Kamis, 25 Juni 2015

Kisah Politik di Balik Prostitusi


Kisah Politik di Balik Prostitusi
Aku pelacur tulen.
Tapi aku penari sejati.
Dan aku Belanda berdarah Indonesia.
-Kutipan Novel Namaku Matahari, Remy Sylado -
Saat semua berita di media massa dan jejaring sosial heboh atas kasus prostitusi yang membawa nama seorang artis yang tiba-tiba menjadi tenar “AA”, saya justru teringat tokoh Matahari dalam novel Namaku Matahari karya Remy Sylado. Novel sejarah ini bercerita tentang seorang perempuan yang bernama asli Margaretha Geertruida Grietje Zelle yang akhirnya terkenal dengan inisial Matahari.
Dalam berbagai catatan sejarah yang diramu kembali oleh Remy Sylado, Matahari dikisahkan adalah seorang pelacur, penari, sekaligus spionase yang menjadi agen ganda bagi dua negara sekaligus yakni Prancis dan Jerman pada Perang Dunia I. Matahari seorang perempuan Belanda berdarah Indonesia.
Hidup di seputar akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Matahari dalam gagasan dan gugatan Remy Sylado menurut tafsir saya adalah perlambang dari kehadiran politik di balik prostitusi. Bung Karno sendiri mengakui bahwa tempat persembunyian terbaik adalah rumah pelacuran dan mata-mata terbaik di dunia adalah para pelacur.
Bahkan menurut sebuah sumber, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno memiliki 670 anggota dari para kalangan pelacur yang kelak memiliki peran besar bagi pergerakan PNI menjadi partai yang memperoleh pendukung luas di Indonesia, sekaligus sebagai alat perjuangan pada masa revolusi.
Belajar dari fakta sejarah tersebut, maka bukan hal yang tabu untuk melihat kemunculan berbagai berita dan kehebohan kasus prostitusi yang kini tersebar adalah bagian dari upaya ‘politisasi prostitusi’. Sebagaimana kisah Matahari, kasus AA hanya dipinjam untuk menutupi kedok yang sebenarnya dari puluhan peristiwa politik yang bersembunyi di balik kasus prostitusi yang kini sedang heboh dibicarakan. Karena bukankah seksualitas senantiasa menjual dan selalu laku?
Apalagi kita mengenal sebuah diktum; ketika politik dan negara sudah terlalu menjenuhkan untuk dibahas, mari membicarakan seks!
Masyarakat Hedonis
Prostitusi baik atas nama kalangan elite sampai kalangan rendah, dari kelas hotel berbintang lima sampai kelas kaki lima sudah ada sejak zaman purba. Bisnis ini adalah bisnis layaknya barang konsumsi apalagi di tengah masyarakat konsumerisme. Prostitusi telah berkembang menjadi industri gaya hidup dari masyarakat hedonis yang kini sedang berlangsung (baca buku; Masyarakat Konsumsi Jean Baudrillard).
Oleh sebab itu, rasanya aneh jika banyak yang seolah kaget dengan terlibatnya sejumlah artis dalam kegiatan prostitusi. Karena sebenarnya kita semua mahfum bahwa kegiatan prostitusi ada di mana-mana dan melibatkan berbagai kalangan dan profesi.
Apalagi keterlibatan artis dalam bisnis prostitusi sebenarnya bukanlah informasi baru, karena mereka sendiri adalah ikon dari prilaku hedonisme dalam masyarakat konsumsi yang kini tengah berlangsung.
Sudah bukan rahasia umum, para artis adalah objek dari fantasi seks kalangan berduit. Mereka adalah incaran para pengusaha sampai kalangan politisi. Seperti juga matahari yang seorang penari dan artis pada zamannya, maka AA yang model dan bintang film era abad ini sama-sama sedang dijebak dalam sebuah situasi politik yang sedang panas.
Mereka berdua adalah bagian dari korban politik yang sedang berusaha bersembunyi dibalik kemolekan dan fantasi banyak orang atas mereka. Saya menduga, ada banyak peristiwa yang sedang berusaha ditutupi dari mata publik yang kini sedang sibuk mencari tahu artis siapa lagi yang menjadi rekan kerja AA dari 20 inisial yang dimiliki oleh sang germo RA.
Akhirnya publik mulai lupa bahwa kinerja pemerintahan d ibidang ekonomi masih begitu buruk yang bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 4,7 %, harga BBM yang naik turun, kekisruhan kepolisian dan KPK yang juga belum berakhir, reshuffle kabinet yang tengah panas, sampai pada meluasnya ketidak percayaan publik atas rezim baru yang semakin hari semakin jauh dari harapan.
Konsentrasi publik berganti dengan perbincangan tebak-tebakan inisial, mahalnya harga masing-masing artis untuk short time dan long time. Modus seperti ini memang terbukti ampuh untuk mengalihkan mata dan perbincangan publik yang mulai bosan menghitung harga beras yang terus merangkak naik turun dan mereka yang mulai kelelahan dengan keributan politik.
Standar Ganda
Hebohnya kasus AA adalah bukti ada standar ganda yang dimiliki oleh publik sendiri. Pada satu sisi, seolah publik negeri ini ingin secara beramai-ramai menghukumi apa yang dilakukan oleh para artis tersebut sebagai sebuah tindakan asusila dan bertentangan dengan standar moralitas.
Namun, pada sisi yang lain tidak sedikit dari mereka yang berbicara tentang moralitas tersebut justru diam-diam sibuk mencari foto-foto seksi sang artis di internet, mencoba mencari tahu siapakah inisial artis yang belum terungkap lalu berakhir dengan menonton adengan syur sang artis lewat kanal Youtube.
Bukti lain, mari lihat rating televisi untuk sejumlah tayangan yang menampilkan ekspolitasi tubuh para artis yang suka pamer paha dan belahan dada, hampir pasti senantiasa di atas. Film yang bernuasa ‘horor esek-esek’, senantiasa laku dipenuhi para penonton dibandingkan film yang bertema edukatif. Lantas yang manakah disebut sebagai moralitas publik itu ?
Inilah sifat paradoks dari masyaarakat moderen, masyarakat yang memiliki moralitas berstandar ganda. Karena itulah maka tak heran WS Rendra menulis sebuah puisi ; Bersatulah Pelacur-Pelacur ibu kota Jakarta”. Puisi yang menggambarkan bahwa mereka pelacur-pelacur dari kelas rendah sampai kelas tinggi, dari sarinah sampai dasimah, mereka para pegawai kantoran sampai swasta, yang harus rela menjual paha karena kemiskinan dan ijazah yang tak terpakai.
Seperti juga kisah Matahari dan kini AA yang menjadi korban dari kejamnya dunia yang menjadikan mereka sebagai trik tipuan mata untuk bersembunyi dari kebenaran yang sedang terjadi. Para tuan-tuan yang menjadikan seks sebagai sarana menutupi aib politik, membuat mata publik terlena dan lalu lupa diri, merekalah para pelacur-pelacur sebenarnya! Sebagaimana kata Rendra ;
Saudari-saudariku.
Bersatulah Ambillah galah,
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota,
Sebagai panji yang telah mereka nodai, Kinilah giliranmu menuntut…
Oleh;
Rahmad M Arsyad
Anggota Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI) Sulsel
(makassar.tribunnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar