Minggu, 01 Februari 2015

UPAYA MENANGGULANGI PELACURAN SEBAGAI PENYAKIT MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Pelacuran dipandang sebagai profesi yang paling tua bagi manusia di dunia, yaitu perilaku yang sudah ada sejak awal kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran merupakan masalah sosial sehingga apabila membicarakan masalah pelacuran mencakup ruang lingkup yang luas. Hal ini disebabkan tidak hanya menyangkut diri pelacur, tetapi menyangkut masyarakat lain, dan juga melibatkan pemerintah. Kartini Kartono (1988) menyatakan masalah sosial adalah: (1) Semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat masyarakat, sedang adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup ber-sama; (2) Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari masyarakat sebagai pengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyata bahwa tindak pelacuran dapat mengganggu, merugikan keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik jasmani dan rohani maupun sosial dari kehidupan masyarakat secara umum. Hal ini karena tindak pelacuran melanggar adat istiadat dan norma yang berlaku dalam masya-rakat, yaitu norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, dan norma hukum.
Tujuan pembangunan nasisional Indonesia adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan nasional berasaskan Pancasila, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau perilaku pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya, adalah tentang pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan indikasi yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya tersirat bagaimana pan-dangan bangsa tersebut tentang etika (tata susila), moralitas, sistem masyarakat, dan norma-norma sosial (Sudarto,1990).
Dalam menanggulangi atau paling tidak mengurangi kuantitas dari perilaku pelacuran, Pemerintah melalui Kementerian Sosial c.q. Direktorat Jendral Reha-bilitasi dan Pelayanan Sosial telah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ber-sifat dan bertujuan memberi kesadaran dan tanggungjawab sosial, pencegahan terhadap tuna susila dan peningkatan pelayanan sosial masyarakat yang sudah ada. Rehabilitasi wanita mengenai pelacuran ini dibutuhkan dalam rangka untuk meng-usahakan kesejahteraan sosial dalam mencapai aspirasi bangsa Indonesia pada umumnya, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan mental berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini juga berarti bahwa setiap warganegara, setiap anggota masyarakat mempunyai tanggungjawab moral dengan bersama-sama Pemerintah untuk mencari jalan keluar atau yang paling tepat dalam menanggulangi dan memberantas para pelacur, sehingga diharapkan dari hari ke hari, bulan dan tahun semakin menurun tindak pelacuran.
Sasaran pembangunan hukum diarahkan pada terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berisi-kan keadilan yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana memadai, dan masyarakat yang sadar dan taat pada hukum. Pembangunan hukum Indonesia harus didasarkan dan bersumber pada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang meliputi penerapan hukum dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara menyeluruh kepada manusia atas dasar keadilan dan kebenaran. Pembangunan sarana dan prasarana hukum diarahkan pada terwujudnya dukungan perangkat yang mampu menjamin kelancaran dan berlangsungnya peranan hukum yang merupakan pedoman dan ukuran untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat dan negara. Selanjutnya pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur hukum yang profesional di bidangnya dan memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat, termasuk pembangunan moral dan etika bangsa Indonesia.
Atas dasar latar belakang yang dipaparkan di depan, timbul permasalahan yang akan dikaji. Adapun permasalahannya adalah: (1) Apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya pelacuran? (2) Apa dampak atau akibat dari aktivitas pelacuran? (3) Apa usaha-usaha yang perlu dilakukan guna mengatasi dan menang-gulangi pelacuran? Permasalahan tersebut hendak dianalisis dengan pendekatan sosiologi-empiris.
B. STUDI TENTANG PELACURAN.
Keseimbangan dalam masyarakat merupakan suatu keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dalam keadaan demikian itu para warga masyarakat merasa akan ada ketenteraman karena tidak ada pertentangan pada kaidah-kaidah dalam nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, tetapi adakala-nya keseimbangan itu mengalami ketegangan karena tidak ada kesusilaan atau terjadi benturan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat dalam keadaan sakit. Gejala-gejala sosial seperti ini yang termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Soedjono (1988) menyatakan penyakit masyarakat itu meliputi: (1) Gelandangan (tuna wisma dan tuna karya); (2) Penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme; (3) Prostitusi atau penyimpangan/abnormal di bidang seksual; (4) Penyakit jiwa; (5) Tuna netra kriminal; dan (6) Kolerasi antar penyakit masyarakat dan kriminalitas.
Atas dasar keterangan tersebut tampak bahwa pelacuran atau prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat, karena terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan kemerosotan moral, pelacuran, ke-nakalan anak-anak, dan sebagainya, sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pelacuran dalam segala bentuknya. Misalnya, pelacuran tidak hanya dalam bentuk rumah-rumah bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk pelacuran terselubung. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat seperti klab malam, panti pijat, tempat dansa, bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan sebagai tempat pelacuran.
Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998:548) me-nyebutkan bahwa pelacuran adalah perihal menjual diri, dan pelacur berarti wanita tuna susila. Jadi, kata pelacuran menunjukkan pada perbuatannya sedang pelacur menunjukkan pada orang yang melakukannya. Adapun WA Bonger sebagaimana dikutip oleh Bosu (1998:43) menyatakan pelacuran adalah gejala kemasyarakatan, di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Sementara itu, Iwan Block dalam Bosu (1998:43) mengungkapkan pelacuran adalah suatu bentuk hubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola tertentu, yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pem-bayaran, baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya demi kepuasan yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten-tang Perkawinan menyebut pelacuran sebagai perzinahan. Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelacuran adalah setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya (pelaku) dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di depan, dapat diambil simpulan bahwa unsur-unsur yang pelacuran adalah: (1) Adanya suatu perbuatan, yaitu penyerahan diri seseorang wanita kepada laki-laki yang bukan suaminya dalam hubungan kelamin tanpa pilih-pilih dan terjadi berulang-ulang; dan (2) Adanya imbalan baik berupa uang atau barang lainnya sebagai pembayaran dari pihak laki-laki.
C. KETENTUAN PELACURAN DALAM KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satupun pasal yang mengatur secara khusus tentang pelacuran atau wanita pelacur, padahal di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Hal ini berarti segala perbuatan yang belum diatur di dalam undang-undang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Jadi, belum tentu semua perbuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Namun, Moeljatno (1994) mengartikan pelacuran tidak dijadikan larangan dalam hukum pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu tidak dianggap merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan hukum atau peraturan yang tepat  menindak aktivitas pelacuran, yang selama ini dalam praktik dapat dilaksanakan oleh penegak hukum.
Pasal 296 KUHP, menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan sengaja meng-hubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai mata pencahariaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak seribu rupiah.
Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut mengatur perbuatan atau wanita yang melacurkan diri tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan yang bisa dikena-kan pasal ini adalah orang-orang yang menyediakan tempat kepada laki-laki dan perempuan untuk melacur, dan agar dapat dihukum perbuatan itu harus dilakukan untuk mata pencaharaian atau karena kebiasaannya.
Sementara itu, orang yang tidak masuk dalam ketentuan Pasal 296 KUHP ini adalah orang yang menyewakan rumah atau kamarnya kepada perempuan atau laki-laki yang kebetulan pelacur, dikarenakan tidak ada maksudnya sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, ia sebab hanya menyewa-kan rumah dan bukan merupakan mata pencaharian yang tetap.
Pasal 297 KUHP menyebutkan bahwa perdagangan wanita dan perdagang-an laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Perdagangan wanita ini harus diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan ber-gantung kepada kemauan orang lain yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga. Perbuatan perdagangan wanita harus bertujuan untuk menyerahkan wanita ke dalam kancah pelacuran tidak hanya mengenai wanita pelacur, tetapi wanita yang sudah menjadi pelacur pun dapat juga menjadi objek perbuatan perdagangan wanita.
Pasal 506 KUHP menyebutkan barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul dari seorang wanita dan menjadikan sebagai mata pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Orang yang menarik ke-untungan dari perbuatan tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian sering disebut mucikari. Mucikari yaitu makelar cabul artinya seorang laki-laki yang kehidupannya dibayar oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengannya dalam tempat pelacuran, yang menolong mencarikan para pelanggan, dari hasil itu ia mendapat bagiannya. Pada umumnya mucikari ini di samping menjadi perantara (calo) untuk mempertemukan pelacur dan pelanggannya, juga berperan sebagai “kekasih atau pelindung” para wanita pelacur itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika dilihat dari ketiga pasal dalam KUHP (Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506) tersebut yang berhubungan dengan kegiatan pelacuran, ternyata pelacurnya sendiri secara tegas tidak diatur atau tidak diancam oleh hukum pidana.
D. SEBAB-SEBAB TIMBUL PELACURAN
Banyak faktor yang nendorong wanita terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis (Kartini Kartono,1988).
1. Faktor Ekonomi.
Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja seseorang me-lakukan suatu perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang menjadi pelacur itu dikarenakan oleh adanya tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan yang dirasakan terus menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah bagi pengusaha rumah pelacuran mencari-cari wanita-wanita pelacur dari kelas melarat karena kebanyakan wanita tuna susila kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan rendah.
2. Faktor Sosiologis
Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya yang cepat mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Misal, bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat meng-akibatkan terjadi perubahan-perubahan kehidupan yang cepat sehingga masyarakat menjadi labil, banyak konflik budaya, kurang adanya kompromi mengenai norma-norma kesusilaan antar anggota masyarakat. Dengan kelemahan norma, motivasi jahat, adanya kesempatan, dan lingkungan sosial yang hiterogen dapat dijadikan alasan orang untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada reaksi sosial yang dapat berupa kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati, sikap acuh tak acuh, cemburu, iri hati, ketakutan penolakan, kemurkaan, hukuman, kebencian, kemarah-an, dan tindakan-tindakan konkrit lainnya.
3. Faktor Psikologis
Faktor psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan seorang wanita melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak terpuaskan dengan kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat menimbulan efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi krisis pada diri individu tersebut. Dalam keadaan krisis ini akan memudahkan timbul konflik batin, yang sadar atau tidak sadar mereka akan mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan. Dalam keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai faktor internal psikologis yang dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur, antara lain moralitas yang rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan kebanyakan para pelacur memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.
Sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran tidak hanya timbul disebabkan dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh sebab-sebab dari pihak laki-laki, antara lain:
1.   Nafsu birahi laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa ikatan apapun.
2.   Rasa iseng laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan perkawinan, ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
3.   Istri sedang haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak mampu melakukan reaksi seks dengan suaminya.
4.   Istri menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur, misalnya karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
5.   Bertugas di tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain yang belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
6.   Karena berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah tangga.
7.   Tidak mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
8.   Tidak bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis, misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membiayai rumah tangga dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri.
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang kompleks. Hal ini yang secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara dan mempengaruhi keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari masa ke masa, dan di mana saja belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu masih ada maka pelacuran pasti ada.
E. AKIBAT ADANYA PELACURAN.
Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS).
Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.
Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-kotika, karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.
Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat sulit memberntas dan menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak tipe-tipe pelacuran yang ada dalam masyarakat.
F. CARA MENANGGULANGI PELACURAN
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di-lakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat-akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.
Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1.   Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2.   Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.
3.   Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .
4.   Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan rumah tangga.
5.   Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam usaha penanggulangan pelacuran.
6.   Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.
Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini Kartono, 1998):
1.   Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para pealacur dan para penikmatnya.
2.   Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.
3.   Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4.   Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.
5.   Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali hidup baru.
6.   Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.
  
G. PENUTUP
Berdasarkan analisis permasalahan sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut.
Banyak faktor yang nendorong wanita terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis. Faktor ekonomi, kebutuhan hidup semakin banyak dan dan mendesak, namun tidak dapat dipenuhi akibat tidak ada sumber penghasilan. Oleh karena itu melakukan pelacuran dianggap sebagai solusi yang instan. Faktor sosiologis, merujuk pada perkembangan dan perubuhan sosial-budaya yang begitu cepat, ikatan sosial yang renggang, dan masyarakat bersifat pragmatis, nilai-nilai sosial mengendor. Banyak anggota masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, mereka teralienasi dari masyarakatnya. Pelacuran dipandang sebagai jalan keluar dari alienasi tersebut. Faktor psikologis, kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, moralitas yang rendah dan kurang berkembang sehingga tidak dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh, menjadi sebab-sebab timbulnya pelacuran.
Akibat dari aktivitas pelacuran menimbulkan dampak negatif dan pisitif. Namun dampak negatifnya jauh lebih banyak daripada dampak positifnya. Antara lain akibat negatif pelacuran adalah dapat menimbulkan dan menyebarluaskan berbagai macam penyakit menular yang berbahaya sebagai akibat hubungan sek-sualitas yang salah. Menimbulkan dekadensi moral sebab aktivitas pelacuran bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat (norma kesopanan, kesusilaan, agama, dan hukum). Pelacuran juga mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia lain, karena wanita-wanita pelacur itu diperlakuan sebagai sapi perahan dan objek atau barang yang dapat dijualbelikan.(http://menanggulangi.blogspot.com)
DAFTAR RUJUKAN.
Alam, A.S. 1984. Pelacuran dan Pemerasan, Bandung: Alumni.
Anwar, Mochamad Dading. 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus Buku II, Bandung: Alumni.
Basu, Benediktus, 1998. Sendi-Sendi Kriminologi, Surabaya: Usaha Nasional,
Indah, Maya, 2001, “Bekerjanya Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Perlindungan Korban”, Masalah-masalah Hukum Nomor 1 Tahun 2001. Semarang: Fakultas Hukum Undip..
Kartono, Kartini. 1988. Patologi Sosial. Jilid I, Edisi Baru, Jakarta: CV Rajawali.
Moeljatno. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Moeljatno. 2001. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Poerwardaminta, WJS. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesi,, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: PT Erresco.
Soedjono, D. 1988. Pathologi Sosial, Bandung: Alumni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar