Senin, 23 Juni 2014

Kompleks Silir, Dari Resos Pelacuran Hingga Jadi Pusat Belajar

* Lokalisasi Setelah Ditutup

 
Kampung Silir adalah sebuah kampung kecil di wilayah Solo bagian timur. Menyebut nama itu di masa lalu akan selalu timbul kesan negatif. Namun kita menemui kenyataan lain sekarang. Di eks resosialisasi pelacuran di Kota Solo tersebut, kini berdiri sebuah masjid megah dan sebuah gedung-gedung pendidikan dan keterampilan Pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM).

Resosialisasi Silir adalah konskuensi dari maraknya pelacuran di Kota Solo di masa lalu. Dari catatan sejarah, sejak jaman Belanda hingga awal kemerdekaan di berbagai lokasi di Kota Solo terdapat aktivitas prostitusi. Di sekitar Tirtonadi, Cinderejo, Pasar Legi, Banjarsari, sekitar Stasiun Balapan hingga di Alun-alun Kidul, praktik prostitusi bisa ditemukan di rumah-rumah bordil hingga secara terbuka di jalanan umum.

Di masa kemerdekaan, melalui berbagai peraturan dan kebijakan Pemerintah Daerah di Solo terus berusaha menekan, mengurangi hingga berusaha menghilangkan praktik pelacuran di Solo. Namun berbagai upaya yang dilakukan itu dinilai kurang bisa maksimal mengurangi apalagi menghilangkan praktik pelacuran.

Pada tahun 1959, atas usulan dari partai-partai politik, Pemerintah Kotamadya Surakarta diminta menyediakan satu lokasi khusus untuk menampung para PSK dalam sebuah wadah resosialisasi. Diharapkan, melalui resosialisasi dan pembinaan itu nantinya para PSK bisa kembali ke masyarakat. Usulan itu dinilai sebagai solusi realistis untuk menangani prostusi yang sangat marak dan terbuka di Solo saat itu.

Ide tersebut akhirnya terealisasi pada tahun 1961. Wali Kota Surakarta saat itu, Utomo Ramelan, menyetujui sebuah lokasi khusus sebagai lokalisasi dan sekaligus resosialisasi. Pemerintah setempat membentuk tim khusus yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat, yang diketuai KH Sahlan Rosidi, seorang tokoh Masyumi di Solo.

Tempat yang dipilih adalah Kampung Silir yang semula merupakan areal kandang kuda milik Keraton Surakarta. Di lokasi itu pula, kuda-kuda milik keraton yang mati dikuburkan. Karenanya Silir saat itu letaknya masih cukup jauh dari keramaian kota. Silir masih terisolir dan merupakan kawasan mati karena tidak ada akses memadai sehingga diharapkan dapat meminimalisasi dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat luas dari adanya aktivitas prostitusi di tempat itu.

Namun rupanya seiring jalannya waktu, Silir akhirnya memang hanya menjadi lokalisasi prostitusi. Sedangkan harapan semula menjadi resosialisasi kurang berjalan dengan baik. Silir tetap marak dan terus semakin membesar sebagai sarang prostitusi.
 Kondisi Silir ini akhirnya kembali menjadi perhatian bersama. Pada tahun 1997, DPRD Kota Surakarta secara bulat mengajukan rekomendasi penutupan Resos Silir kepada Wali Kota Surakarta. Alasannya adalah konsep resosialisasi yang diharapkan semula akhirnya hanya menjadi prostitusi terselubung.

"Seluruh fraksi di DPRD saat itu setuju dengan penutupan Resos Silir. Daripada nambah dosa dan semakin menambah penyakit sosial maka akan lebih mendapat manfaat jika Resos Silir ditutup. Kepada Pemerintah Kota diminta membuiat berbagai program antisipasi tentang kemungkinan para PSK yang menyebar setelah penutupan," kenang Zaenal Maarif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta.

Wali Kota Surakarta saat itu, Imam Sutopo, secara resmi menutup Resos Silir pada awal 1998. Selanjutnya, berbagai upaya dan antisipasi dilakukan Pemkot untuk melatih para penghuni menghidupi diri secara lebih bermartabat.

Perhatian terus dilakukan Pemerintah Daerah secara berkesinambungan. Awal Juni lalu, di lokasi bekas Resos Silir diresmikan gedung pendidikan dan keterampilan oleh Mendikbud, Muhammad Nuh. Di lokasi ini kini terdapat Pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM) Ar-Ridho. Pesertanya sebagian besar adalah eks para penghuni Resos Silir. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara rutin pada hari Selasa, Rabu dan Kamis.

Tak hanya gedung PKBM, di areal tersebut MUI Kota Surakarta juga membangun sebuah masjid cukup megah di kawasan Silir. Selain itu juga akan dibangun Pusat Pemberdayaan Ekonomi Umat (PPEU). Yang dilakukan oleh MUI tersebut adalah upaya untuk terus mendorong dan menempatkan eks pelaku prostitusi ke arah kehidupan yang lebih baik.

Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, juga menegaskan diperlukan kerja keras semua kalangan untuk benar-benar menjadikan kawasan Silir sebagai kawasan tertata dan bermartabat. Pemkot menggandeng sejumlah rohaniawan untuk pembinaan moral dan secara bersamaan dibarengi dengan pelatihan keterampilan serta bantuan permodalan sebagai bekal menapaki hidup baru.

Selain itu kawasan Silir juga terus ditata agar menjadi tempat yang semakin maju, terbuka dan menjadi lokasi yang tak beda dengan kawasan lainnya di Solo. Silir dikembangkan menjadi kawasan ekonomi di sisi timur Solo. Ada Pasar unggas, Pasar Klithikan Notoharjo yang semula merupakan para pedagang kaki lima di Monumen Banjarsari, Pasar besi, dan juga direncanakan pemindahan beberapa sekolahan di kawasan tersebut. (news.detik.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar