Selasa, 03 Juni 2014

Menutup Lokalisasi Bukan Solusi Memberantas Pelacuran!

Bismillah, Judul artikel ini terkesan sangat provokatif, malah saya bisa dianggap mendukung pelacuran ataupun perzinahan! Agar tidak terjadi salah paham, maka ada baiknya anda membaca artikel ini dengan teliti dan hingga tuntas.
Lebih dari 6 tahun lalu, saya pernah menulis artikel bahwa memberantas pelacuran itu gampang gampang susah. Disebut gampang jika yg dilakukan hanyalah menutup lokasi pelacuran. Gampang juga untuk membubarkan dan memulangkan para pelacur ke daerahnya masing-masing ataupun mengirim para pelacur ke panti sosial. Susah jika kita mesti dihadapkan dg mental para pengguna pelacur ataupun dari para pelacur (dan germo) serta orang2 yg menggantungkan hidupnya dari aktivitas yg terkait (langsung/tidak langsung) dari pelacuran.
Beberapa waktu terakhir ini, saya membaca ada wacana untuk membubarkan Dolly, sebuah kompleks pelacuran terbesar yg berada di Surabaya. Saya setuju dengan tindakan ini, namun seperti tulisan saya sebelumnya, saya harap pemerintah dan para ulama serta masyarakat sekitar mesti mempertimbangkan dan menyiapkan hal-hal berikut.
1. Menyiapkan pekerjaan pengganti serta membenahi mental para pelacur. Sudah jelas bahwa para pelacur itu ‘bekerja’ untuk mendapatkan uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, mereka mesti punya pekerjaan yg bisa menghasilkan uang yg wajar. Mental pun perlu dibenahi, karena pekerjaan pengganti nanti jelas tidak ‘semudah’ serta tidak sebesar saat menjadi pelacur.
Selama ini, saya lihat para pelacur cenderung hanya dijejali dosa, dosa, dan dosa. Hal ini percuma menurut saya, karena jika hanya cuma membahas dosa namun mereka tetap kelaparan (tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya), maka mereka akan kembali menjadi pelacur.
Saya pernah membaca, seorang pelacur didatangi seorang ulama yg berniat menyadarkan si pelacur. Saat bertemu, si pelacur berkata bahwa jika membahas dosa, maka dia tidak akan mau mendengar ucapan si ulama karena di dekat lokasi praktik si pelacur ada masjid yg sering membahas dosa. Dia hanya mau mendengar ucapan si ulama jika si ulama memberikan uang sebagai pengganti waktu yg hilang karena dia tidak bisa beroperasi akibat mesti mendengar ucapan si ulama.
Terus terang, umat Islam di Indonesia seringkali hanya memberikan solusi yg tidak membumi alias terlalu mengawang-awang. Para pelacur ataupun tukang ojek atau tukang makanan yg menggantungkan hidupnya dari kegiatan zina, tidak akan bisa menghilangkan rasa lapar hanya dengan omongan ttg dosa. Solusinya MESTI real, seperti saya tulis dengan menyiapkan pekerjaan pengganti dan membenahi mental.
2. Menghukum si pengguna (laki-laki hidung belang). Selama ini, tindakan hukum hanya diberlakukan pada si pelacur. Padahal jika merujuk pada hukum ekonomi, orang akan menyediakan jasa/barang dikarenakan adanya permintaan. Dengan demikian, pelacur muncul karena ada yg membutuhkan (dalam hal ini laki2 hidung belang).
Silakan anda cek, berapa banyak lelaki hidung belang yg dihukum karena memanfaatkan jasa si pelacur? Saya yakin jumlahnya sangat sedikit. Bahkan jika dihukum pun, saya yakin sifatnya hanya ‘basa basi’ semata. Tidak serius.
3. Dengan bubarnya kompleks lokalisasi, maka akan sulit memantau keberadaan para pelacur (yg masih bandel). Apalagi jika ada pelacur dari kompleks tersebut yg ternyata terindikasi memiliki penyakit kelamin atau penyakit AIDS.
Adanya lokalisasi sebenarnya memudahkan para dokter untuk memantau dan mengendalikan penyebaran penyakit kelamin (dan AIDS). Setidaknya yg saya ketahui, di kompleks pelacuran biasanya dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan adanya penyuluhan mengenai hubungan seks yg aman (dengan menggunakan kondom).
Sementara jika kompleks dibubarkan, siapa yg bisa mengontrol para pelacur yg tetap beroperasi secara sembunyi-sembunyi?
4. Dicari cara agar orang-orang malu pergi ke kompleks pelacuran.
Saat ini saya tidak punya cara untuk hal ini. Jika ada cara untuk membuat malu, setidaknya orang jadi jengah dan berpikir dahulu untuk pergi ke kompleks pelacuran (kecuali jika bertujuan untuk dakwah). Sayangnya, jika sudah berurusan dengan perut dan syahwat, manusia seringkali tidak merasa malu. :-(
Dari penjelasan di atas, adanya kompleks pelacuran adalah dalam rangka agar pelacur-pelacur itu tidak beroperasi sembarangan sehingga penyakit kelamin tidak tersebar dengan sporadis dan tidak terkendali. Saya, terus terang, merasa pesimis pelacuran bisa hilang hanya gara2 kompleks lokalisasi ditutup. Seperti tulisan saya di atas, selama ada (laki-laki) yg ingin berzina, maka selama itu pula pelacur akan masih ada (beroperasi).
Bagi kaum ulama pun sebenarnya diuntungkan dengan adanya lokalisasi ini, yakni tujuan dakwahnya jelas. Setidaknya seraya bekerjasama dengan pemerintah/lembaga sosial untuk mencarikan pekerjaan pengganti, para dai bisa memberi siraman rohani untuk tetap mengingatkan perilaku tidak baik yg dilakukan para pelacur itu.
Idealnya, dengan adanya pekerjaan pengganti dan siraman rohani, mereka bisa meninggalkan ‘pekerjaan’ ini dan mencari rejeki dengan cara yg lebih baik dan halal.
Semoga bermanfaat. (sumber: http://tausyiah275.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar