- Apakah Ahok menginginkan kota Jakarta seperti Macau, menjadi pusat judi dan pelacuran dunia? Hanya karena Indonesia menurut Ahok, bukan negara “agama”?
- Di acara Metro TV, Sabtu malam menjelang dini hari, yang melakukan wawancara dengan Wakil Gubernur DKI, Ahok dengan menggunakan baju koko, peci hitam di kepala, selendang di pundaknya, seperti Muslim Betawi, justru secara tegas ingin membuat kebijakan lokalisasi pelacuran di daerah kebayoran (di Jakarta).
- Walikota Surabaya Sri Rismaharani memiliki tekad menuutup kompleks Dolly, sebuah kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara, dan sebalumnya menutup kompleks pelacuran yang ada di kota Surabaya, dan itu bisa dilakukannya. Tetapi, mengapa Ahok, justru bersikap sebaliknya, dan kukuh dengan pendiriannya perlu lokalisasi kompleks pelacuran?
- Tentu, bagi kaum Muslimin di Jakarta, dan dimanapun, “clossing statement” Ahok, selalu mengatakan bahwa Indonesia bukan negara “agama”, tetapi Indonesia negara “sekuler”, ini sungguh sangat menyakitkan bagi Muslimin.
- Soeharto yang menjadi dedengkot Orde Baru, sejak berkuasa sampai turun, tidak pernah keluar dari mulutnya, Indonesia sebagai negara “sekuler”. Ahok sudah berulangkali mengatakan, bahwa Indonesia negara “sekuler”, dan bukan negara “agama”, maksudnya bukan negara Islam, dan tidak berhak Muslim mempraktekkan Syariah Islam.
- Apakah Ahok menginginkan di setiap sudut kota Jakarta dibangun kembali kompleks pelacuran? Apakah Ahok menginginkan legalisasi praktek-praktek pelacuran?
Inilah sorotannya.
Ahok: Perlu Lokalisasi Pelacuran dan Indonesia Bukan Negara Agama
JAKARTA - Ratusan Muslimah di
Pangandaran Jawa Barat mendatangi lokasi pelacuran di daerah pantai itu.
Ibu-ibu memasuki setiap pintu kamar pelacur, dan membawa para pelacur
keluar dari kamar mereka, dan menyerahkan kepada polisi. Dinaikkan ke
atas truk. Mereka dibawah ke kantor polisi, dan selanjutnya diserahkan
ke pembinaan panti sosial.
Ini reaksi Muslimah di Pangandaran yang
resah terhadap praktek pelacuran di Pangandaran. Mereka sangat
terganggu, dan takut terhadap masa depan anak-anak mereka, bukan hanya
dengan penyakit HIV, tetapi kerusakan moral akan akan meluas, dan
menghancurkan kehidupan masa depan mereka.
Kesadaran Muslimah yang bersifat
kolektif di daerah, terhadap ancaman riil bagi kehidupan mereka secara
massal. Sangat penting. Praktek pelacuran sudah menyebar di mana-mana.
Betapa, jika setiap Muslimah memiliki
kesadaran yang bersifat kolektif ini bersifat nasional, kemudian mereka
membuat gerakan seperti Muslimah di Pangandaran, pasti kehidupan akan
semakin baik.
Muslimah di manapun tidak lagi perlu
menunggu kebijakan pemerintah yang akan bertindak terhadap praktek
pelacuran. Karena tidak semua pemimpin daerah memiliki kesadaran yang
sama akan bahayanya praktek pelacuran ini terhadap kehidupan. Banyak
para pemimin daerah yang membiarkan praktek asusila, dan dijadikan objek
pemasukan pendapatan daerah (PAD).
Apalagi pelacuran di era sekarang ini
sudah menjadi industri. Ada perusahaan yang notabene usahanya di bidang
penyedia pelacur. Dengan pelanggan yang sangat luas. Memiliki sindikasi
jaringan skala nasional dan internasional. Melibatkan pejabat,
politisi, dan termasuk penegak hukum. Tidak heran, memberantas praktek
pelacuran begitu sangat sulit.
Tentu semua itu tergantung dari kemauan
baik politik (political will). Jika ada kemauan politik yang baik dari
elemen-elemen bangsa ini pasti akan dapat dihapus praktek pelacuran di
Indonesia.
Seperti sudah diberikan tauladan yang
baik oleh Walikota Surabaya Sri Rismaharani yang sudah bersumpah, pada
hari Pahlawan 10 Nopember, di Taman Bungkul, Surabaya, bahwa tahun 2014,
kota Surabaya akan bebas pelacur dan praktek pelacuran. Seiring dengan
Gubernur Jawa Timur, Sukarwo yang membebaskan Jawa Timur dari pelacur
dan pelacuran.
Di Surabaya ada lokalisasi kompleks
pelacuran terbesar di Asia Tenggara, Dolly. Kompleks pelacuran tertua di
Indonesia. Sudah ada sejak zaman Belanda. Dolly adalah mucikari
berdarah Belanda.
Sekarang ada tokoh Surabaya, kebetulan
memiliki jabatan dan kekuasaan, kemudiaan kekuasaan dan jabatannya itu,
digunakannya menghapus dan menghilangkan penyakit social yang berdampak
kepada kehancuran kehidupan.
Betapa mulianya Tri Rismaharani yang
dengan segala kesungguhan berkehendak dan bertujuan menghapus praktek
pelacuran yang sudah sangat tua itu. Tidak pernah ada sebelumnya pejabat
yang memiliki tekad menghapus praktek-praktek atau bisnis maksiat, dan
baru Sri Trimaharani ini.
Bila kelak Dolly tutup, dan kehidupan
berubah, Walikota Surabaya, Sri Rismaharani layak akan dikenang
sepanjang sejarah kehidupan manusia atas usaha yang menutup tempat
maksiat Dolly.
Sebaliknya, di acara Metro TV, Sabtu
malam menjelang dini hari, yang melakukan wawancara dengan Wakil
Gubernur DKI, Ahok dengan menggunakan baju koko, peci hitam di kepala,
selendang di pundaknya, seperti Muslim Betawi, justru secara tegas
ingin membuat kebijakan lokalisasi pelacuran di daerah kebayoran (di
Jakarta).
Alasannya melakukan lokalisasi pelacur
di sebuah komplek, sebagai langkah preventif menghindari menyebarnya
penyakit menular seperti HIV, dan penyakit kotor lainnya. Dengan adanya
kompleks lokalisasi pelacuran akan dapat dikontrol para pelacur yang
melakukan praktek seks, sekaligus kesehatan mereka dari kemungkinan
penyakit menular.
Di Jakarta pernah ada kompleks pelacuran
terbesar di kota ini, dan kemudian ditutup di zamannya Gubernur
Sutiyoso, dan sekarang dijadikan Islamic Center, dan berbagai kegiatan
dakwah berlangsung di bekas tempat kompleks pelacuran itu.
Ahok berulangkali mengatakan, praktek
pelacuran sudah menyebar luas di Jakarta, dan ada di mana-mana.
Mestinya, Ahok dengan kesadaran itu, berusaha menghilangkan praktek
kotor yang pasti akan menghancurkan kehidupan manusia. Mestinya, Ahok
tidak mentolelir segala bentuk dan praktek pelacuran yang ada.
Menggunakan kekuasaan dan jabatannya meghapusnya dengan kewenangan yang
dimilikinya.
Walikota Surabaya Sri Rismaharani
memiliki tekad menuutup kompleks Dolly, sebuah kompleks pelacuran
terbesar di Asia Tenggara, dan sebalumnya menutup kompleks pelacuran
yang ada di kota Surabaya, dan itu bisa dilakukannya. Tetapi, mengapa
Ahok, justru bersikap sebaliknya, dan kukuh dengan pendiriannya perlu
lokalisasi kompleks pelacuran?
Tentu, bagi kaum Muslimin di Jakarta, dan dimanapun, “clossing statement” Ahok, selalu mengatakan bahwa Indonesia bukan negara “agama”, tetapi Indonesia negara “sekuler”, ini sungguh sangat menyakitkan bagi Muslimin.
Soeharto yang menjadi dedengkot Orde
Baru, sejak berkuasa sampai turun, tidak pernah keluar dari mulutnya,
Indonesia sebagai negara “sekuler”. Ahok sudah berulangkali mengatakan, bahwa Indonesia negara “sekuler”, dan bukan negara “agama”, maksudnya bukan negara Islam, dan tidak berhak Muslim mempraktekkan Syariah Islam.
Apakah Ahok menginginkan di setiap sudut
kota Jakarta dibangun kembali kompleks pelacuran? Apakah Ahok
menginginkan legalisasi praktek-praktek pelacuran? Apakah Ahok
menginginkan praktek pelacuran menjadi praktek bisnis, seperti bisnis
yang lainnya, seperti sekarang yang berkembang di daerah Gajah Mada,
Hayam Wuruk, dan Kota?
Apakah Ahok menginginkan kota Jakarta
seperti Macau, menjadi pusat judi dan pelacuran dunia? Hanya karena
Indonesia menurut Ahok, bukan negara “agama”? Wallahu a’lam. *mashadi. (voa-islam.com)
Senin, 5 Safar 1435 H / 9 Desember 2013 09:55 wib
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar