Sabtu, 24 Mei 2014

Dolly Ditutup, Warga di Lokalisasi Harus Move-on

 Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (kedua kana), berbincang dengan sejumlah pekerja seks komersial (PSK) dari beberapa lokalisasi di Surabaya. ANTARA/Eric Ireng
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (kedua kana), berbincang dengan sejumlah pekerja seks komersial (PSK) dari beberapa lokalisasi di Surabaya. ANTARA/Eric Ireng

Sejak dulu, lokalisasi pelacuran merupakan hal lumrah yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Meski dianggap tabu, nyatanya tempat pelacuran terus menjadi sebuah magnet tersendiri bagi mereka yang ingin melampiaskan berahinya.

Salah satunya, lokalisasi pelacuran Dolly di Surabaya yang rencananya ditutup 19 Juni mendatang. Praktik prostitusi pastinya bukanlah sesuatu yang dianggap 'baik'. Namun, ketika aktivitas maksiat itu memapu memberikan rezeki kepada banyak pihak, ceritanya pun berbeda.

Pasalnya, Gang Dolly yang telah zaman Belanda ini dianggap banyak pihak sudah memberikan banyak 'kontribusi' terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Lokasinya yang berada di tengah kota, berbaur dengan permukiman penduduk yang padat, membuat lokalisasi Dolly menjadi sumber rezeki bagi banyak pihak. Bukan hanya bagi pekerja seks komesial, melainkan juga pemilik warung, penjaja rokok, tukang parkir, tukang ojek, hingga tukang becak.

Penghasilan menjadi PSK di Dolly pun membuat banyak perempuan di berbagai daerah di Tanah Air menaruh minat. Para perempuan yang umumnya berasal dari Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Surabaya, dan Kalimantan pun berbondong-bondong mengais rejeki di sekitar gang tersebut. Tercatat, hingga kini ada sekitar 9.000 PSK yang 'bekerja' di Dolly.

Meski begitu, mengingat prostitusi merupakan sesuatu yang mutlak tidak dibenarkan dari sisi agama, tidak mengherankan bila banyak pihak yang semenjak dulu berupaya menutup kawasan tersebut. Upaya itu tentunya bukan tanpa perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Termasuk sekarang, niat kuat Wali Kota Tri Rismaharini untuk segera menutup Dolly masih ditentang sejumlah pihak. Banyak yang mendukung Dolly ditutup untuk selamanya, tapi banyak pula yang menolak.

Di balik kegigihannya menutup Dolly, Risma punya alasan kuat yakni misinya untuk menyelamatkan anak-anak. "Saya kan harus menyelamatkan anak-anak. Apalagi letak Dolly kan bercampur dengan permukiman warga sehingga menyebabkan terjadi perdagangan manusia, termasuk mucikari anak-anak," ucapnya di Surabaya, awal bulan ini.

Namun, niat Risma itu mendapat perlawanan dari berbagai pihak, termasuk dari wakilnya sendiri Whisnu Sakti Buana. Dia menilai penutupan lokalisasi yang melegenda di Kota Pahlawan itu bakal berdampak pada ekonomi masyarakat sekitarnya. Bukan hanya itu, para pedagang kaki lima (PKL), pekerja lokalisasi, dan warga sekitar sempat menggelar demo menolak rencana penutupan lokalisasi tersebut. Massa yang mengatasnamakan diri Front Pekerja Lokalisasi (FPL) itu menilai Risma tidak memikirkan nasib warga kota dan terkesan arogan atas rencana kebijakan penutupan lokalisasi.

Meski begitu, Risma tidak sendiri. Niat baik Risma tersebut didukung mayoritas ratusan warga Kota Surabaya. Selain MUI dan puluhan ormas Islam, beberapa elemen masyarakat lain juga berada di belakang sang wali kota. Contohnya saja Ikatan Keluarga Madura (Ikamra), Gerakan Arek Suroboyo (GAS), Pemuda Pancasila (PP) menggelar aksi dukungan, Kamis (22/5/2014), penutupan lokalisasi Dolly. Warga menyatakan tidak ingin terus mendapat predikat Surabaya sebagai kota yang mempunyai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.

Upaya Risma untuk menutup Dolly tentu bukan tanpa menyediakan solusi bagi warga. "Jangan khawatir sepi kalau lokalisasi (prostitusi) sudah tutup karena akan kami back-up dengan fasilitas penunjang lainnya, atau kemudahan akses permodalan," ucap Risma beberapa waktu lalu. Ia pun mengaku sudah merencanakan rekonstruksi kawasan pelacuran Dolly dan Jarak menjadi sentra ekonomi penunjang.

Risma pun mengaku emoh memaksa para muncikari dan PSK untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Ia memperbolehkan mereka bertahan tinggal di Dolly, tapi tentu tidak diizinkan menjalankan praktik prostitusi. Para muncikari dan PSK bisa beralih profesi dan mandiri dengan membangun usaha sendiri. "Mereka juga  akan dibuatkan usaha baru untuk mendapatkan akses ke dunia yang baru,"  katanya.

Dan kini, dengan kepastian penutupan Dolly Juni mendatang, warga tentu harus siap untuk move-on dan mencari penghasilan lain yang semoga saja 'halal'. (news.metrotvnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar