Sabtu, 07 Juni 2014

Melacur, adalah Pilihan..

13381316311029786286
sumber: tempo.co


Orang yg mau, seribu daya
Orang yang tidak mau, seribu dalih..

Sebut saja dia si Jelita. Sepanjang hidupnya, dia bernasib sangat malang. Dia lahir di keluarga yang sangat miskin. Ayah dan ibunya meninggal saat dia masih kecil. Jelita kemudian dirawat oleh pamannya, dan pamannya kemudian memperkosa dia saat dia mulai menginjak bangku SD. Tidak tahan dengan perlakuan pamannya, ia melarikan diri dari rumah, dan ditampung oleh keluarga jauh ayahnya. Nasib malangnya belum berhenti di situ. Saat ia menyelesaikan SMUnya, ia menikah dengan pacarnya, yang ia sayangi dengan sepenuh hati. Sayangnya, sang suami sukses membuktikan apa yang sudah dikatakan keluarga dan teman-teman si Jelita jauh sebelum mereka menikah: bahwa sang suami memang pecundang. Sang suami pemabuk, tukang judi, main perempuan, dan seakan-akan itu belum cukup: ia juga gemar menjadikan Jelita sasaran tinjunya saat ia sedang terlalu mabuk untuk memukuli orang lain. Dan cerita itu ditutup dengan ending menyedihkan: sang suami menjual Jelita menjadi pelacur, untuk membayar hutangnya..
Ok, time out. Cerita sedihnya, cukup sampai di situ dulu. Sering mendengar cerita semacam itu? Di koran mingguan, majalah bulanan, atau acara di televisi? Kita terbawa oleh cerita itu, kita ikut berkaca-kaca, dan hati kita sebagai manusia, tersentuh. Itu normal. Kita jadi menaruh simpati kepada si Jelita, sebagai korban dari dunia yang kejam ini. Kita jadi memaklumi perbuatannya, dan naluri kita sebagai seorang penolong (dengan menunggang kuda putih dan menyanyikan lagu opera) bangkit. Mereka harus kita selamatkan!
Izinkan saya menceritakan pelatihan yang pernah saya ikuti. Dalam salah satu sesi, sang trainer membahas tentang berenang. Beliau bertanya: “siapa yang tidak bisa berenang?” Separuh dari peserta (dari sekitar 800 peserta) angkat tangan. Beliau kemudian menanyai satu per satu para non-perenang tadi: “kenapa anda tidak bisa berenang?”.
Muncullah berbagai jawaban: “rumah saya jauh dari kolam renang”, “saya pernah tenggelam saat belajar renang, jadi trauma..”, “saya sibuk, ga sempat belajar renang”. Semua memberikan alasan, yang bagi kami saat itu, terdengar sangat masuk akal dan luar biasa bagus. Sayangnya, sang trainer, menghancurkan kesan tersebut dalam sekejap..
“Baik, mari kita bahas satu per satu alasan yang diberikan. Alasan pertama: rumah saya jauh dari kolam renang. Wah, jadi semua yang bisa berenang ini, punya kolam renang di rumahnya? Ada tidak, yang rumahnya jauh dari kolam renang, tapi bisa berenang?” Banyak peserta yang angkat tangan.
“Ok, alasan kedua: saya pernah tenggelam saat belajar, jadi trauma. Jadi semua yang bisa berenang ini, langsung menggunakan gaya kupu-kupu saat belajar? Ada tidak, di antara mereka yang bisa berenang ini, tenggelam saat belajar?” Kali ini semua orang yang bisa berenang angkat tangan.
“Nah, alasan ketiga: saya sibuk. Jadi mereka yang bisa berenang ini, semuanya pengangguran ya? Ada tidak, di antara yang bisa berenang, sehari-harinya adalah orang yang luar biasa sibuk?” Banyak juga peserta yang angkat tangan.
Kita, manusia, adalah makhluk yang unik. Kita butuh alasan yang mulia, untuk membenarkan tindakan-tindakan buruk kita. Nyaris semua pelaku kriminal bisa menceritakan latar belakang perbuatannya dengan sangat bagus, bahkan luar biasa masuk akal, sehingga akhirnya para pelaku itu menyimpulkan: mereka terpaksa melakukan itu, dan yang salah adalah mereka yang “di luar sana”. Bahkan pelaku pembunuhan sadis seperti Crowley si Dua Pistol pun benar-benar menganggap dia terpaksa melakukan pembunuhan sadis, bahwa “sang korban lah yang memaksanya”, dan ia juga bercerita bahwa ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik selama hidupnya.
Kembali ke masalah pelacuran tadi: nyaris semua pelaku pelacuran juga sanggup menceritakan kisah latar belakang yang membuat kita kadang-kadang manggut-manggut memaklumi sambil menyeka mata kita. Tapi terkadang, kita jadi melupakan fakta: ia bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang pertama kali mengalami hal itu. Kisah Jelita pernah di alami ratusan, bahkan ribuan wanita lain sebelumnya. Tapi apakah semuanya tetap bertahan di dunia pelacuran? Saya yakin ada banyak wanita di dunia ini yang mengalami kisah yang persis sama, yang memilih menceraikan suaminya saat ia dijual menjadi pelacur, atau, jika sudah tercebur, ia akan berusaha segera keluar dan mencari jalan lain yang halal.
Jalan hidup kita, adalah hasil pilihan-pilihan kita. Apapun nasib malang yang pernah menimpa kita (ayolah, nasib malang juga pernah menimpa semua orang), tidak bisa menjadi pemakluman terhadap hal-hal buruk yang kita lakukan. Jika kita memilih tetap melakukan perbuatan buruk itu, itu lah pilihan kita, bukan keterpaksaan kita. Jika kita memilih menjadi salah satu media penyebar penyakit menular seksual, memakan rezeki anak dan istri dari laki-laki yang meniduri kita, dan merusak masa depan kita sendiri, maka, tidak ada latar belakang hidup, atau siapapun, yang berhak kita salahkan, selain diri kita sendiri.
Sangat banyak pelacur yang berkali-kali dibina, diberi keterampilan dan modal, yang kembali ke pekerjaan yang sama. Alasannya tentu saja sederhana: pekerjaannya mudah dengan penghasilannya sangat lumayan, apalagi untuk para pelacur kelas tinggi.
Terpaksa? Ada jutaan wanita di luar sana yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan latar belakang kisah yang jauh lebih menyedihkan, tetapi mereka tetap mengerahkan segala upaya mereka, banting tulang siang dan malam, untuk mencari rezeki yang halal. Terpaksa kah? Atau pilihan kah?
“Kita adalah makhluk yang unik, yang memerlukan alasan yang mulia untuk semua perbuatan buruk kita, kemalasan-kemalasan kita..” (Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar