Menjual
barang dagangan sebagai profesi hidup itu sangat baik, bahkan amat dianjurkan
oleh agama. Bagaimana jika ia menjual diri? Profesi pelacur alias menjual diri
jelas sangat tidak boleh dan diharamkan oleh Allah. Dengan dalih apapun,
profesi haram ini tidak boleh dilakoni. Tidak saja merupakan aib bagi
masyarakat tapi juga dilaknat oleh Allah. Kecuali ia bertaubat dan
bersungguh-sungguh untuk tidak kembali lagi kepada jalan yang salah, Allah
pasti akan mengampuninya. Kisah berikut ini salah satu contohnya. Ia adalah
seorang pelacur kelas kakap pada masanya. Mulai dari kalangan biasa hingga
pejabat pernah menjadi langganannya. Kemudian ia bertaubat dan menginsyafi
segala perbuatannya setelah bertemu dengan seorang tentara yang saleh dan baik
hati. Kini, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan banyak mengikuti pengajian
dari satu mushala ke mushala lain. Subhanallah! Sebut saja namanya Intan.
Sebagai seorang perempuan ia sebenarnya sangat beruntung. Wajahnya cantik dengan
tubuh semampai dan berkulit kuning langsat. Di antara tiga saudaranya yang
perempuan dari lima bersaudara, ia termasuk anak yang paling cantik. Ia pun
menjadi kejaran banyak lelaki mulai dari mengajaknya kencan, iseng-iseng saja
hingga menikah. Salah satu lelaki yang beruntung mendapatkan Intan adalah Anto.
Sebagai lelaki, Anto sebenarnya tidak memiliki keistimewaan apapun, selain
hanya wajah lumayan ganteng, badan tinggi dan kekar serta kulit yang agak
kuning. Selebihnya, dia tidak memiliki kelebihan apapun untuk bisa dibanggakan.
Sekolah saja hanya lulusan SD. Entahlah, rayuan apa yang dikeluarkan oleh Anto
kala itu sehingga bisa menaklukkan hati Intan. Padahal, pada saat yang
bersamaan, ada laki-laki lain yang sebenarnya lebih mapan dan berpendidikan
hendak meminangnya. Mungkin begitulah jodoh! Intan akhirnya menikah dengan
Anto. Bulan-bulan pertama pernikahan, mereka begitu bahagia hingga mereka
memiliki anak yang gemuk, sehat dan kulitnya kuning seperti ibunya. Dari
ronanya, anak yang kemudian diberi nama Zaenab tersebut sepertinya hendak
mewarisi kecantikan ibunya. Intan dan Anto melalui hari-harinya pun dengan
sangat bahagia, hingga kemudian persoalan penting muncul. Anto yang sejak awal
menikahi Intan berjanji akan menjadi suami yang baik mulai berubah. Ia mulai
suka keluar malam dan bergaul dengan teman-teman yang tidak baik. Itu tidak
menjadi persoalan jika Anto adalah lelaki yang bertanggung jawab. Anto adalah
suami yang pengangguran. Sebelum punya anak, Intan masih memakluminya jika
suaminya belum bekerja. Sebab, mencari pekerjaan itu tidak gampang. Tapi, sang
bayi telah lahir dan itu membutuhkan asupan makanan yang lebih banyak untuk
menunjang keluarga mereka termasuk susu buat bayi dan sebagainya. Rupanya Anto
tidak mengerti akan hal ini. Ia malah lebih senang berada di luar, hingga ia
terjebak dalam pesta mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Pada puncaknya,
Intan tidak tahan lagi tepatnya saat Zaenab berusia tiga tahun. Kehadiran suami
tidak membawa berkah apapun –malah menyusahkan dan merepotkan. Sebab, sudah
tidak bertanggung jawab tapi kebutuhannya masih ingin dipenuhi seperti
menyucikan pakaiannya, memenuhi hasrat seksnya dan sebagainya. Intan akhirnya
bercerai dengan Anto dengan sebuah perpisahan yang tidak mengenakkan alias
tidak baik. Zaenab ikut pada ibunya, sementara Anto hidup sendiri dan kembali
pada orang tuanya. Sejak bercerai, kehidupan Intan tidak berangsur baik. Salah
satu kelemahan Intan adalah ia tidak terdidik dalam sebuah keluarga yang taat
beragama. Ia memang beragama Islam, tapi dalam keluarganya shalat seperti
sebuah aktivitas yang asing mereka lakukan. Dalam kondisi seperti itu, Intan
dituntut oleh keadaan yang mengharuskan dirinya punya uang untuk menghidupi
anak semata wayangnya, Zaenab. Keadaan ini pun dimanfaatkan oleh makhluk paling
durjana di muka bumi yaitu setan. Rayuan setan berhasil merasuk ke dalam
otaknya. Intan bertemu dengan seseorang yang kemudian menawarkannya pekerjaan
gampang, nikmat, mendatangkan uang banyak tapi dilaknat Tuhan yaitu pelacur.
Awalnya, Intan tentu saja menolak. Tapi, setan terus merayunya. Akhirnya,
dorongan ekonomi yang awut-awutan membuatnya terpaksa menentukan pilihan
terpahit dalam hidupnya yaitu menjadi pelacur. Awal-awal menjalani profesinya,
Intan masih ogah-ogahan. Tapi, setelah ia sudah kenal uang banyak dari
pelanggan yang menikmati tubuhnya yang aduhai, ia pun mulai menikmati
profesinya itu. Masa gelap telah berlalu, saatnya tiba hari yang terang
benderang bagai bintang gumintang bergantung di angkasa pada malam hari. Dengan
kecantikan memesona setiap lelaki manapun, petualangan cinta terlarang Intan
semakin luas saja. Awalnya, lelaki biasa berkantong tipis yang datang, tapi
lama-kelamaan pejabat juga kepincut olehnya. “Dalam pengakuannya ada salah satu
pelanggannya yang merupakan seorang pejabat,” ujar Kholik, yang merupakan
tetangga Intan itu. Intan semakin terkenal saja sebagai pelacur kelas kakap.
Petualangannya pun tidak lagi di tempat-tempat murahan tapi hotel berbintang
dan tempat-tempat mewah. Uang pun semakin banyak masuk ke kantongnya. Meski
begitu, Intan masih senang hidup ngekos. Ia berpisah dengan saudara-saudaranya
karena mereka juga mulai membenci dirinya yang berpofesi sebagai pelacur. Kost
Intan berada di Jl. Lima. Suatu kali Jl. Lima kedatangan seorang tentara yang
dapat tugas dari pemerintah di daerah itu dan sekitarnya. Ia ngekost persis di
depan kost Intan. Jl. Lima memang berdiri banyak kost. Maklum, daerah di situ
merupakan kawasan wisata sehingga bisnis kost-kostan ini termasuk menggiurkan.
Kost Intan dan kost tentara itu hanya dibatasi oleh jalan lima itu sendiri.
Intan pergi bekerja setiap jam 18.00 WIB, sedang tentara yang ternyata bernama
Halim itu selalu pulang dari tugasnya jam 18.00. Jadi, saat Intan pergi Halim
pulang. Mereka pun kerapkali berpapasan di Jl. Lima tersebut. Sebagai seorang
lelaki, wajah Halim sebenarnya tidak terlalu jelek. Kulitnya sawo matang khas
warna kulit melayu dan tubuhnya lumayan kekar. Tapi, kelebihan Halim sebagai
lelaki adalah ia anak yang saleh. Shalatnya rajin dan berasal dari keluarga
yang taat beragama. Meski kedua orang tuanya bukan kiayi atau ustadz, tapi
mereka sudah berhaji. Jadi, agama benar-benar tertanam dalam keluarga Halim.
Halim termasuk orang yang murah senyum. Ia juga tidak arogan, meski dirinya
seorang tentara. Setiap kali bertemu dengan orang ia selalu menyapanya dan
tersenyum. Begitu juga saat pertama kali bertemu dengan Intan. Ia menundukkan
tubuhnya sambil tersenyum, meski mereka tidak saling kenal. Intan pun demikian.
Ia membalasnya layaknya orang yang sedang disapa. Begitulah hari-hari
seterusnya. Mereka seringkali berpapasan saat Halim pulang dari kerjanya dan
Intan pergi untuk menjual diri. Makin lama Halim penasaran dengan ulah Intan
yang seringkali pergi saat adzan Maghrib bergema. Awalnya ia menyadari mungkin
Intan sedang datang bulan, tapi hal itu berkali-kali ia melihatnya. Penasaran
ingin tahu lebih banyak tentang sosok Intan pun tertanam dalam pikiran Halim.
Apalagi ditambah wajah Intan yang cantik, membuat Halim penasaran ingin
mengetahui sosok perempuan itu lebih jauh. Intan sendiri sebenarnya mulai
penasaran dengan sosok tentara itu. Setiap kali bertemu, lelaki itu sopan
sekali dan selalu mengumbar senyum kepadanya. Senyumnya yang manis begitu
menggodanya. Dalam hatinya pun sebenarnya ingin berkenalan dengan Halim.
Tetapi, merasa kelasnya sudah tinggi sebagai pelacur ia pun gengsi. “Jika ia
butuh, nanti juga datang.” Begitu pikir Intan saat itu. Betul saja, Halim
akhirnya bertandang ke kost Intan di suatu siang hari –kebetulan Halim sedang
tidak bertugas dan Intan sendiri kalau siang ada di rumah. Intan pun merasa
menang ketika melihat Halim datang bertamu ke kostnya. Mereka pun ngobrol
dengan bebas. Halim memperkenalkan dirinya, begitu pun Intan. Pertemuan pertama
di kost Intan itu dilalui Halim dengan lancar. Ia pun mulai tahu siapa Intan.
Di mata Halim, Intan adalah sosok gadis yang lembut, tidak nakal, dan sopan.
Halim rupanya tertipu oleh penampilan anggun Intan saat itu. Ia tidak sadar
bahwa ia sebenarnya sedang berhadapan dengan seorang pelacur kelas kakap yang
suatu saat bisa saja menyantapnya habis-habisan. Pertemuan pertama di kost
Intan itu pun sangat membekas di hati Halim. Hal ini membuatnya ketagihan. Saat
ia tidak ada tugas, ia pun menyempatkan diri bertamu ke kost Intan. Intan
sendiri menyambutnya dengan hangat. Sebab, dalam hati Intan sendiri sebenarnya
sudah menaruh rasa kagum sama Halim. Gagah, sopan, murah senyum, dan baik hati.
Setiap perempuan pasti suka kepadanya. Suatu ketika Halim bertamu kembali.
Entahlah, ini pertemuan yang ke berapa. Rupanya, pada pertemuan kali ini Halim
ingin mengutarakan sesuatu. Jika tidak, itu akan membuat hatinya tersiksa.
“Tan. Aku sudah mengenalmu cukup jauh meski baru beberapa kali bertemu. Aku
suka padamu. Aku cinta pada-Mu, Tan.” Ujar Halim blak-blakan penuh keberanian.
Mendengar ucapan cinta yang spontan dari Halim, Intan pun kaget. “Kamu belum
tahu lebih banyak tentang saya. Kamu pasti menyesal nanti.” Ujar Intan yang
mulai b erusaha terus terang. “Bagi saya itu sudah cukup.” Jawab Halim. Merasa tidak
ingin menipu Halim, Intan pun berterus terang kalau dirinya sebenarnya seorang
pelacur. Telah banyak lelaki yang masuk dalam perangkap kecantikannya. Selama
ini dirinya tidak terlalu serius menanggapi Halim –meski dalam hatinya juga
kagum, itu karena profesinya yang seorang pelacur. Halim sangat kaget dan
nyaris tidak percaya. Apalagi, setelah ia tahu bahwa Intan juga sudah punya
anak yang kini bersama kedua orang tuanya di rumah. Usai mendengar kejujuran
Intan, Halim pun minta pamit. Ia kembali ke kostnya. Semalaman ia tidak bisa
tidur memikirkan Intan. Ia menyesali nasib yang digariskan Tuhan untuk Intan.
Kenapa orang secantik Intan harus menjadi seorang pelacur? Apa sebabnya? Kenapa
pula ia harus ditakdirkan bertemu dengan perempuan kotor seperti dia? Halim
benar-benar tersiksa batinnya. Ia pun bangkit dari duduknya dan mengambil air
wudhu. Di atas sajadah ia mengumandangkan takbiratul ihram dan bersedekap.
Rupanya ia sedang menunaikan shalat istikharah untuk mendapatkan jawaban rasa
gelisah yang menerpanya begitu kuat. Berhari-hari ia melakukannya, hingga
kemudian ia mendapatkan sebuah jawaban yang baginya itu adalah yang paling
benar –meski keluarganya mungkin akan menolaknya. “Halim sudah terlanjur
kepincut dan jatuh hati kepada Intan. Ia ingin menikahi perempuan itu,” ujar
Kholik. Halim segera bangkit dari lamunannya. Shalat istikharah membuatnya
memiliki satu jawaban pasti untuk segera menyelamatkan Intan dari jalan yang
salah. Kini, ia tidak lagi mengejar kecantikan Intan untuk dijadikan istri, tapi
lebih pada persoalan dakwah Islam. Menikahi Intan sama saja dirinya sedang
berdakwah, mengajak orang kembali kepada jalan yang diridhai Allah. Suatu kali
Halim datang kembali ke kost Intan dan menyatakan kesungguhannya untuk
menikahinya. Tapi, Intan tidak langsung menjawab. Ia meminta waktu untuk
berpikir dan merenung. Jika saat itu tiba, ia pasti akan mendatangi kost Halim
dan memberikan jawabannya. Benar saja. Intan lalu mendatangi kost Halim pada
malam hari. Malam itu sengaja ia tidak bekerja demi seorang tentara yang telah
mengusik hatinya beberapa hari ini. Melihat Intan datang, Halim kaget. Di depan
Halim, Intan pun menanyakan kembali keseriusan Halim untuk menikahinya, “Kamu
yakin ingin menikahi saya dan mau menerima saya apa adanya.” “Yakin, Tan.” “Saya
minta syarat. Jika kelak kita berumah tangga, kamu jangan mengungkit-ungkit
masa lalu saya.” Halim setuju dengan syarat yang diajukan Intan. Mereka pun
akhirnya menikah. Sejak itu, Intan meninggalkan profesinya yang sebenarnya
sedang berada di puncak dan mendatangkan uang banyak. Ia lebih memilih Halim,
seorang tentara baik hati dan saleh yang telah menaklukkan hatinya. Padahal,
sebelumnya sudah banyak lelaki yang serius ingin menikahi Intan meski ia
seorang pelacur. Tetapi, Intan selalu menolaknya. Pada seorang tentara bernama
Halim ini, ia melabuhkan cinta terakhirnya dalam sebuah mahligai pernikahan
yang indah. Masya Allah! Halim tampak bahagia usai menikahi Intan. Tugasnya
untuk menyelamatkan Intan dari jalan yang salah akhirnya berhasil. Pertentangan
dari keluarga Halim seperti diduga sebelumnya ternyata tidak ada. H. Ismail dan
Hj. Aisyah, orang tua Halim, menyadari keinginan Halim untuk menikahi Intan
karena sebuah tugas yang mulia itu. Mereka pun meridhai pernikahan anaknya
dengan seorang pelacur itu. Kini, Intan menjadi istri yang bertanggung jawab.
Halim sendiri sekarang telah pensiun dan menjadi purnawirawan. Perkawinan Halim
dan Intan tidak dikaruniai anak hingga sekarang. Zaenab sendiri sudah besar dan
sedang kuliah di sebuah universitas swasta terkenal di luar Jawa. Perubahan
yang paling kental dari Intan setelah dinikahi Halim adalah ia suka pergi dari
satu mushala ke mushala lain di kampungnya untuk mengikuti pengajian.
Kesungguhan Intan untuk bertaubat ini diamini oleh banyak warga. Halim tidak
saja berhasil membawa Intan dari jalan yang salah tapi juga telah sukses
menanamkan benih-benih agama yang baik pada Intan. Mereka benar-benar telah
menjadi keluarga bahagia, apalagi Zaenab kini telah menjadi seorang mahasiswi
yang berprestasi dan berkali-kali mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Sebuah
akhir hidup yang manis dan enak untuk dikenang. Demikian kisah tentang seorang
pelacur kelas kakap yang mendadak insyaf dan meninggalkan pekerjaannya setelah
bertemu dan diajak menikah oleh tentara yang saleh dan bertanggung jawab.
Semoga kita bisa belajar dari kisah ini! Amien. (Eep Khunaefi/dimuat Hidayah
edisi 83/Juli/2008)
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar