“Ih, tidak terbayang aku bercinta dengan seorang kakek yang sudah bau tanah,” celoteh seseorang yang melintas di depan teras rumah. Yang di sampingnya bercakap pelan,”Bagaimana lagi? Saya hanya perlu uangnya.” Dan keduanya tertawa terkikik sambil melirik ke arah perempuan yang duduk di depanku. Aku duduk di hadapannya dengan kikuk. Sebab jika aku tersenyum, aku kuatir perempuan itu mengira aku ikut menertawai dirinya.
“Jadi bagaimana, Mbak?” Kembali aku menanyakan kepadanya soal bantuan yang hendak diterima olehnya sebagai warga
“Saya ini masih mampu bekerja, Mas. Coret saja nama saya dari daftar Mas itu,” kata-katanya terdengar agak ketus.
“Besar bantuan ini cukup layak lho, Mbak. Coba Mbak pikirkan sekali lagi.”
Uang sebanyak tiga ratus ribu sebulan memang tidak cukup untuk hidup di kota besar, tapi jika hanya untuk seorang diri saja masih layak lah. Apalagi rumah sudah punya dan masih bekerja juga. Tapi entah kenapa sepertinya dia sangat berat untuk mengiyakannya.
“Sekarang ini, mana ada yang menampik bantuan, Mbak. Ini bantuan dari yayasan tempat saya bekerja. Tidak ada imbalan atau manfaat apa pun yang hendak saya dapatkan dari pemberian bantuan ini.” Aku masih berusaha meyakinkan kepadanya akan niatan baik ini.
Dia hanya tersenyum. Senyuman yang manis. Pantas saja jika banyak lelaki yang terpikat kepadanya. Tiba-tiba aku teringat tentang lelaki yang tewas di atas perutnya itu. Bagaimana ceritanya mereka bisa bertemu? Perempuan ini berdiri di tengah jalan dan melambai ke arah mobil lelaki itu, atau lelaki itu sengaja keluar dari rumahnya untuk mencari perempuan seperti dia? Aku pun mendatanginya sekarang meskipun bukan untuk menggunakan jasanya. Aku tak habis pikir bagaimana pelacuran bisa dikategorikan pekerjaan jasa padahal yang terjadi adalah penghambaan manusia akan uang dan nafsu. Sok moralis! Demikian tuduhan temanku ketika aku menolak terlibat korupsi di kantor. Demikian pula saat aku menolak ikut serta ke sebuah ruang karaoke yang sudah berisi beberapa perempuan setengah telanjang. Aku terlalu takut melakukan hal yang menurutku sendiri tidak pantas kulakukan. Dosa? Aku tidak berpikir sejauh itu. Begini, untuk soal korupsi, aku merasa tidak pantas melakukan karena dulu waktu diterima bekerja di yayasan ini gajiku sudah ditentukan. Apabila aku melakukan korupsi maka aku akan mendapatkan uang yang lebih banyak dari gajiku. Sementara aku tidak bekerja lebih keras ataupun lembur. Lebih-lebih soal perempuan. Aku belum menikah, makanya aku merasa tidak pantas melakukan hal yang seharusnya kulakukan dengan istriku sendiri. Jadi bukan karena aku merasa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh teman-temanku itu sebagai dosa.
Dia masih tersenyum. Matanya menatap ke arah map yang aku letakkan di atas meja, penghalang antara aku dan dia, di teras ini.
“Bagaimana ya?” Dia bertanya sendiri, lalu melanjutkan bicara,”Biasanya lelaki datang kepadaku dengan berbagai alasan tetapi pada akhirnya mereka pasti minta imbalan.”
Setetes keringatku jatuh. Sejak awal menginjakkan kaki ke rumahnya, aku sudah menduga bahwa tuduhan seperti ini pasti akan terlontar olehnya. Aku pun tersenyum.
“Maaf. Jika terpaksa saya katakan tuduhan Mbak sama sekali salah. Saya tidak pernah menginginkan apapun dari Mbak,”tandasku.
“Dia juga pertama bilang seperti itu.”
“Dia? Dia siapa?”
“Laki-laki tua yang tewas di atas tubuhku,” lalu dua buah titik air matanya mengembang di pelupuk mata sebelum akhirnya luruh menjalur di kedua pipinya.
Aku terdiam. Dari mulutku ingin terucap kata-kata aku beda dengan laki-laki itu, atau tidak semua laki-laki yang berbuat baik menginginkan sesuatu dari seorang perempuan. Tapi semuanya itu tertahan. Percuma ada pembelaan diri. Biarlah dia puas menumpahkan cengkunek di hatinya. Siapa tahu dari ceritanya aku mendapat ide naskah drama.
“Memang apa yang dijanjikan kepadamu?” Akhirnya aku ber-aku kamu kepadanya untuk menghilangkan kesenjangan di antara kami.
“Tidak. Dia tidak menjanjikan apa-apa. Dia cuma berkeluh tentang hidupnya.”
“Bukankah itu sudah biasa? Lelaki mengeluhkan tentang kehidupannya, terutama kehidupan cintanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan.”
“Tidak. Tidak. Ini berbeda,” kedua belah telapak tangannya ditutupkan ke wajahnya. Rupanya dia masih trauma dengan kejadian itu.
“Dia bercerita tentang anjing, pelacur, dan surga.”
“Sepertinya aku pernah mendengar cerita itu,” kataku.
“Tentang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing?” Dia bertanya.
“Ya. Benar. Cerita itu.”
Kali ini dia benar-benar menangis dan berkata,”Coba kau ceritakan kisah itu kepadaku.”
Sebenarnya, aku tidak begitu ingat cerita itu. Yang aku tahu, suatu ketika di sebuah daerah yang gersang ada seorang pelacur yang sangat kehausan. Dia berjalan jauh untuk mencari perigi. Lalu ketika dia hendak minum, tampak olehnya seekor anjing yang hampir mati kehausan. Pelacur itu berbaik hati, dengan tangannya dia memberikan air untuk anjing itu minum. Keduanya, setelah puas minum, tanpa sebab yang jelas menemui ajalnya. Ternyata karena kebaikannya memberi minum kepada anjing sekarat, pelacur itu masuk surga.
Kudengar dia terisak.
“Apa yang salah?”
“Tidak. Tidak ada. Kau pun tahu cerita itu, Mas. Aku senang sekali mendengar akhirnya. Pelacur itu masuk surga. Itu impian saya, Mas.”
“Lantas, apa hubungannya antara cerita itu dengan lelaki tua itu?” Selidikku.
“Dia bilang, dia adalah anjing yang sedang sekarat itu. Anjing yang sangat kehausan. Dan aku, katanya, adalah pelacur yang di tangannya ada segenggam air. Lalu dia ”
“Dengan cerita seperti itu, kamu percaya begitu saja kepadanya?”
“Bukan. Bukan seperti itu. Hanya dialah lelaki yang menjanjikan surga kepadaku. Makanya malam itu, aku ingin sekali memuaskannya. Dan dia setuju. Kami sama-sama ingin masuk surga.”
Aku tersenyum. Betapa bodohnya perempuan ini. Betapa rapuhnya dia akan janji surga seorang lelaki. Aku ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan karena hal itu bisa merusak suasana.
“Bukankah kamu memang selalu menjanjikan surga kenikmatan kepada semua laki-laki?” Terpaksa aku bertanya sedikit ketus kepadanya, sebab semua yang dia ceritakan benar-benar tidak masuk akal bagiku.
“Kamu salah menilai! Kemarin malam itu, pada telapak tanganku benar-benar muncul segenggam air. Namun lelaki tua itu ternyata bukan seekor anjing yang kehausan. Dia telah menipu aku.”
Aku mulai menganggap perempuan itu sedikit terganggu pikirannya karena cerita pelacur dan anjing itu. Namun perempuan ini rupanya masih ingin berkutat dengan cerita itu. “Ternyata ceritanya tentang surga itu benar, Mas.”
“Surga? Apakah kau sudah melihat surga?”
“Ya. Pada saat itu aku melihat langit-langit kamar terbuka. Ada tangga dari emas menjuntai. Aku dan lelaki itu sama-sama melihat ke atas. Pintu surga dari emas juga terbuka. Ada taman yang sangat indah.”
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku sudah tak tahan mendengar kebohongan seperti ini. Yang mengejutkan, dia menatapku dengan mata yang berbinar. Ada apakah gerangan?
“Mas, aku tidak butuh bantuanmu. Uang dari yayasan itu sama sekali tidak menarik bagiku. Tetapi jika boleh, aku ingin minta tolong sekali ini saja.”
“Apa itu?” Tanyaku curiga. Jangan-jangan dia mulai menganggapku sama seperti lelaki tua itu, sebagai anjing yang kehausan yang bisa mengantarnya masuk surga.
“Carikanlah untukku seekor anjing yang sekarat karena kehausan.”
Jakarta, 16 Juli 2007
(http://www.kumcer-dedy.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar