Istilah “PSK” ini sebenarnya dilematis.
Kepanjangannya “Pekerja Seks Komersial.” Ada kesan dalam istilah ini
bahwa pelacuran adalah bagian dari pekerjaan. Mereka bekerja dengan
menjajakan seks untuk mendapatkan bayaran. Ada kesan di sini, kita (bisa
jadi pemerintah, pers, atau seluruh anak bangsa)—lewat istilah “PSK”
itu—tidak bersungguh-sungguh untuk menanggulanginya, bahkan
menganggapnya sebagai “pekerjaan” dan mengakomodasi tindakan tercela
seperti itu.
Gejala Patologis
Pelacuran atau prostitusi berasal dari Bahasa Latin “prostituere” yang berarti “menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.” Kata “pelacuran” yang kerap kita pakai di Indonesia umumnya, dirumuskan sebagai “penyerahan badan wanita dengan pembayaran kepada laki-laki guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu” (Dirdjosisworo, 1970).
Fenomena pelacuran adalah bagian dari
gejala patologis (sakit/abnormal) yang ada di masyarakat kota. Di
desa-desa, hal seperti ini jarang terjadi. Tapi di kota—terutama yang
mobilitas penduduknya bagus—kerap saja terjadi pelacuran. Fenomena ini
terjadi di berbagai tempat. Di kota besar seperti Jakarta, sampai saat
ini masih tidak bisa lepas dari fenomena itu. Walau lokalisasi Kramat
Tunggak telah dialihfungsikan menjadi Islamic Center, tapi fenomena
patologis ini masih tetap ada. Begitu juga di Surabaya, lokalisasi Dolly
dibuat karena ada bagian dari masyarakat yang “sakit.”
Kenapa bisa ada anak sekolahan yang berprofesi sebagai PSK? Ada beberapa sebabnya. Pertama,
faktor ekonomi. Bisa jadi, ia melakukan tindakan haram itu karena
terjepit secara ekonomi. Orang tuanya pas-pasan, adiknya juga banyak,
akhirnya untuk menutupi kebutuhan hidupnya, maka ia mencari jalan pintas
untuk dapat uang, yaitu dengan melacur. Bagi anak sekolah seperti ini,
bisa jadi ia tidak menganggap ini sebagai pelacuran (kata “pelacur”
masih konotatif sifatnya). Ia menganggapnya sebagai salah satu cara
untuk mendapatkan uang. Jadi, faktor halal dan haram (yang ada dalam
agama) terlupakan begitu saja.
Siswa yang melakukan tindakan seperti
itu, bisa jadi juga karena ia tinggal di kos-kosan dan jauh dari
keluarga. Ini masih senada dengan faktor ekonomi. Keluarganya berada di
daerah, di sana pendapatan mereka tidak begitu menggembirakan, akhirnya
untuk menutupi kebutuhannya di sekolah dan biaya sehari-hari, maka ia
berbuat seperti itu. Ini menjadi problema tersendiri dalam masyarakat
kota yang sedang berkembang.
Kedua, faktor urbanisasi. Di
Jakarta, misalnya, biasanya setelah Idul Fitri, banyak pemudik baru yang
datang ke kota. Mereka bertujuan untuk mencari nafkah. Tapi, di kota
besar ini—apalagi jika minim skill—seseorang akan tergusur dan
akan—mengutip istilah dalam birokrasi kita—di-“non-job”-kan oleh
kehidupan. Karena tidak dapat kesempatan kerja, akhirnya ada saja yang
mencari jalan pintas. Mungkin saja ia berpikir bahwa ia sendiri pernah
melakukan pacaran, dan itu sudah lumrah. Akhirnya, ia terjun ke dalam
“pekerjaan” seperti itu. Sikap seperti ini ada saja terjadi. Terdapat
kesan, betapa rapuhnya nilai-nilai susila dan keagamaan dalam
masyarakat.
Begitu juga yang datang ke kota Ternate.
Mereka ke sini dengan berbagai motif. Ada yang datang karena ingin
mencari kerja, atau ada juga yang sekedar iseng jalan-jalan, namun tidak
bisa pulang. Mereka yang mencari kerja ini, bisa jadi memang sejak awal
sudah memiliki “kesalahan” dalam hubungan dengan kawan dekatnya,
kemudian ketika tiba di Ternate, mereka mau tak mau mengikuti
kehendaknya untuk itu (dengan pertimbangan cari makan).
Ketiga, faktor psikologis. Bisa
jadi, seseorang jadi PSK karena ingin balas dendam. Mungkin, karena
pusing dengan pacarnya (atau mantan pacarnya), sehingga ia memilih untuk
itu. Ia sepertinya ingin buktikan bahwa ia juga bisa. Lagu-lagu
Indonesia yang banyak menyenandungkan masalah selingkuh, turut juga
memberikan pengaruh bagi mereka. Mereka berpikir, “kalau pacarku bisa
selingkuh, aku juga bisa!” (sebuah sikap hidup yang jauh dari kadar
rasionalitas). Dimulai dari kata “selingkuh” itu, akhirnya lama-lama ia
berpikir bagaimana mendapatkan uang, tapi tetap enak, jadilah ia melacur
(secara sadar atau tidak sadar).
Faktor mode juga menentukan di sini. Ada
kalanya karena ingin ikut-ikutan sama teman, akhirnya terjerumus.
Keinginan untuk mendapatkan barang yang bagus di mall atau toko turut
memberikan mereka stimulus untuk itu. Ini masih terkait dengan ekonomi.
Ia ingin pakai barang mahal (seperti HP bagus, android tablet, atau
pakaian modis nan mahal berkelas), namun tidak ada uang. Kemudian, di
sisi lain, ada saja laki-laki berduit yang mencari anak-anak ABG.
Akhirnya, perantara yang mencarikan itu (tentu dengan imbalan) juga
berusaha keras untuk memuaskan pelanggan hotelnya itu. Peran pihak hotel
juga menentukan di sini. Jika ada oknumnya yang menjadi perantara bagi
seks terselubung ini, maka perlu diberikan sanksi, kalau perlu diadukan
ke polisi.
Solusi Terbaik
Untuk menanggulangi pelacuran, ada beberapa solusi yang baik dilakukan. Pertama,
untuk perlu ada penggalakan nilai keagamaan di sekolah. Bukan sekedar
kegiatan seremonial seperti peringatan Isra Mi’raj, akan tetapi ada
pembinaan keislaman yang berkelanjutan. Misalnya, siswa-siswa diberikan
kewajiban untuk mengikuti pengajian rutin mingguan dengan hafalan
ayat-ayat al-Qur’an (bagi yang telah lancar mengajinya). Pendekatan
agama penting untuk hal ini, karena agamalah yang setidaknya bisa jadi
fungsi penekan agar manusia tidak berlaku zhalim. Selain itu, dengan
adanya lingkungan sekolah yang peduli agama, akan memberikan efek kepada
siswa bahwa mereka juga harus berlaku yang sesuai agama.
Kedua, ada baiknya pemerintah
lebih serius untuk membuka lapangan kerja. Anak sekolah yang terjun
menjadi PSK bisa jadi karena tidak ada uang. Namun, itu juga ada
kemungkinan dipengaruhi oleh “senior-senior”-nya yang telah jadi PSK.
Nah, bagi mereka yang sudah lama jadi PSK, ada baiknya tidak hanya
didata, tapi diberikan peluang pekerjaan. Pemerintah perlu bekerjasama
dengan lembaga-lembaga sosial atau ekonomi agar memberdayakan mereka dan
meminta komitmennya untuk berhenti dari perbuatan haram tersebut.
Ketiga, peran besar keluarga.
Keluarga adalah tempat pertama seorang anak mendapatkan pendidikan.
Maka, pendidikan keluarga perlu diperhatikan. Orang tua jangan hanya
menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah. Ia harus perhatikan bagaimana
anaknya bergaul. Jika anaknya itu punya akun seperti Facebook, maka
orang tua juga ada baiknya mengetahui dengan siapa ia bergaul, apa saja
yang dilakukannya kalau online, karena tidak menutupkemungkinan ada saja
pengaruh pergaulan negatif dari dunia maya yang berdampak dalam
kehidupan nyata. Olehnya itu, pihak keluarga perlu memperhatikan dengan
baik anak-anak yang menjadi tanggungannya agar tidak terjerumus dalam
tindak yang asusila. [YANUARDI SYUKUR/http://yanuardisyukur.wordpress.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar