Senin, 03 April 2017

Kerumitan Masalah Pelacuran

Debat antar calon Gubernur DKI memunculkan nama Alexis. Ini adalah tempat pelacuran kelas atas. Kenapa ini muncul dalam debat? Tentu saja dalam rangka menjatuhkan Ahok. Ahok pernah mengemukakan gagasan tentang legalisssi pelacuran. Ini sebenarnya gagasan biasa. Sebagaimana nanti akan kita bahas lebih detil, soal pelacursn adalah soal pilihan antara menyediakannya secara resmi dalam suatu ruang terbatas dengan harapan bisa dipantau dan dikontrol, atau menganggapnya tak ada. Ini sebenarnya gagasan biasa dalam penanganan masalah sosial. Cuma, bagi kalangan yang merasa paling bermoral, lebih tegasnya bagi umat Islam, gagasan ini dibuat personal. Seolah Ahok itu memang penggemar pelacuran, atau mau merusak moral bangsa dengan pelacuran.

Orang-orang sering berpikir dengan jalan pintas. Bagaimana menghilangkan pelacuran? Tutup rumah bordil atau lokalisasi. Bagi mereka, selama tidak ada tempat yang terang-terangan menyediakan pelacur, maka tidak ada pelacuran. Persis sama dengan orang yang menyembunyikan sampah di bawah karpet. Selama tak ada sampah terlihat, mereka boleh merasa tenang, menganggap sampah itu tak ada.

Belasan tahun yang lalu, lokalisasi Kramat Tunggak ditutup. Orang-orang senang. Terlebih di lahan itu dibangun Islamic Center. Ismail Yusanto, tokoh HTI itu, waktu itu berkomentar di depan saya,”Inilah bagusnya Sutiyoso.” Orang gampang terhibur, dan melupakan aspek lain kalau sudah begini. Artinya, kebijakan macam begini bisa jadi bedak tebal untuk menutupi borok yang lain.
Apakah dengan ditutupnya Kramat Tunggak lantas Jakarta jadi bebas pelacur? Tidak. Bahkan berkurang saja pun tidak. Menemukan tempat pelacuran di Jakarta itu lebih mudah dibanding menemukan penjual pisang goreng. Ada yang terang-terangan, pilih langsung pakai. Ada yang berkedok panti pijat atau salon.  Belum lagi penyediaan jasa pelacuran online, serta pelacuran yang sifatnya pribadi.
Kramat Tunggak ditutup, apakah pelacurnya lantas bertobat semua? Tidak. Mereka hanya berpindah warung, ke rumah-rumah di gang sempit, atau di pinggir rel kereta. Mereka beroperasi di kawasan pemukiman, disaksikan kehadirannya oleh anak-anak. Orang-orang bermoral tadi mengabaikan fakta ini. Bagi mereka yang penting tak ada lagi tempat pelacuran resmi.
inilah beda mereka dengan Ahok. Ahok adalah orang yang tak munafik. Ia mau mengakui fakta itu, mencoba mencari solusi terbaik. Salah satunya dengan melokalisir masalahnya, sehingga mudah dipantau dan dikontrol. Tapi itu tadi, kalangan moralis langsung menuduh dia macam-macam.
Mungkinkah pelacuran dihilangkan? “Nabi pun tak sanggup memberantasnya,” kata Ahok. Orang Islam marah lagi, menuduh Ahok melecehkan nabi. Padahal ia bicara tentang nabi dalam ajaran Kristen, yaitu Nabi Hosea. Tak ada sangkut pautnya dengan nabi Islam. Itu adalah ungkapan Ahok untuk menggambarkan rumitnya soal pelacuran. Senada dengan ungkapan bahwa pelacuran adalah profesi yang usianya sudah setua sejarah umat manusia. Artinya, di mana ada manusia, di situ ada pelacur.
Pelacuran adalah soal permintaan dan penawaran. Permintaan selalu ada. Selama masih ada laki-laki horny, pasti ada yang permintaan pelacur. Tidak ada satu agama pun, atau satu orang suci pun yang pernah hadir dan membuat pelacuran itu sirna di suatu wilayah.
Bagaimana dengan supply atau penawaran? Buatlah survey kecil, datangi rumah-rumah pijat, dan lakukan wawancara kepada para pemijat. Pofil umumnya adalah, usia antara 18-30, janda beranak atau tidak beranak. Menikah di usia muda, kemudian suaminya pergi entah ke mana. Cerita klise ini mungkin akan Anda dengar dari 40% responden. Lalu lakukan survey ke kampung-kampung di Pantura, atau ke Sukabumi. Dengan mudah kita akan temukan fakta pendukung soal kawin muda ini.
Belum lagi soal remaja di rumah tangga yang hancur, kemudian mencari tempat pelarian dengan melacur. Remaja yang terlibat narkoba, atau remaja hedonis yang menjual diri sekedar agar bisa selalu punya HP jenis paling mutakhir.
Semua itu adalah faktor supply bagi dunia pelacuran, yang tidak serta merta sirna dengan ditutupnya rumah bordil atau lokalisasi. Jadi, menutupnya sama sekali bukan solusi bagi masalah ini.
Masih ada sisi lain, yaitu korupsi. Mengapa Alxis tidak ditutup? Coba tanya balik kepada yang mengajukan pertanyaan itu, tahukah kamu ada berapa oknum berbintang yang jadi backing bisnis itu? Ada berapa petinggi imigrasi yang berperan mengamankan “izin kerja” bagi pelacur-pelacur asing yang bekerja di situ? Bahkan, mungkin, ada berapa petinggi organisasi agama yang harus dibungkam dengan uang supaya tidak rewel? Atau, lebih tegas lagi, kenapa sih sebelum ini, waktu Gubernur DKI muslim semua, tidak ada keributan publik menuntut penutupan Alexis? Ahok dicerca karena tidak menutup Alexis, padahal ia sudah menutup Kalijodo. Adalah yang bertanya, kenapa Foke dulu tidak menutup Kalijodo?
Jadi, berbagai keributan soal pelacuran ini jauh dari usaha mencari solusi. Ini hanya soal bagaimana menjatuhkan Ahok saja. (http://abdurakhman.com/ahok-dan-kerumitan-masalah-pelacuran/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar