Orang yg mau, seribu daya
Orang yang tidak mau, seribu dalih..
Sebut saja dia si Jelita.
Sepanjang hidupnya, dia bernasib sangat malang. Dia lahir di keluarga
yang sangat miskin. Ayah dan ibunya meninggal saat dia masih kecil.
Jelita kemudian dirawat oleh pamannya, dan pamannya kemudian memperkosa
dia saat dia mulai menginjak bangku SD. Tidak tahan dengan perlakuan
pamannya, ia melarikan diri dari rumah, dan ditampung oleh keluarga jauh
ayahnya. Nasib malangnya belum berhenti di situ. Saat ia menyelesaikan
SMUnya, ia menikah dengan pacarnya, yang ia sayangi dengan sepenuh hati.
Sayangnya, sang suami sukses membuktikan apa yang sudah dikatakan
keluarga dan teman-teman si Jelita jauh sebelum mereka menikah: bahwa
sang suami memang pecundang. Sang suami pemabuk, tukang judi, main
perempuan, dan seakan-akan itu belum cukup: ia juga gemar menjadikan
Jelita sasaran tinjunya saat ia sedang terlalu mabuk untuk memukuli
orang lain. Dan cerita itu ditutup dengan ending menyedihkan: sang suami
menjual Jelita menjadi pelacur, untuk membayar hutangnya..
Ok, time out. Cerita sedihnya,
cukup sampai di situ dulu. Sering mendengar cerita semacam itu? Di koran
mingguan, majalah bulanan, atau acara di televisi? Kita terbawa oleh
cerita itu, kita ikut berkaca-kaca, dan hati kita sebagai manusia,
tersentuh. Itu normal. Kita jadi menaruh simpati kepada si Jelita,
sebagai korban dari dunia yang kejam ini. Kita jadi memaklumi
perbuatannya, dan naluri kita sebagai seorang penolong (dengan
menunggang kuda putih dan menyanyikan lagu opera) bangkit. Mereka harus
kita selamatkan!
Izinkan saya menceritakan
pelatihan yang pernah saya ikuti. Dalam salah satu sesi, sang trainer
membahas tentang berenang. Beliau bertanya: “siapa yang tidak bisa
berenang?” Separuh dari peserta (dari sekitar 800 peserta) angkat
tangan. Beliau kemudian menanyai satu per satu para non-perenang tadi:
“kenapa anda tidak bisa berenang?”.
Muncullah berbagai jawaban:
“rumah saya jauh dari kolam renang”, “saya pernah tenggelam saat belajar
renang, jadi trauma..”, “saya sibuk, ga sempat belajar renang”. Semua
memberikan alasan, yang bagi kami saat itu, terdengar sangat masuk akal
dan luar biasa bagus. Sayangnya, sang trainer, menghancurkan kesan
tersebut dalam sekejap..
“Baik, mari kita bahas satu per
satu alasan yang diberikan. Alasan pertama: rumah saya jauh dari kolam
renang. Wah, jadi semua yang bisa berenang ini, punya kolam renang di
rumahnya? Ada tidak, yang rumahnya jauh dari kolam renang, tapi bisa
berenang?” Banyak peserta yang angkat tangan.
“Ok, alasan kedua: saya pernah
tenggelam saat belajar, jadi trauma. Jadi semua yang bisa berenang ini,
langsung menggunakan gaya kupu-kupu saat belajar? Ada tidak, di antara
mereka yang bisa berenang ini, tenggelam saat belajar?” Kali ini semua
orang yang bisa berenang angkat tangan.
“Nah, alasan ketiga: saya sibuk.
Jadi mereka yang bisa berenang ini, semuanya pengangguran ya? Ada
tidak, di antara yang bisa berenang, sehari-harinya adalah orang yang
luar biasa sibuk?” Banyak juga peserta yang angkat tangan.
Kita, manusia, adalah makhluk
yang unik. Kita butuh alasan yang mulia, untuk membenarkan
tindakan-tindakan buruk kita. Nyaris semua pelaku kriminal bisa
menceritakan latar belakang perbuatannya dengan sangat bagus, bahkan
luar biasa masuk akal, sehingga akhirnya para pelaku itu menyimpulkan:
mereka terpaksa melakukan itu, dan yang salah adalah mereka yang “di
luar sana”. Bahkan pelaku pembunuhan sadis seperti Crowley si Dua Pistol
pun benar-benar menganggap dia terpaksa melakukan pembunuhan sadis,
bahwa “sang korban lah yang memaksanya”, dan ia juga bercerita bahwa ia
banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik selama hidupnya.
Kembali ke masalah pelacuran
tadi: nyaris semua pelaku pelacuran juga sanggup menceritakan kisah
latar belakang yang membuat kita kadang-kadang manggut-manggut memaklumi
sambil menyeka mata kita. Tapi terkadang, kita jadi melupakan fakta: ia
bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang pertama kali mengalami hal
itu. Kisah Jelita pernah di alami ratusan, bahkan ribuan wanita lain
sebelumnya. Tapi apakah semuanya tetap bertahan di dunia pelacuran? Saya
yakin ada banyak wanita di dunia ini yang mengalami kisah yang persis
sama, yang memilih menceraikan suaminya saat ia dijual menjadi pelacur,
atau, jika sudah tercebur, ia akan berusaha segera keluar dan mencari
jalan lain yang halal.
Jalan hidup kita, adalah hasil
pilihan-pilihan kita. Apapun nasib malang yang pernah menimpa kita
(ayolah, nasib malang juga pernah menimpa semua orang), tidak bisa
menjadi pemakluman terhadap hal-hal buruk yang kita lakukan. Jika kita
memilih tetap melakukan perbuatan buruk itu, itu lah pilihan kita, bukan
keterpaksaan kita. Jika kita memilih menjadi salah satu media penyebar
penyakit menular seksual, memakan rezeki anak dan istri dari laki-laki
yang meniduri kita, dan merusak masa depan kita sendiri, maka, tidak ada
latar belakang hidup, atau siapapun, yang berhak kita salahkan, selain
diri kita sendiri.
Sangat banyak pelacur yang
berkali-kali dibina, diberi keterampilan dan modal, yang kembali ke
pekerjaan yang sama. Alasannya tentu saja sederhana: pekerjaannya mudah
dengan penghasilannya sangat lumayan, apalagi untuk para pelacur kelas
tinggi.
Terpaksa? Ada jutaan wanita di
luar sana yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan latar belakang
kisah yang jauh lebih menyedihkan, tetapi mereka tetap mengerahkan
segala upaya mereka, banting tulang siang dan malam, untuk mencari
rezeki yang halal. Terpaksa kah? Atau pilihan kah?
“Kita adalah makhluk yang unik, yang memerlukan alasan yang mulia untuk semua perbuatan buruk kita, kemalasan-kemalasan kita..” (Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar