Jumat, 17 Mei 1912.
Batavia gempar. Sesosok mayat wanita muda ditemukan membusuk.
Tubuh si mayat berada di dalam karung beras yang mengambang.
Kedua tangannya terikat. Melihat keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa wanita
muda yang telah menjadi mayat itu adalah korban pembunuhan.
Pada bulan-bulan berikutnya, diketahui bahwa mayat itu bernama
Fientje de Feniks. Seorang wanita Indo berumur sekitar dua puluh tahun yang
berprofesi sebagai "nona goela-goela" alias pelacur. Ia tercatat
sebagai anggota dari "roemah plesiran" yang dikelola oleh mantan
pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, pembunuhnya
diketahui adalah seorang pria Belanda. Namanya Willem Frederik Gemser Brinkman.
Pria ini dikenal sebagai seorang hartawan yang berstatus sebagai pegawai
Gouvernement Bedrijven. Ia adalah pelanggan sang pelacur.
Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Asal mula
permasalahannya muncul, ketika ia menggundik wanita itu dan menyuruhnya untuk
tidak melacurkan diri lagi. Namun, Fientje tetap melakukan profesinya. Brinkman
lalu memergoki nyai-nya bersama pria lain. Ia menjadi panas hati dan pembunuhan
yang terencana pun terjadi.
Kasus ini kemudian dibawa ke Raad van Justitie. Proses
peradilannya memakan waktu dua tahun. Brinkman dan puluhan saksi dihadirkan
dalam persidangan. Sang tersangka dibela oleh pengacara terkenal Mr. Hoorweg.
Dengan didampingi pembela yang piawai, Brinkman dinyatakan tidak bersalah.
Kasus yang menggemparkan ini terus menjadi pembicaraan
masyarakat Batavia. Koran-koran terus memuatnya sebagai berita utama. Raad van
Justitie pun mencatat proses persidangannya secara cermat dan teliti. Dengan
data yang berlimpah, tak heran apabila kematian Fientje de Feniks ini menjadi
satu di antara banyak kejadian nyata yang dibukukan sebagai novel pada dekade
awal abad ke-20.
Memang, sastra Melayu-Rendah mulai membangun tradisi sejak
munculnya Hikayat Nyai Dasima pada 1896. Kejadian nyata yang sensasional sering
diangkat menjadi tema cerita dalam novel.
Umumnya, kejadian nyata itu berupa kasus-kasus pembunuhan.
Hal ini berlangsung setidaknya hingga 1930-an. Tak aneh apabila novel-novel
pada masa itu lazim mengidentifikasikan diri sebagai "satoe tjerita jang
betoel soeda terdjadi".
Pembunuhan Fienjte de Feniks yang sensasional itu dibukukan
menjadi novel berjudul Nona Fientje de Feniks, atawa djadi korban dari
tjemboeroean. Edisi pertama novel ini diterbitkan tahun 1915. Penulisnya adalah
seorang Tionghoa peranakan bernama Tan Boen Kim (TBK).
Di dalam buku Literature in Malay by the Chinese of
Indonesia: a Provisional Annotated Bibliography (1981), Claudine Salmon
mengatakan bahwa TBK dilahirkan pada 1887. Tidak diketahui apakah TBK mendapat
pendidikan formal atau tidak. Namun yang pasti, ia adalah seorang jurnalis yang
berpengalaman.
Pria ini pernah menjadi direktur harian Tionghoa peranakan
Thjioen Thjioe di Surabaya 1916. Setahun kemudian, ia bekerja sebagai editor
mingguan Ien Po di Batavia. Tahun 1926, TBK hijrah ke Palembang selama beberapa
bulan dan bekerja untuk mingguan Kiao Po.
Tulisan-tulisan TBK terkenal sangat tajam dan kritis. Ia
sering keluar masuk penjara karena buah penanya. Tak jarang, ia dianiaya oleh
orang-orang yang tidak meyukai tulisan-tulisannya. Oleh karena itu, TBK menjadi
terkenal sebagai orang yang kenjang dibatjok dan keloear masoek pendjara.
Nona Fientje de Feniks adalah novel TBK yang paling sukses.
Karyanya ini adalah perpaduan antara keakuratan data dan kelincahan bercerita.
Kesuksesan novel tersebut telah membuat TBK menulis kelanjutan ceritanya: Njai
Aisah atawa djadi korban dari rasia dan G. Brinkman atawa djadi korban
perboeatannja. Kedua novel ini juga diterbitkan pada 1915.
Seperti halnya novel pertama, kedua sekuel ini pun diangkat
dari kisah nyata yang merupakan kelanjutan kasus Fientje de Feniks. Ceritanya
seputar kisah hidup Brinkman yang menjadi buronan polisi setelah dinyatakan
tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Fientje.
Setelah sekian lama menjadi pelarian karena melakukan
perampokan-perampokan dan pembunuhan terhadap Aisah, istri dari salah satu
anggota komplotannya, Brinkman akhirnya tertangkap dan diadili. Ia divonis
hukuman mati. Di ujung cerita, ia dikisahkan melakukan bunuh diri di penjara.
Kematian Brinkman mengakhiri cerita berantai Fientje de Feniks.
Kedua novel lanjutan ini juga terbilang sukses. Dengan latar
belakang kesuksesan itu, pada 1916 TBK menggabungkan trilogi Fientje de
Feniks-nya ke dalam satu buku. Akan tetapi, ceritanya tidaklah lagi berbentuk
prosa melainkan dalam bentuk syair. Buku itu berjudul Sair Nona Fientje de
Feniks dan sekalian ia poenja korban jang bener terdjadi di Betawi antara taon
1912-1915.
Cerita Fientje de Feniks yang ditulis oleh TBK memang
fenomenal dan menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Pramoedya
Ananta Toer. Ia mengadaptasi kisah nyata kematian pelacur Indo kelas atas yang
legendaris ini ke dalam alur cerita Rumah Kaca (1988).
Dalam novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru itu, nama
Fientje de Feniks diubah menjadi Rientje de Roo. Wanita ini juga dikisahkan
menjadi seorang pelacur yang dibunuh. Bedanya, Pram mengisahkan Rientje de Roo
memiliki seorang pelanggan bernama Jacques Pangemanann yang menjadi tokoh utama
cerita.
Ketika Rientje dipanggil untuk "dipakai",
Pangemanann mendengar kabar bahwa bahwa sang pelacur telah mati. Tidak
diceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Cerita Rientje
hanya dipaparkan sebatas hubungannya dengan tokoh utama. Akan tetapi, kisah
kematian yang diselipkan ini turut membangun cerita utama Rumah Kaca secara
keseluruhan.
Selain Pram, penulis lain yang tampaknya terinspirasi oleh
karya TBK ini adalah seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Peter van
Zonneveld. Ia menulis buku De Moord op Fientje de Feniks (Pembunuhan Fientje de
Feniks) yang diterbitkan pada 1992.
Kesuksesan trilogi Fientje de Feniks dan buku syairnya
ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan sang penulis. TBK menjalani
tahun-tahun terakhir kehidupannya dalam kemelaratan. Ia diketahui tinggal
menumpang dalam sepetak ruangan Jinde Yuan, salah satu kelenteng tertua di
Jakarta hingga akhir hayatnya. Sungguh sangat ironis.
Untungnya, satu perhargaan tak terhingga diberikan kepada
TBK oleh Leo Suryadinata. Sinolog terkemuka ini mengabadikan riwayat hidup TBK
di dalam bukunya Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (1995).
Lewat buku yang berisi biografi orang-orang Tionghoa
peranakan terkemuka ini, Leo menyatakan bahwa TBK adalah seorang Tionghoa
peranakan yang unggul di bidangnya. Penilaian ini bukan tanpa alasan.
Kesuksesan menulis trilogi Fientje de Feniks menjadi salah
satu pertimbangannya. Selain itu, produktivitas TBK dalam menulis juga menjadi
nilai tambah. Ia tercatat telah menghasilkan lebih dari 20 karya selama periode
1912-1933. Umumnya, karyanya berupa novel yang diangkat dari kisah nyata.
TBK memang telah meninggal pada 1959. Namun, kisah tentang
tragedi sang pelacurnya tetap hidup dan menginspirasi banyak orang.
IRAWAN SANTOSO S.B.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik ”Khazanah” Harian Umum
Pikiran Rakyat edisi 9 Juni 2007 Description: Tan Boen Kim dan Tragedi Sang
Pelacur Rating: 5 Reviewer: Arif Rohman ItemReviewed: Tan Boen Kim dan Tragedi
Sang Pelacur.
(Sumber: http://arifrohmansocialworker.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar