau pantas khawatir. Terlebih, itu malam hari, saya sendirian masuk ke kebun pisang, dan ada preman pengawal PSK yang garang balik memaki saya. Tak mudah memang punya istri yang emosional, keras, banyak polah, dan banyak hasrat seperti saya. Tetapi, kami tim yang kompak melengkapi. Saya tipe fighter dan suami tipe konsultan. Beliau penasihat hukum merangkap pengacara. Dialah panglima buat saya. Dana dari suamilah yang saya pakai untuk membiayai segala keperluan dakwah. Alhamdulillah, kami tidak pernah kekurangan. Hidup kami makin nyaman. Mengapa tidak tinggal di kawasan elite saja? Tadinya, kami tinggal di Sektor 6 Bintaro Jaya. Tetapi, saya gerah tinggal di sana. Tidak ada yang datang ke pengajian. Apalagi kalau tinggal di Pondok Indah. Saya bisa mati berdiri. Tidak kenal (tetangga) kiri-kanan. Sedekah juga menjadi hal yang sukar untuk dilakukan jika terus tinggal di sana. Saya bahagia jika bisa berbuat untuk orang lain. Saya berdoa agar jangan dibuat fakir demi pemenuhan iktikad ini. Begitu pindah ke Sawah Lama, banyak hal yang bisa saya perbuat. Saya dan suami sering berjalan kaki, naik angkot, atau naik motor menyusuri satu gang ke gang lainnya. Kami menyerap banyak hal yang tidak bakal kami dapatkan jika terus naik mobil. Saya jadi tahu apa yang harus saya perbuat untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. Saya aktif menjadi penyuluh kebersihan dan kesehatan lingkungan. Pembangunan kakus juga saya bantu dananya. Saat itu, saya lihat banyak ‘helikopter’ (tinja, red) hanyut di saluran air. Untuk memperbaiki pemahaman agama ibu-ibu setempat, saya, suami, dan teman mendirikan Majelis Ibadah dan Dakwah Al- Furqonul Hakim. Majelis taklimnya kini beranggotakan 3.000 orang. Ada Taman Baca Alquran gratis juga. Lima puluh anak yang pertama mendaftar kami beri bingkisan. Kami berusaha agar tiap jengkal rumah yang berdiri di lahan seluas 1.400 meter persegi ini bisa bermanfaat bagi umat. Untuk itulah kami bangun Pendopo Griya Pinaringan Gusti, rumah pemberian dari Allah SWT, sebagai sarana ibadah dan dakwah. Sebagian besar areanya ditujukan untuk ruang publik. Anda tak khawatir dengan keselamatan anak-anak? Tentu khawatir. Tetapi, itu risiko perjuangan. Anak-anak tak bebas bermain di luar rumah. Jofiando Rizki Ramadhan (10 tahun), Jofindra Zufarizal Daffa (8), Jofinka Putri Bandini (7), dan Mohammad Satria Ramadha (1,5) selalu dikawal. Sekolah pun dikawal. Mereka kadang protes. Tetapi, saya beri pengertian betapa di luar sana banyak orang jahat yang tak suka pada keluarga kami. Anak-anak saya beri fasilitas main dan saya ajak untuk mensyukuri apa yang ada. Mereka bisa mengerti. Source: republika.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar