Jumat, 06 Juni 2014

Lawan Belanda, Bung Karno Mengumpankan Pelacur

* Gerwani dan Tragedi 1965

Foto: detikcom

Pada kurun waktu tahun 1926 sampai 1927 ketegangan antara pejuang-pejuang revolusi, -yang dipelopori Sukarno dan kawan-kawannya-, dengan pemerintah kolonial Belanda kian meningkat. Para pelopor revolusi bertekad menggulingkan pemerintah Belanda.

Sukarno pun dianggap menjadi duri paling besar bagi Belanda. Dia menjadi tokoh yang paling diburu. Dua detektif sengaja dikerahkan Belanda untuk memata-matai kegiatan sehari-hari Sukarno.

Walhasil Sukarno harus menggelar sejumlah pertemuan penting dengan kaum pemuda pergerakan secara sembunyi-sembunyi. Antara lain di bagian belakang sebuah mobil sambil menundukkan kepala.

“Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan adalah rumah pelacuran. Jadi berapatlah kami di sana, di tempat pelacuran, sekitar jam delapan dan sembilan malam,” Kata Sukarno seperti dikisahkan dalam buku 'Penjambung Lidah Rakjat' yang ditulis Cindy Adam.

Rumah pelacuran dipilih agar aman dari tuduhan akan menggulingkan pemerintah Belanda. Dalam perkembangannya, Sukarno akhirnya merekrut juga para wanita penghibur itu dalam gerakan kemerdekaan.

Bagi Sukarno, pelacur adalah mata–mata paling baik di dunia. Terdapat 670 orang pelacur yang masuk ke dalam PNI di Bandung. Sukarno mengakui bahwa para pelacur ini adalah angggota yang paling setia dan patuh dari pada anggota lain yang pernah ia ketahui.

“Kalau menghendaki mata – mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini (mata – mata ),” kata Sukarno.
Sukarno dapat menyuruh mereka menggoda polisi belanda untuk menggali rahasia. Sebab, jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia. Hasilnya, sejumlah informasi rahasia Belanda bisa didapat oleh Sukarno.

Tak hanya informasi, dari para pelacur itulah organisasi PNI yang didirikan Sukarno mendapat pasokan dana. “Sokongannya (pelacur) besar ditambah lagi dengan sokongan tambahan. Aku dapat menggunakannya lebih dari itu,” kata Sukarno.

Tindakan Sukarno yang memasukkan para pelacur ini mendapat tekanan hebat dan perdebatan luar biasa dari anggota pengurus lain. Salah satunya adalah Ali Sastromidjojo.

“Sangat memalukan,” keluh Ali seperti dikisahkan Sukarno kepada Cindy Adam. “Merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal,”

“Kenapa? Mereka (pelacur) jadi orang revolusiner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit,” jawab Sukarno.

“Ini melanggar asusila,” kata Ali tak kalah galak.

“Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?” tanya Sukarno kepada Ali.

“Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral, tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya yang kuperlukan” kata Sukarno.

Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia I Gusti Agung Ayu Ratih, perdebatannya dengan Ali Sastroamidjojo soal kepantasan melibatkan pelacur menunjukkan kebesaran jiwa Sukarno sebagai pejuang. “Saya kira inilah kehebatan Sukarno ya. Sebagai pemimpin gerakan pembebasan dia tidak pandang bulu siapa yang dapat diajak berjuang bersama. Cerdas sekali,” kata Ayu kepada detikcom, Senin (16/9/2013) lalu. (Sumber: http://news.detik.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar