Senin, 11 Agustus 2014

Pasca-Lebaran, Razia di Gang Dolly Makin Gencar

  Pasca-Lebaran, Razia di Gang Dolly Makin Gencar  

Seorang warga di seret oleh polisi saat menolak pemasangan plakat bebas prostitusi oleh pemerintah SUrabaya di lokalisasi Dolly, Surabaya, 27 Juli 2014. Pemasangan plakat tersebut diwarnai perlawanan oleh warga Front Pekerja Lokalisasi (FPL). TEMPO/Fully Syafi
Dunia malam di kawasan prostitusi Dolly dan Jarak, Surabaya, tidak berhenti sepenuhnya pascadeklarasi penutupan 18 Juni 2014. Aktivitas hiburan malam masih sangat terasa di kawasan tersebut, meski jauh berkurang dibandingkan sebelumnya.

Tidak ada lagi perempuan berpakaian seksi yang dipajang di balik kaca wisma bordil. Sejumlah wisma pun terkunci rapat tanpa penerangan. Tidak terlihat pula muncikari yang biasanya berdiri di depan wisma dan menawarkan pekerja seks kepada para pria yang melintas. Hanya ada beberapa pria yang bercengkerama di kursi sembari menenggak secangkir kopi, atau bermain kartu.

Ingar-bingar dangdut koplo ataupun house music yang kerap terdengar di sepanjang Jalan Jarak, Jalan Kupang Gunung Timur atau Gang Dolly, dan Jalan Putat Jaya Lebar kini tidak sesemarak dulu. Rumah-rumah karaoke yang tetap buka bisa dihitung dengan jari. Di dalamnya berisi para perempuan yang asyik berkaraoke bersama para pria, tak lupa dengan sejumlah botol minuman keras.

Itulah pemandangan yang tersisa di eks lokalisasi prostitusi Dolly-Jarak sepekan setelah Lebaran. Seperti yang juga terlihat ketika personel gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, serta Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat menggelar razia untuk kesekian kalinya di Dolly-Jarak, Sabtu malam, 9 Agustus 2014. (Baca: Dana Kompensasi untuk PSK Dolly Sudah Disalurkan)

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Surabaya Irvan Widyanto mengatakan pihaknya ingin mengantisipasi pekerja seks liar yang kemungkinan beralih ke tempat-tempat hiburan malam. "Kami tidak ingin kecolongan," kata dia, Ahad, 10 Agustus 2014.

Razia juga menyasar Dondong Pub and Karaoke serta Kiss Ball. Meski sudah memiliki izin operasi, tapi dua tempat hiburan itu tetap menjadi sasaran. Irvan berdalih para pekerja seks eks lokalisasi bisa saja memakai kedok pemandu karaoke untuk beroperasi kembali. Puluhan perempuan dibawa petugas untuk didata dan dipastikan bahwa mereka tidak termasuk dalam daftar pekerja seks.

Ketua Yayasan Abdi Asih-lembaga swadaya masyarakat pendamping Dolly-Jarak, Liliek Sulistyowati atau akrab dipanggil Vera, mengakui adanya para pekerja seks yang 'lari' ke tempat lain. "Sekarang larinya ke sana (tempat hiburan malam), hotel-hotel itu penuh," kata Vera.

Bahkan, kata Vera, modusnya pun tak lagi terang-terangan seperti ketika di lokalisasi. Para muncikari menggunakan layanan telepon untuk tetap menawarkan jasa esek-esek. "Mereka pakai telepon, panggilan," ujar Vera yang sudah puluhan tahun mendampingi dan memberikan pelatihan kepada mantan pekerja seks.

Jaringan muncikari pun sangat luas. Para pekerja seks asal Dolly-Jarak bisa dikirim ke Kalimantan hingga Papua. Sebab, kata Vera, satu muncikari biasanya memiliki hubungan dengan lebih dari satu rumah bordil. Mereka terikat melalui sistem kontrak. (Baca: Setelah Tutup Dolly, Pemerintah Kota Surabaya Waspadai Kos)

Kepala Dinas Pariwisata Surabaya Wiwiek Widayati menegaskan pihaknya belum mengeluarkan izin Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) untuk tempat hiburan malam di kawasan Kelurahan Putat Jaya. Hingga kini, pihaknya berkoordinasi dengan tim melakukan pengawasan pascadeklarasi penutupan. "Kami bersama-sama dengan tim, masih berkoordinasi secara intensif," kata dia.

Wiwiek juga memastikan hampir seluruh tempat hiburan malam di kawasan Dolly-Jarak tidak mengantongi izin TDUP. Tapi, ia belum bersedia membeberkan tindakan selanjutnya terhadap tempat-tempat tersebut. (dari www.tempo.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar